Lawan
Ketidakadilan Global!
Anif Punto Utomo ; Direktur Indostrategic Economic Intelligence
|
REPUBLIKA, 30 April 2015
Pidato
Presiden Joko Widodo pada saat pembukaan Konferensi Asia Afrika di Jakarta 22
April 2015 cukup membuat masyarakat terhenyak. Sebagaimana gaya Jokowi yang
kalem, penyampaian pidato itu pun tanpa intonasi yang meledak-ledak, tapi
esensi pidatonya garang. Berani. Penuh semangat perlawanan.
Lembaga-lembaga
internasional yang saat ini menguasai dunia, seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank
Pembangunan Asia (ADB) dikritik habis. PBB dikatakan tak berdaya. Sedangkan,
pandangan yang mengatakan persoalan ekonomi dunia hanya bisa diselesaikan
Bank Dunia, IMF, dan ADB adalah pandangan usang dan harus dibuang.
Pidato
itu mendapat sambutan hangat peserta KAA. Maklum, sebagian besar negara yang
hadir adalah negara miskin yang tidak menikmati kehadiran lembaga dunia
tersebut. Justru terkadang kehadiran mereka hanyalah melanggengkan
kemiskinan.
Melawan
ketidakadilan global. Begitu inti pidato Jokowi, baik ketidakadilan di bidang
politik maupun ekonomi. Kehadiran lembaga tersebut hanya mengeksploitasi
negara miskin untuk keuntungan negara yang sudah telanjur kaya. Lembaga dunia
tersebut seolah sudah menjadi milik mereka.
Indonesia
merasakan betul bagaimana PBB, misalnya, mengangkangi kita. Dalam persoalan
Timor Timur, misalnya, dulunya mereka mendukung, tapi ketika keadaan dunia
tidak berpihak, mereka menentang. Bahkan, ketika diadakan referendum,
skenario kecurangan sudah disiapkan PBB agar Timor Timur lepas dari
Indonesia. Lepas dari Indonesia tak masalah, yang jadi pertanyaan kenapa
harus dengan kecurangan, dan kecurangan itu oleh PBB pula.
Kemudian,
kehadiran Bank Dunia. Begitu masuk 1967, Indonesia langsung dimasukkan dalam
jebakan utang. Selain utang semakin membesar, Indonesia juga diharuskan
memberikan konsesi proyek besar ke perusahaan multinasional yang mayoritas
perusahaan Amerika karena Amerika adalah pemegang saham terbesar Bank Dunia.
Celakanya lagi mereka bisa memesan UU yang menguntungkan perusahaan
multinasional.
Pengakuan
John Perkins --konsultan keuangan yang memberikan rekomendasi ke Bank Dunia--
dalam bukunya Economic Hitman menarik. Dia mengaku pekerjaan utamanya adalah
membuat kesepakatan dengan memberikan utang kepada negara berkembang
(termasuk Indonesia) yang jauh lebih besar dibanding kemampuan membayar. Dari
utang ini, sebagian besarnya harus diberikan kepada Halliburton atau Bechtell
melalui proyek engineering dan konstruksi raksasa.
Begitu
juga IMF. Kita masih ingat betapa harga diri Indonesia direndahkan ketika
Presiden Soeharto membungkuk menandatangani kesepakatan dengan IMF pada 15
Januari 1998, sementara Managing Director IMF Michel Camdessus bersedekap di
belakangnya. Kehadiran IMF juga telah membuat krisis Indonesia memuncak
karena IMF-lah yang merekomendasikan penutupan beberapa bank swasta,
akibatnya terjadi penarikan dana besar-besaran.
Dan yang
tak kalah menyedihkan, resep penyelamatan ekonomi yang diberikan IMF hanya
copy paste dari resep yang diberikan kepada negara lain. IMF pula yang
menjadikan Indonesia dijajah secara ekonomi dengan memberi jalan bagi asing
untuk menguasai berbagai industri, termasuk industri keuangan dan telekomunikasi
yang begitu strategis. Paham neolib semakin kental dengan kehadiran IMF.
Pengalaman
buruk Indonesia terhadap lembaga dunia ditambah pula pengalaman negara
berkembang di Asia dan Afrika itulah yang mendasari pidato Jokowi. Jika ingin
kemakmuran bisa dinikmati bersama, keadilan global harus ditegakkan. Dan
tegaknya keadilan tidak bisa terwujud jika struktur kekuasaan PBB masih
didominasi Barat, begitu pula lembaga keuangan dunia masih berpihak kepada
negara kaya.
Indonesia
bisa menjadi leader untuk menyuarakan kepentingan negara miskin dalam
membangun tatanan baru di politik global dan ekonomi dunia. Tetapi, tentu
tidak mudah. Ada beberapa persyaratan
yang harus dipersiapkan agar nantinya Indonesia tidak terjebak retorika tak
berujung, dan bahkan Indonesia menjadi bulan-bulanan negara maju.
Pertama,
Indonesia harus menjadi negara yang stabil secara politik dan maju di bidang
ekonomi. Biasanya negara yang ekonominya bagus, politiknya pun stabil. Tidak
ada dalam sejarah, sebuah negara dihargai dan memperoleh trust dari negara
lain jika negara itu miskin. Amerika saat ini masih menjadi negara terkaya
karena itu dia begitu disegani.
Kedua,
Indonesia harus mulai melepaskan diri dari ketergantungan terhadap Bank
Dunia, IMF, dan ADB. Saat ini Indonesia sudah lolos dari jeratan IMF, tapi
masih meminjam dana untuk pembangunan dari Bank Dunia dan ADB. Adalah langkah
strategis bagi pemerintah dalam mendukung pendirian Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB)
yang digagas Cina. Di situlah Indonesia bisa berpaling dari jeratan utang
Bank Dunia.
Ketiga,
di dalam negeri, Indonesia harus menunjukkan keberaniannya melawan dominasi
asing. Beberapa tahun lalu Exxon dipilih menjadi operator Blok Cepu, itu
menunjukkan kekalahan kita dengan Amerika. Begitu pula dengan diperpanjangnya
kontrak karya Freeport. Jika kekalahan seperti itu terus berulang, trust
terhadap Indonesia melorot, kredibilitas sebagai leader tergerus, dan
akhirnya gagal.
Keempat,
sebelum memperoleh trust negara lain, harus terbangun dulu trust di dalam
negeri. Berbagai survei menunjukkan, enam bulan terakhir kekecewaan
masyarakat terhadap Jokowi-Jusuf kalla meningkat. Itu artinya trust sudah
tergerus. Kepercayaan masyarakat ini yang harus dikembalikan, terutama
terkait kriminalisasi KPK dan pembangkangan kepolisian serta ekonomi yang tak
kunjung membaik.
Kritikan
yang banyak disampaikan terhadap pidato kebanyakan bukan materi pidatonya,
melainkan konsistensi Indonesia. Bagaimana mungkin kita meneriakkan
perlawanan terhadap lembaga dunia, sementara Indonesia sendiri masih berkutat
dengan masalah ekonomi, politik, dan sosial yang belum terselesaikan dengan
baik.
Tetapi,
pidato sudah terucap. Jangan sampai pidato hanya sebatas pernyataan tanpa
langkah konkret. Sembari membenahi kondisi dalam negeri lewat manajemen
pemerintahan yang baik, Jokowi harus terus melakukan penggalangan kekuatan
negara-negara di Asia dan Afrika.
Bagaimanapun
ketidakadilan yang sudah puluhan tahun membelenggu harus dilawan. Saatnya
Indonesia mengambil peran. Kalau tidak kita, siapa lagi? Kalau tidak
sekarang, kapan lagi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar