Minggu, 03 Mei 2015

Prostitusi dan Privasi

Prostitusi dan Privasi

Ignatius Haryanto  ;  Peneliti Senior di LSPP
KORAN TEMPO, 30 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bagaimana kita merespons ketika media berlomba-lomba mengungkap isi akun @tataa_chubby milik Deudeuh Alfisahrin, perempuan yang ditemukan meninggal di kamar kosnya pada awal April lalu? Sejumlah pihak menuding media telah melanggar privasi ketika mengorek-ngorek isi akun tersebut, tapi di pihak lain kita juga perlu bertanya, seberapa privatkah media sosial bernama Twitter ataupun Facebook?

Kemajuan teknologi yang ada saat ini, termasuk munculnya perangkat gawai terbaru dan juga media sosial, memberi cara baru untuk memasarkan dunia prostitusi. Mungkin saja dunia prostitusi pun bertransformasi, di mana para pekerja seks komersial kini tak lagi mengandalkan "mami", atau germo untuk mendapatkan konsumen, karena mereka kini bisa memasarkan sendiri lewat jejaring media sosial yang ada. Akun @tataa_chubby hanyalah salah satu akun yang terpantau memiliki aktivitas dalam dunia prostitusi, itu pun karena adanya kasus kriminal di dalamnya.

Apakah masih ada ruang privat dalam dunia media sosial ini? Penulis katakan "tetap ada". Karena privasi di sini mungkin bisa didefinisikan sebagai "sesuatu yang tidak dibagikan atau diumumkan begitu saja kepada orang lain, atau kepada orang yang tak ia kenal". Jika kita memeriksa akun @tataa_chubby, kita akan melihat bahwa cuitan pemilik akun ini memang sudah jelas menunjukkan adanya suatu penawaran atau arah menuju ke transaksi seksual.

Yang berbeda, jika hal ini dikomunikasikan via gawai saja (misalnya SMS atau WhatsApp), interaksi ini tak akan terbaca orang lain. Tapi ketika komunikasi ini dilakukan lewat Twitter (ataupun Facebook, misalnya), orang lain yang terhubung (pun yang tak terhubung) bisa melihat percakapan tersebut. Twitter memiliki fasilitas direct message (DM) jika pesannya tak ingin dilihat orang lain, namun komunikasi keduanya tak sepenuhnya dilakukan via DM.

Jadi, sadar atau tidak, sebenarnya Dedeuh telah meninggalkan jejak kepada siapa pun yang hendak memeriksa bagaimana sejarah interaksi mereka, untuk kemudian dilihat orang banyak. Lalu, apakah mereka (baik orang biasa ataupun orang media) yang telah membaca sejarah interaksi antarpihak, telah melanggar privasi? Rasanya tidak, karena hal tersebut disampaikan secara terbuka. Bahwa hal ini merupakan bagian dari perilaku "mengintip" ataupun stalking, ya, memang betul.

Dalam hal media membongkar akun @tataa_chubby, apakah media dapat dikatakan melanggar privasi? Menurut saya, hal ini masih sesuatu yang bisa diterima. Akun tersebut telah menampilkan dirinya sebagai bagian dari transaksi yang dilakukan pemiliknya, dan akun tersebut dengan sadar dipergunakan untuk "memasarkan" dirinya. Soal lokasi ataupun harga, menurut akun ini adalah hal yang dianggap privat. Hal tentang privasi dalam kasus ini justru perlu dijaga, misalnya ekspos terhadap keluarga Deudeuh, baik mantan suami ataupun anaknya.

Rumusan etika terkait dengan masalah privasi memang tak pernah bisa hitam-putih, karena kasus etika yang terjadi selalu kontekstual, selalu memiliki kerumitan tersendiri dan historis yang berbeda antara kasus satu dan kasus lainnya. Bagaimanapun juga, kasus ini ketika menyeruak ke permukaan, mengajak kita kembali merenung apa saja sisi gelap yang telah hadir dari kemajuan teknologi ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar