Jangan
Khawatir, Dokter
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 02 Mei 2015
Ketika 20 April 2015
yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa dokter bisa diajukan ke
pengadilan pidana tanpa harus menunggu pemeriksaan Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), beberapa dokter mempersoalkan dan
menyatakan kekhawatirannya.
Kata mereka, dokter
wajib menolong setiap orang sakit dan dalam memberi pertolongan itu bisa saja
terjadi akibat yang tidak diinginkan, yaitu gagal menolong. Misalnya, ada
pasien yang meninggal atau lumpuh seumur hidup. Putusan MK itu, menurut mereka,
bisa menghadapkan dokter pada situasi dilematis. Pada satu sisi dokter harus
melakukan tindakan sebisanya secara cepat, tapi pada sisi lain dokter takut
dihukum karena gagal menolong.
Dokter bercuit panjang
ke akun Twitter saya, menyatakan kekhawatiran dan menanyakan duduk soalnya?
Mengapa dokter bisa langsung diadili karena melaksanakan tugasnya? Bukankah
lebih tepat diperiksa dulu oleh MKDKI agar bisa diketahui benar atau tidaknya
sang dokter melakukan pelanggaran dan bersalah? Bagaimana jika hakim yang
bukan dokter salah memahami dan menilai?
Apakah profesi lain
bisa dipidanakan tanpa pemeriksaan dan keputusan lebih dulu dari dewan
kehormatan profesinya? Apakah hakim atau penegak hukumnya lainnya bisa
diadili juga karena kesalahannya dalam menangani perkara? Tanggal 26 April
2015 lalu saya bertemu dengan Dokter Yadi, ahli bedah kanker payudara, di
Hotel Pullman, Surabaya yang sedang menghadiri kongres organisasi profesinya.
Dokter muda ini pun
mengemukakan kegundahannya. “Bayangkan Prof, orang seperti saya ini setiap
hari menangani sekitar 50 pasien. Saya pasti selalu berhati-hati, tetapi
karena lelah bisa saja terjadi sesuatu pada pasien tanpa disengaja. Apakah
kami ini harus diadili?” tanyanya.
Kepada Dokter Pukovisa
dan Dokter Yadi itu dijelaskan hal yang sama. Proses hukum, termasuk
peradilan pidana, merupakan proses yang terpisah dari proses “peradilan”
etika atau profesi. Keduanya bisa berjalan sendiri-sendiri, yang satu boleh
lebih cepat atau lebih belakangan daripada yang lain. Bisa juga dilakukan
secara bersamaan (simultan) tetapi tetap tidak berkaitan.
Sanksinya pun, jika
terbukti bersalah, adalah berbeda. Sanksi pada peradilan pidana adalah sanksi
pidana seperti pemenjaraan, denda dan/atau pencabutan hak-hak tertentu.
Sedangkan pada peradilan profesi jika terbukti seorang dokter melakukan
pelanggaran atas etika profesinya adalah teguran, skors, larangan berpraktik,
dan sebagainya.
Berjalannya dua
proses, peradilan pidana dan pemeriksaan oleh dewan etik atau kehormatan,
berlaku untuk semua prosesi. Ada pegawai negeri sipil (PNS) yang dijatuhi
sanksi oleh Majelis Pertimbangan Pegawai bersamaan dengan pengajuannya ke
pengadilan pidana.
Ada wartawan yang
dipecat dari profesinya sekaligus diadili. Ada juga yang hanya dipecat oleh
dewan kehormatan, tapi tidak diadili secara pidana. Tak perlulah ditanya,
bagi penegak hukum berlaku hal yang sama. Ada hakim MK yang sudah dijadikan
Tersangka pidana korupsi oleh KPK tetapi pada saat yang sama proses
pemeriksaan etika profesinya berjalan di Majelis Kehormatan.
Yang bersangkutan
diberhentikan berdasar keputusan Majelis Kehormatan sebelum pengadilan pidana
menjatuhkan vonis. Tapi ada juga yang dijatuhi sanksi profesi setelah ada
putusan pidana dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) Lihat juga kasus pegawai
Ditjen Pajak Gayus Tambunan yang spektakuler itu.
Selain Gayus sendiri yang dihukum pidana dan
dipecat sebagai PNS para penegak hukum, yaitu Hakim Ibarim, Jaksa Cirus
Sinaga, dua polisi, dan seorang pengacara yang pernah memainkan kasus Gayus,
semua dijatuhi hukuman pidana dan dipecat dari profesinya. Jadi, peradilan
pidana dan “peradilan profesi” itu berjalan sendiri-sendiri, terpisah, meski
kadang kala materi pemeriksaannya berhimpitan, bahkan sama.
Kedua jalur itu juga
tak saling membatalkan sehingga kalau tidak bersalah secara pidana bukan
berati secara otomatis tidak bersalah secara profesi dan sebaliknya. Koreksi
sanksi karena ada bukti baru dan penilaian lain juga harus melalui
prosedurnya sendirisendiri.
Pemisahan jalur dan
prosedur peradilan antara hukum dan profesi ini penting agar setiap ada
kesalahan segera bisa ditangani. Tak boleh ada pekerja profesi menolak
diadili di pengadilan pidana dengan alasan belum diperiksa oleh dewan
kehormatan profesinya; sebaliknya tak boleh ada juga pelaku profesi yang
menolak diadili dan dijatuhi sanksi oleh dewan etik profesinya dengan alasan
proses pidananya masih berlangsung.
Peraturan itu berlaku
di mana-mana. Ketakutan para dokter untuk dipidanakan sering diajukan dengan
pernyataan kekhawatiran bahwa mereka tidak bersalah melainkan hanya gagal
menolong. Kepada Dokter Yadi dan Dokter Pukovisa, saya katakan dengan serius
agar tidak takut kalau memang tak bersalah.
Pengadilan pidana
hanya akan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang terbukti bersalah secara
sah dan meyakinkan. Salah satu dalil pokok yang selalu dipedomani dalam hukum
peradilan pidana adalah “tidak ada hukuman
tanpa kesalahan”. Seumpama salah pun hukum masih membedakan kesalahan atas
kesengajaan dan kelalaian yang hukumannya juga berbeda.
Jadi selama
berhati-hati dan tidak sengaja berbuat salah, para dokter tak perlu takut untuk terus
mengabdi bagi kemanusiaan. Dedikasikan bakti Anda pada negara, bangsa, dan rakyat
Indonesia. Indonesia berbangga memiliki putra-putri seperti Anda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar