Rabu, 20 Mei 2015

Lawan Ketidakadilan Global!

Lawan Ketidakadilan Global!

Anif Punto Utomo  ;  Direktur Indostrategic Economic Intelligence
REPUBLIKA, 30 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pidato Presiden Joko Widodo pada saat pembukaan Konferensi Asia Afrika di Jakarta 22 April 2015 cukup membuat masyarakat terhenyak. Sebagaimana gaya Jokowi yang kalem, penyampaian pidato itu pun tanpa intonasi yang meledak-ledak, tapi esensi pidatonya garang. Berani. Penuh semangat perlawanan.

Lembaga-lembaga internasional yang saat ini menguasai dunia, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dikritik habis. PBB dikatakan tak berdaya. Sedangkan, pandangan yang mengatakan persoalan ekonomi dunia hanya bisa diselesaikan Bank Dunia, IMF, dan ADB adalah pandangan usang dan harus dibuang.

Pidato itu mendapat sambutan hangat peserta KAA. Maklum, sebagian besar negara yang hadir adalah negara miskin yang tidak menikmati kehadiran lembaga dunia tersebut. Justru terkadang kehadiran mereka hanyalah melanggengkan kemiskinan.

Melawan ketidakadilan global. Begitu inti pidato Jokowi, baik ketidakadilan di bidang politik maupun ekonomi. Kehadiran lembaga tersebut hanya mengeksploitasi negara miskin untuk keuntungan negara yang sudah telanjur kaya. Lembaga dunia tersebut seolah sudah menjadi milik mereka.

Indonesia merasakan betul bagaimana PBB, misalnya, mengangkangi kita. Dalam persoalan Timor Timur, misalnya, dulunya mereka mendukung, tapi ketika keadaan dunia tidak berpihak, mereka menentang. Bahkan, ketika diadakan referendum, skenario kecurangan sudah disiapkan PBB agar Timor Timur lepas dari Indonesia. Lepas dari Indonesia tak masalah, yang jadi pertanyaan kenapa harus dengan kecurangan, dan kecurangan itu oleh PBB pula.

Kemudian, kehadiran Bank Dunia. Begitu masuk 1967, Indonesia langsung dimasukkan dalam jebakan utang. Selain utang semakin membesar, Indonesia juga diharuskan memberikan konsesi proyek besar ke perusahaan multinasional yang mayoritas perusahaan Amerika karena Amerika adalah pemegang saham terbesar Bank Dunia. Celakanya lagi mereka bisa memesan UU yang menguntungkan perusahaan multinasional.

Pengakuan John Perkins --konsultan keuangan yang memberikan rekomendasi ke Bank Dunia-- dalam bukunya Economic Hitman menarik. Dia mengaku pekerjaan utamanya adalah membuat kesepakatan dengan memberikan utang kepada negara berkembang (termasuk Indonesia) yang jauh lebih besar dibanding kemampuan membayar. Dari utang ini, sebagian besarnya harus diberikan kepada Halliburton atau Bechtell melalui proyek engineering dan konstruksi raksasa.

Begitu juga IMF. Kita masih ingat betapa harga diri Indonesia direndahkan ketika Presiden Soeharto membungkuk menandatangani kesepakatan dengan IMF pada 15 Januari 1998, sementara Managing Director IMF Michel Camdessus bersedekap di belakangnya. Kehadiran IMF juga telah membuat krisis Indonesia memuncak karena IMF-lah yang merekomendasikan penutupan beberapa bank swasta, akibatnya terjadi penarikan dana besar-besaran.

Dan yang tak kalah menyedihkan, resep penyelamatan ekonomi yang diberikan IMF hanya copy paste dari resep yang diberikan kepada negara lain. IMF pula yang menjadikan Indonesia dijajah secara ekonomi dengan memberi jalan bagi asing untuk menguasai berbagai industri, termasuk industri keuangan dan telekomunikasi yang begitu strategis. Paham neolib semakin kental dengan kehadiran IMF.

Pengalaman buruk Indonesia terhadap lembaga dunia ditambah pula pengalaman negara berkembang di Asia dan Afrika itulah yang mendasari pidato Jokowi. Jika ingin kemakmuran bisa dinikmati bersama, keadilan global harus ditegakkan. Dan tegaknya keadilan tidak bisa terwujud jika struktur kekuasaan PBB masih didominasi Barat, begitu pula lembaga keuangan dunia masih berpihak kepada negara kaya.

Indonesia bisa menjadi leader untuk menyuarakan kepentingan negara miskin dalam membangun tatanan baru di politik global dan ekonomi dunia. Tetapi, tentu tidak mudah.  Ada beberapa persyaratan yang harus dipersiapkan agar nantinya Indonesia tidak terjebak retorika tak berujung, dan bahkan Indonesia menjadi bulan-bulanan negara maju.

Pertama, Indonesia harus menjadi negara yang stabil secara politik dan maju di bidang ekonomi. Biasanya negara yang ekonominya bagus, politiknya pun stabil. Tidak ada dalam sejarah, sebuah negara dihargai dan memperoleh trust dari negara lain jika negara itu miskin. Amerika saat ini masih menjadi negara terkaya karena itu dia begitu disegani.

Kedua, Indonesia harus mulai melepaskan diri dari ketergantungan terhadap Bank Dunia, IMF, dan ADB. Saat ini Indonesia sudah lolos dari jeratan IMF, tapi masih meminjam dana untuk pembangunan dari Bank Dunia dan ADB. Adalah langkah strategis bagi pemerintah dalam mendukung pendirian  Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang digagas Cina. Di situlah Indonesia bisa berpaling dari jeratan utang Bank Dunia.

Ketiga, di dalam negeri, Indonesia harus menunjukkan keberaniannya melawan dominasi asing. Beberapa tahun lalu Exxon dipilih menjadi operator Blok Cepu, itu menunjukkan kekalahan kita dengan Amerika. Begitu pula dengan diperpanjangnya kontrak karya Freeport. Jika kekalahan seperti itu terus berulang, trust terhadap Indonesia melorot, kredibilitas sebagai leader tergerus, dan akhirnya gagal.

Keempat, sebelum memperoleh trust negara lain, harus terbangun dulu trust di dalam negeri. Berbagai survei menunjukkan, enam bulan terakhir kekecewaan masyarakat terhadap Jokowi-Jusuf kalla meningkat. Itu artinya trust sudah tergerus. Kepercayaan masyarakat ini yang harus dikembalikan, terutama terkait kriminalisasi KPK dan pembangkangan kepolisian serta ekonomi yang tak kunjung membaik.

Kritikan yang banyak disampaikan terhadap pidato kebanyakan bukan materi pidatonya, melainkan konsistensi Indonesia. Bagaimana mungkin kita meneriakkan perlawanan terhadap lembaga dunia, sementara Indonesia sendiri masih berkutat dengan masalah ekonomi, politik, dan sosial yang belum terselesaikan dengan baik.

Tetapi, pidato sudah terucap. Jangan sampai pidato hanya sebatas pernyataan tanpa langkah konkret. Sembari membenahi kondisi dalam negeri lewat manajemen pemerintahan yang baik, Jokowi harus terus melakukan penggalangan kekuatan negara-negara di Asia dan Afrika.

Bagaimanapun ketidakadilan yang sudah puluhan tahun membelenggu harus dilawan. Saatnya Indonesia mengambil peran. Kalau tidak kita, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar