Terorisme
Negara pada Kaum Rohingya
Baiq Wardhani ; Dosen Hubungan Internasional, FISIP,
Universitas Airlangga, Surabaya
|
JAWA POS, 19 Mei 2015
Tragedi
kemanusiaan di Myanmar sebenarnya bukan hal baru sama sekali. Pelanggaran HAM
di Negara Bagian Arakan, Myanmar, yang dilakukan kepada kaum Rohingya oleh
junta militer Myanmar yang dengan partainya, State Law and Order Restoration Council (SLORC), berlanjut di era
keterbukaan politik yang baru terjadi di negara tersebut. Yang dialami etnis
Rohingya dapat dikategorikan sebagai pemusnahan etnis (ethnic cleansing). Ironisnya, itu tidak banyak mendapat sorotan
dari masyarakat internal ASEAN maupun masyarakat internasional sekalipun
pelanggaran hak asasi manusia tersebut telah berlangsung berpuluh-puluh tahun
atas kaum muslim Rohingya yang tidak diakui kewarganegaraannya oleh
pemerintah Myanmar.
Ketidakpedulian
itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, etnis Rohingya hanya merupakan salah
satu kelompok etnis yang jumlahnya tidak besar dan hanya salah satu di antara
etnis minoritas di Myanmar di antara etnis-etnis minoritas lainnya yang
berjumlah 135 kelompok. Kedua, sebagai salah satu etnis minoritas, ”popularitas”
Rohingya tidak sekuat sorotan media massa atas penahanan pemimpin NLD Aung
San Suu Kyi yang dianggap sebagai pahlawan demokrasi oleh sebagian besar
masyarakat internasional. Ketiga, kaum Rohingya dianggap tidak membahayakan
stabilitas internasional pada umumnya, apalagi tidak satu negara besar pun
yang terlibat dalam persoalan Rohingya, walaupun secara potensial kaum
Rohingya dapat menimbulkan ketidakstabilan regional, khususnya di Asia
Selatan dan sebagian Asia Tenggara yang negara-negaranya menjadi tujuan para
pengungsi Rohingya.
Terorisme Negara
Berbagai
bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung terus-menerus di
Myanmar dapat dikategorikan sebagai terorisme negara. Terorisme yang
dilakukan negara terhadap warga negaranya bukanlah sebuah fenomena baru.
Sebab, itu telah berlangsung lama dan dilakukan berbagai negara/pemerintah.
Sementara itu, berbagai kajian tentang terorisme setelah tragedi 9/11 lebih
berfokus pada bentuk baru terorisme yang dilakukan sekelompok
orang/organisasi jihadis sebagaimana yang dilakukan kelompok Al Qaeda dan
jaringannya. Sebaliknya, terorisme oleh negara seolah-olah terlupakan
walaupun praktik tersebut telah berlangsung sebelum populernya terorisme
bentuk baru.
Pemerintah
Myanmar menyatakan bahwa Rohingya bukanlah salah satu di antara 135 kelompok
etnis yang diakui. Selain itu, sejumlah pelanggaran pemerintah Myanmar yang
semakin memperkuat bukti terorisme negara adalah dipraktikkannya pelecehan
agama, pengucilan dari pelayanan publik, perawatan kesehatan, pendidikan,
pembatasan bepergian, perampasan lahan, dan penghancuran rumah. Juga,
dilakukan penganiayaan dan pemerkosaan seksual, deportasi dan pemindahan
penduduk secara paksa, pemerasan dan penarikan pajak sewenang-wenang, sampai
dipersulitnya permohonan izin pernikahan. Terorisme negara ini secara jelas
bertujuan pada pemusnahan etnis.
Menurut
Syed Serajul Islam (2007), terorisme yang dilakukan sekelompok orang itu
hanyalah berskala kecil dibandingkan dengan skala besar-besaran yang
dilakukan negara. Pemerintah junta militer Myanmar merupakan salah satu rezim
yang dapat dikategorikan dalam teroris negara sejak Myanmar mengadopsi
ideologi Burma’s Road to Socialism.
Menariknya, di tengah reformasi politik yang tengah berlangsung saat ini,
Aung San Suu Kyi pun menutup mata pada fenomena terorisme negara yang terjadi
atas kaum Rohingya.
Terorisme
negara yang dipraktikkan pemerintah Myanmar dan tatmadaw, pasukan bersenjata
Myanmar, mendorong Rohingya mengungsi ke negara tetangga, terutama
Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Rohingya berpotensi menjadi
pengungsi tetap yang tidak memiliki harapan kembali ke negara asal. Dalam
rezim, keadaan kelompok itu disebut sebagai protracted refugee situation (PRS). Sebagian besar PRS dapat
ditemukan di negara-negara miskin dan tidak stabil, berasal dari
negara-negara yang rentan konflik seperti Afghanistan, Burundi, Liberia,
Myanmar, Sierra Leone, Somalia, dan Sudan. Situasi pengungsi yang kronis itu,
tidak terhindarkan, acap kali mengakibatkan beragam persoalan politik dan
keamanan di negara penerima.
Sikap ASEAN
Ketika
perselisihan internal atau pelanggaran HAM terjadi, negara-negara tetangga
terpengaruh secara politik, ekonomi, dan sosial sehingga berupaya mencari
jalan keluar dalam mengatasi krisis tersebut. Sebagai organisasi regional,
ASEAN diharapkan mengambil tindakan dan mengatasi masalah yang dihadapi
Rohingya. Misalnya, memberikan perlindungan yang memadai dengan cara bekerja
sama dengan organisasi internasional. Namun, ASEAN tidak mengambil langkah seperti
itu. Sebaliknya, ASEAN justru memilih diplomasi diam-diam tentang pelanggaran
hak asasi manusia yang dijalankan negara anggotanya. Masalah Rohingya
dianggap semata-mata sebagai masalah dalam negeri dan sangat sensitif untuk
dibicarakan secara terbuka dalam ASEAN.
Sementara
itu, ASEAN
memiliki sebuah lembaga yang bernama Komisi Hak Asasi Manusia Antarpemerintah
yang tugas utamanya adalah menangani semua masalah hak asasi manusia yang
terjadi di dalam tatanan kawasan Asia Tenggara. Lembaga yang baru terbentuk
itu tidak bereaksi apa pun atas genosida Rohingya. Lebih menyedihkan, ASEAN
mengategorikan Rohingya sebagai penjahat transnasional dan penyelundup dalam
Bali Process tahun 2009. Lembaga HAM ASEAN tidak akan efektif kecuali
mampu mengelola berbagai persoalan yang dianggap sensitif tersebut dengan
baik melalui pengaturan kolektif di Asia Tenggara.
Jika tidak memiliki komitmen
untuk mengatasi masalah itu dan masih memegang teguh tanpa kompromi atas
prinsip nonintervensinya, ASEAN bisa dijuluki sebagai organisasi yang
mendukung terorisme negara. Hal tersebut menjadi kontraproduktif bagi
pengembangan Masyarakat ASEAN 2015 yang salah satu pilarnya adalah
terwujudnya masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera dengan pengakuan dan
penghormatan atas keragaman sosial dan budaya setiap anggotanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar