Stagnasi
Reformasi Polri
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
|
KORAN TEMPO, 29 April 2015
Pelimpahan perkara
Budi Gunawan (BG) dari kejaksaan ke Polri berujung pada pengangkatan BG
sebagai Wakil Kepala Polri pada 22 April lalu. Keputusan ini layak
dipertanyakan publik mengingat Polri merupakan institusi sipil yang dibiayai
oleh publik dan dimiliki publik.
Pelantikan yang
dilakukan secara tertutup mengindikasikan bahwa Polri dikooptasi sebagai institusi
privat dengan menyatakan bahwa pemilihan dan pelantikan Wakapolri merupakan
bagian dari urusan "rumah tangga" Polri. Padahal, jabatan Wakapolri
bukanlah kualifikasi jabatan yang menurut ketentuan harus dirahasiakan,
sehingga prosesnya harus dibuka ke hadapan publik.
Pemilihan dan
pengangkatan BG sebagai Wakapolri telah menjadi sinyal bahwa reformasi Polri
akan mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran. Dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan, ketertutupan adalah tameng bagi rezim untuk bertindak korup.
Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Polri tidak mengatur soal keberadaan Wakapolri, termasuk
proses pemilihannya. Undang-undang hanya menyebutkan jabatan Kapolri sebagai
satu-satunya pemimpin tertinggi di institusi Polri. Jika melihat ketentuan
yang lain, jabatan Wakapolri justru muncul dalam Peraturan Presiden Nomor 52
Tahun 2010 tentang susunan organisasi dan tata kerja polri. Wakapolri bersama
Kapolri ditetapkan sebagai bagian dari unsur pimpinan Polri.
Proses pemilihan yang
dilakukan secara tertutup mengindikasikan adanya iktikad buruk dari Polri
dalam kaitan dengan penunjukan BG. Ada prosedur yang "disiasati"
oleh Polri dan Presiden yang dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa
pemilihan ini diduga cacat secara prosedur.
Menurut ketentuan,
pengangkatan dan pemberhentian pejabat untuk jabatan dan kepangkatan perwira
tinggi bintang dua ke atas, atau yang termasuk lingkup jabatan eselon 1A dan
1B, ditetapkan Kapolri setelah dikonsultasikan dengan Presiden. Jabatan
Wakapolri diemban oleh seorang perwira bintang tiga dan dikategorikan sebagai
jabatan dalam lingkup eselon 1A. Karena itu, proses pemilihan Wakapolri harus
dilakukan melalui proses konsultasi dengan Presiden.
Jika dilacak ke
belakang, proses konsultasi ini hampir dipastikan tidak dilakukan sesuai
dengan ketentuan. Yang digunakan Polri adalah pernyataan Presiden ke media
massa tanpa melalui proses formal yang lazim digunakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Hal tersebut juga diakui oleh Menteri Sekretaris Negara, bahwa
hingga pelantikan dilakukan, belum ada surat resmi yang dilayangkan Polri
ihwal pemilihan dan pengangkatan BG sebagai Wakapolri.
Selain itu praktek
penyelenggaraan pemerintahan semacam ini bisa dikategorikan tidak memenuhi
prinsip tertib penyelenggaraan pemerintahan dan prinsip keterbukaan
(transparansi) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Praktek Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Indikator-indikator antikorupsi juga sama sekali tidak digunakan sebagai
bagian integral dalam proses pemilihan, misalnya yang terkait dengan
pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara sebelum memangku jabatannya.
Proses yang tertutup
dalam pemilihan Wakapolri ini sebetulnya juga diawali dengan ketidakjelasan
perkara dugaan korupsi yang dihadapi BG. Karena itu, pemilihan ini akan
dituding sebagai salah satu cara menghentikan kasus tersebut.
Pelimpahan perkara
dari Komisi Pemberantasan Korupsi ke Kejaksaan Agung, lalu dilimpahkan
kembali ke Polri, sama sekali tidak menjelaskan status hukum BG. Niat Polri
untuk membuka kasus ini kepada publik melalui gelar perkara secara terbuka
hanyalah omong kosong. Sebab, hal tersebut tidak dilakukan sebelum pemilihan
dan pengangkatan BG sebagai Wakapolri.
Logika Polri begitu
mudah dibaca. Gelar perkara yang seharusnya dilakukan ternyata dibatalkan dan
kemudian diikuti dengan pemilihan BG sebagai Wakapolri. Tudingan yang
menyatakan penetapan BG sebagai Wakapolri merupakan bagian skenario untuk
menutup kasusnya sendiri menjadi tidak terbantahkan. Bagaimana mungkin
penyidik akan melakukan gelar perkara terhadap pemimpinnya sendiri?
Keseluruhan skenario
yang disusun secara terstruktur dan sistematis ini telah mencerminkan
institusi Polri yang sebenarnya. Reformasi Polri yang digaungkan semenjak
pemisahan Polri dari ABRI ternyata tidak membawa perbaikan bagi institusi
Polri. Yang terjadi, justru hadirnya kelembagaan Polri yang semakin tertutup,
anti-reformasi, dan cenderung melindungi tradisi korup.
Karena itu, Presiden,
selaku pemimpin tertinggi institusi Polri, wajib meninjau ulang pemilihan
Wakapolri tersebut. Prosedur pemilihan sudah seharusnya dilakukan menurut
prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Jika tidak,
pemilihan yang terselubung ini akan menjadi pertanda bahwa stagnasi atau
bahkan kemunduran dalam reformasi Polri akan segera terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar