Teror
Gaya Hidup
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 15 Mei 2015
Setiap
berjalan-jalan ke mal atau pusat perbelanjaan, khususnya di wilayah Jakarta
Selatan, ingatan saya sering kali kembali ke masa lalu ketika masih tinggal
di Desa Pabelan, Kabupaten Magelang.
Saat
berjalan-jalan ke kota, muncul perasaan kagum, senang tetapi juga perih
ketika melihat toko serta restoran besar, mewah, dan gemerlap yang tak
terjangkau harganya bagi keluarga desa nan miskin seperti saya. Perasaan
kalah dan tertindas oleh kesombongan kapitalisme yang berpusat di kota itu
muncul lagi ketika masuk mal yang menawarkan dagangan bermerek beken
(branded) yang dikemas secara rapi, gemerlap, dan memesona pengunjung.
Bagi
pengunjung yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), saya tahu
betul berapa besar gaji resmi yang diterima setiap bulannya. Kalau mereka window shopping di mal bersama
keluarganya, barang berikut harga yang dijajakan itu rasanya tak mungkin bisa
terbeli. Akhirnya, cukuplah mereka menikmati suasana mal dengan duduk-duduk
di food court memilih makanan dan
minuman yang harga makanannya masih terjangkau.
Suasana
teror gaya hidup konsumtif mulai dirasakan begitu pengunjung masuk halaman
mal. Berjejer mobil-mobil mewah memenuhi halaman parkir. Gaya hidup mewah dan
konsumtif kini pun bukan lagi godaan, melainkan sudah meningkat seakan
menjadi teror. Pikiran dan selera masyarakat dihadang oleh iklan terutama
melalui layar televisi.
Masyarakat
dijejali barang-barang konsumtif sejak dari minuman, makanan, peralatan
dapur, parfum, kendaraan, sandal, sepatu, pakaian hingga seluruh
pernik-pernik yang membangkitkan selera masyarakat untuk bisa mencoba dan
memilikinya. Lewat iklan dan mal, semua itu disajikan sedemikian rupa untuk
menggoda masyarakat agar membeli gaya hidup, bukannya membeli fungsi
primernya.
Para
pekerja rumah tangga pun sebagian gajinya habis untuk membeli handphone dan
pulsa yang semula masuk tabungan untuk dikirim ke kampungnya. Dibandingkan
semasa Orde Baru, jumlah pengguna telepon genggam dan pemilik televisi
jumlahnya berlipat. Begitu pun jumlah saluran televisi, pilihannya semakin
banyak dengan sajian acara yang sebagian semakin tidak bermutu dan miskin
muatan edukasi.
Ketika
kondisi ekonomi dan politik melelahkan, televisi memanfaatkan kelesuan ini dengan
sajian acara-acara ringan yang menghibur. Bahkan mimbar agama pun jika
sajiannya kering, kurang menghibur, akan ditinggal pemirsanya. Sebuah program
televisi biasanya tak akan bertahan kalau tidak ada iklan yang mendukungnya.
Di sisi
sponsor, mereka tidak mau pasang iklan jika acara televisi terbukti
rating-nya rendah. Saya sekali-sekali mengamati berbagai ragam sajian
televisi dan menghitung berapa banyak iklan sponsornya. Di situ terdapat korelasi
antara acara yang rating-nya tinggi dengan banyaknya iklan. Sinetron dan
acara dangdut termasuk banyak iklannya, berarti memiliki rating tinggi.
Apa
maknanya ini? Rakyat dijejali iklan-iklan yang menawarkan gaya hidup
konsumtif serta penampilan artis tampan dan cantik yang berhasil mengubah
hidup tanpa harus sekolah tinggi-tinggi. Bahkan acara televisi sering kali
memamerkan kekayaan para artis itu yang diraih secara cepat. Ini tentu
menimbulkan imajinasi dan fantasi anakanak muda untuk menjadi selebritas
lewat jalan pintas sehingga setiap diadakan audisi untuk kontes penyanyi yang
ragamnya kian merebak, jumlah peminatnya fantastis.
Tentu di
satu sisi ini sangat positif bagi masyarakat, bahwa media massa telah membuka
jalan dan akses bagi anak-anak muda berbakat untuk berkarya dan berjuang
mengubah nasibnya melalui bakat seni yang mereka miliki. Namun, sekali lagi,
ekses teror gaya hidup konsumtif dan glamor telah merusak mental masyarakat.
Coba saja perhatikan.
Di
mana-mana berdiri mal sebagai perpanjangan pemilik modal besar yang membunuh
usaha-usaha ekonomi rakyat kecil. Sampai di kota-kota kecil di daerah pun
berdiri mal yang tentu menarik masyarakat untuk berkunjung karena dilengkapi
dengan AC sehingga ruangnya sejuk, harga bersaing, dan pelayanan bagus.
Masyarakat ke mal tidak saja sekadar ingin membeli barang, tetapi juga
rekreasi.
Berita
yang lagi heboh minggu ini adalah tertangkapnya selebritas yang terlibat
jaringan prostitusi di kalangan atas. Menurut beberapa analis, penyebabnya
tak lain adalah mereka telah terjerat dalam gaya hidup yang serba-glamor,
mewah, uang banyak, pakaian mahal, rumah dan kendaraan mewah tanpa harus
kerja keras dan pendidikan tinggi. Ironis dan menyedihkan.
Di saat
pertumbuhan ekonomi menurun, lapangan kerja tidak tumbuh, sementara jumlah
penduduk kian meningkat, yang berkembang pesat justru peredaran narkoba dan
gaya hidup konsumtif- glamor di kalangan selebritas dan politisi. Nalar saya
tidak sampai untuk memahami ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar