Rabu, 20 Mei 2015

Terorisme Negara pada Kaum Rohingya

Terorisme Negara pada Kaum Rohingya

Baiq Wardhani ; Dosen Hubungan Internasional, FISIP,
Universitas Airlangga, Surabaya
JAWA POS, 19 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tragedi kemanusiaan di Myanmar sebenarnya bukan hal baru sama sekali. Pelanggaran HAM di Negara Bagian Arakan, Myanmar, yang dilakukan kepada kaum Rohingya oleh junta militer Myanmar yang dengan partainya, State Law and Order Restoration Council (SLORC), berlanjut di era keterbukaan politik yang baru terjadi di negara tersebut. Yang dialami etnis Rohingya dapat dikategorikan sebagai pemusnahan etnis (ethnic cleansing). Ironisnya, itu tidak banyak mendapat sorotan dari masyarakat internal ASEAN maupun masyarakat internasional sekalipun pelanggaran hak asasi manusia tersebut telah berlangsung berpuluh-puluh tahun atas kaum muslim Rohingya yang tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar.

Ketidakpedulian itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, etnis Rohingya hanya merupakan salah satu kelompok etnis yang jumlahnya tidak besar dan hanya salah satu di antara etnis minoritas di Myanmar di antara etnis-etnis minoritas lainnya yang berjumlah 135 kelompok. Kedua, sebagai salah satu etnis minoritas, ”popularitas” Rohingya tidak sekuat sorotan media massa atas penahanan pemimpin NLD Aung San Suu Kyi yang dianggap sebagai pahlawan demokrasi oleh sebagian besar masyarakat internasional. Ketiga, kaum Rohingya dianggap tidak membahayakan stabilitas internasional pada umumnya, apalagi tidak satu negara besar pun yang terlibat dalam persoalan Rohingya, walaupun secara potensial kaum Rohingya dapat menimbulkan ketidakstabilan regional, khususnya di Asia Selatan dan sebagian Asia Tenggara yang negara-negaranya menjadi tujuan para pengungsi Rohingya.

Terorisme Negara

Berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung terus-menerus di Myanmar dapat dikategorikan sebagai terorisme negara. Terorisme yang dilakukan negara terhadap warga negaranya bukanlah sebuah fenomena baru. Sebab, itu telah berlangsung lama dan dilakukan berbagai negara/pemerintah. Sementara itu, berbagai kajian tentang terorisme setelah tragedi 9/11 lebih berfokus pada bentuk baru terorisme yang dilakukan sekelompok orang/organisasi jihadis sebagaimana yang dilakukan kelompok Al Qaeda dan jaringannya. Sebaliknya, terorisme oleh negara seolah-olah terlupakan walaupun praktik tersebut telah berlangsung sebelum populernya terorisme bentuk baru.

Pemerintah Myanmar menyatakan bahwa Rohingya bukanlah salah satu di antara 135 kelompok etnis yang diakui. Selain itu, sejumlah pelanggaran pemerintah Myanmar yang semakin memperkuat bukti terorisme negara adalah dipraktikkannya pelecehan agama, pengucilan dari pelayanan publik, perawatan kesehatan, pendidikan, pembatasan bepergian, perampasan lahan, dan penghancuran rumah. Juga, dilakukan penganiayaan dan pemerkosaan seksual, deportasi dan pemindahan penduduk secara paksa, pemerasan dan penarikan pajak sewenang-wenang, sampai dipersulitnya permohonan izin pernikahan. Terorisme negara ini secara jelas bertujuan pada pemusnahan etnis.

Menurut Syed Serajul Islam (2007), terorisme yang dilakukan sekelompok orang itu hanyalah berskala kecil dibandingkan dengan skala besar-besaran yang dilakukan negara. Pemerintah junta militer Myanmar merupakan salah satu rezim yang dapat dikategorikan dalam teroris negara sejak Myanmar mengadopsi ideologi Burma’s Road to Socialism. Menariknya, di tengah reformasi politik yang tengah berlangsung saat ini, Aung San Suu Kyi pun menutup mata pada fenomena terorisme negara yang terjadi atas kaum Rohingya.

Terorisme negara yang dipraktikkan pemerintah Myanmar dan tatmadaw, pasukan bersenjata Myanmar, mendorong Rohingya mengungsi ke negara tetangga, terutama Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Rohingya berpotensi menjadi pengungsi tetap yang tidak memiliki harapan kembali ke negara asal. Dalam rezim, keadaan kelompok itu disebut sebagai protracted refugee situation (PRS). Sebagian besar PRS dapat ditemukan di negara-negara miskin dan tidak stabil, berasal dari negara-negara yang rentan konflik seperti Afghanistan, Burundi, Liberia, Myanmar, Sierra Leone, Somalia, dan Sudan. Situasi pengungsi yang kronis itu, tidak terhindarkan, acap kali mengakibatkan beragam persoalan politik dan keamanan di negara penerima.

Sikap ASEAN

Ketika perselisihan internal atau pelanggaran HAM terjadi, negara-negara tetangga terpengaruh secara politik, ekonomi, dan sosial sehingga berupaya mencari jalan keluar dalam mengatasi krisis tersebut. Sebagai organisasi regional, ASEAN diharapkan mengambil tindakan dan mengatasi masalah yang dihadapi Rohingya. Misalnya, memberikan perlindungan yang memadai dengan cara bekerja sama dengan organisasi internasional. Namun, ASEAN tidak mengambil langkah seperti itu. Sebaliknya, ASEAN justru memilih diplomasi diam-diam tentang pelanggaran hak asasi manusia yang dijalankan negara anggotanya. Masalah Rohingya dianggap semata-mata sebagai masalah dalam negeri dan sangat sensitif untuk dibicarakan secara terbuka dalam ASEAN.

Sementara itu, ASEAN memiliki sebuah lembaga yang bernama Komisi Hak Asasi Manusia Antarpemerintah yang tugas utamanya adalah menangani semua masalah hak asasi manusia yang terjadi di dalam tatanan kawasan Asia Tenggara. Lembaga yang baru terbentuk itu tidak bereaksi apa pun atas genosida Rohingya. Lebih menyedihkan, ASEAN mengategorikan Rohingya sebagai penjahat transnasional dan penyelundup dalam Bali Process tahun 2009. Lembaga HAM ASEAN tidak akan efektif kecuali mampu mengelola berbagai persoalan yang dianggap sensitif tersebut dengan baik melalui pengaturan kolektif di Asia Tenggara.

Jika tidak memiliki komitmen untuk mengatasi masalah itu dan masih memegang teguh tanpa kompromi atas prinsip nonintervensinya, ASEAN bisa dijuluki sebagai organisasi yang mendukung terorisme negara. Hal tersebut menjadi kontraproduktif bagi pengembangan Masyarakat ASEAN 2015 yang salah satu pilarnya adalah terwujudnya masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera dengan pengakuan dan penghormatan atas keragaman sosial dan budaya setiap anggotanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar