Sabtu, 16 Mei 2015

Isra Mikraj dan Spirit Toleransi NKRI

Isra Mikraj dan Spirit Toleransi NKRI

M Saifuddin Alia  ;  Pengurus IKAQ Menara Kudus;
Direktur Central for Islamic Education and Culture Studies (CIIS) Grobogan
SUARA MERDEKA, 15 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setiap 27 Rajab seluruh umat Islam selalu memeringati Isra Mikraj Nabi Muhammad saw. Pesan utama yang terkandung dalam peristiwa Isra Mikraj adalah perintah menjalankan shalat lima waktu.

Melaksanakan shalat pada hakekatnya tidak hanya sekadar memberi manfaat pada si pelaku saja, tetapi lebih dari itu juga memberi manfaat bagi orang lain, masyarakat, bahkan bagi bangsa dan negara. Karena sesungguhnya shalat dapat menyelamatkan manusia dari berbuat keji.

”Sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar keutamaannya. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Al Ankabut: 45). Mengingat nilai yang terkandung dalam shalat itu bersifat universal, maka implementasi dalam kehidupan nyata juga harus bersifat universal pula, yaitu harus lintas agama, etnis dan golongan.

Merealisasikan hal yang demikian ini tentunya sangatlah penting karena kian hari bangsa ini dihadapkan pada persoalan toleransi yang secara kuantitas dan kualitasnya semakin mengkhawatirkan. Di mana sekarang ini toleransi telah menjadi barang mahal dan langka di negeri yang katanya majemuk ini.

Dalam kondisi riil seperti itu seyogianya seluruh umat Islam berada di garda depan untuk memelopori tumbuhnya toleransi, sebagaimana yang pernah dilakukan dan didakwahkan Nabi Muhammad saw di Madinah. Bukan malah sebaliknya dalam berperilaku dan berdakwah justru melenceng jauh dari ajaran agung Nabi Muhammad yang selalu dalam kosmos toleransi.

Jika cara berdakwah yang mengabaikan prinsip toleransi seperti yang dilakukan sebagian umat Islam di Indonesia sekarang masih terus berlangsung, tidak tertutup kemungkinan ke depan akan terjadi benturan antarumat beragama, etnis dan golongan di bumi pertiwi ini. Dan bila hal itu sampai terjadi, maka tidak saja dapat mengganggu serta menghambat pembangunan nasional, tetapi lebih parah lagi akan dapat mengancam keutuhan NKRI.

Mulai saat ini, mau tidak mau segenap umat Islam dalam berdakwah hendaknya selalu mencontoh cara, strategi dan metode yang dipraktikkan Nabi Muhammad saw, yaitu dengan bil hikmah wal mauidhah hasanah.

Di mana dalam ranah praktis aplikasinya penuh dengan sikap toleransi, perdamaian, humanis dan santun. Bukannya dengan jalan kekerasan dan anarkisme yang jelas melenceng jauh dari subtansi tujuan shalat yang merupakan hasil Isra Mikraj Muhammad saw.

Dalam momentum peringatan Isra Mikraj kali ini, mari kita kaji dan renungkan bersama bagaimana Nabi Muhammad saw saat memimpin sekaligus berdakwah di Madinah. Dia telah melaksanakan toleransi yang luar biasa hebatnya. Sebagai pemimpin negara dan agama, Nabi Muhammad saw selalu mengakomodasi seluruh kepentingan rakyatnya tanpa mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan sedikit pun.

Sikap Simpatik

Justru dengan sikap simpatik serta toleransi yang sungguh-sungguh serta totalitas, agama Islam pada periode itu mengalami ekspansi dan kemajuan yang luar biasa.

Cara dan strategi dakwah seperti itu pulalah yang membuat Walisongo sukses penyiarkan agama Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Mereka dalam berdakwah totalitas mencontoh apa yang dipraktikkan Nabi Muhammad saw, yaitu dengan bil hikmah wal mauidhah hasanah. Di mana cara dakwah semacam ini harus selalu lekat dengan akhlaqul karimah, humanisme dan toleransi yang tinggi.

Jauh dari praktik anarkisme dan teror. Namun justru dengan cara serta metode inilah agama Islam dapat diterima dan berkembang pesat dalam waktu yang tidak lama, bahkan hingga bisa sebagai agama mayoritas di Indonesia. Sikap akomodatif, humanis dan toleransi itu hakikatnya merupakan inti dari ajaran agama Islam dalam hal dakwah.

Terutama ajaran yang terdapat dalam Surat Al-A’raf; ”Sesungguhnya Kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk berkenal-kenalan.”Ayat ini jelas-jelas menunjukkan bahwa terciptanya kehidupan manusia dengan beragam bangsa dan suku merupakan sunnatullah yang pasti akan selalu ada sampai kapan pun. Karena keragaman dan plutralitas hidup manusia adalah realitas kehidupan di bumi yang dikehendaki Allah Swt.

Di sisi lain ayat itu juga mempunyai tujuan untuk menciptakan kesadaran kognisi manusia agar saling mengenal satu sama lain dalam suatu proses dan dialektika hidup bersama. Sebab hanya dengan modal pluralitas, toleransi dan kesadaran manusia tersebutlah roda kehidupan dengan dinamika, dialektika dan pemberdayaannya dapat berjalan terus.

Tetapi sayang sering kita sebagai umat Islam dan warga bangsa Indonesia yang majemuk ini belum mampu menangkap pesan Ilahiyah yang terdapat dalam Alquran tentang pluralisme dan toleransi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar