Rumitnya
Masalah Rohingya
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 20 Mei 2015
Sebuah
karikatur di media sosial menggambarkan bagaimana para pengungsi Rohingya
ditolak oleh sebagian negara ASEAN. Di Indonesia, para pengungsi tersebut
akhirnya ditolong para nelayan Aceh dan Sumatera Utara setelah ditolak oleh
Angkatan Laut Indonesia yang mendasarkan tindakan mereka atas hukum positif
di Indonesia yang melarang warga negara asing masuk tanpa dokumen.
Pertanyaannya
apakah pertolongan yang diberikan nelayan Aceh akan dilanjutkan secara formal
atau tidak oleh Pemerintah Indonesia? Apakah ada dampak bila kita menerima
dan menolak para pengungsi? Apakah ada dampaknya secara politik dan ekonomi
terhadap Indonesia?
Dalam
konteks hak asasi manusia (HAM), masalah pengungsi diatur dalam Konvensi
Pengungsi 1951, Protokol 1967, dan konvensi lain yang terkait, yaitu Konvensi
tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan (Statelessness) 1954 dan Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan
tanpa Kewarganegaraan (The Reduction of
Statelessness). Konvensi Pengungsi 1951 meliputi prinsip-prinsip untuk
tidak melakukan pemulangan (non-refoulment),
tidak melakukan pengusiran (non-expulsion),
tidak melakukan pembedaan (non-discrimination),
dan menghindari pemidanaan akibat cara masuk yang illegal bagi para pengungsi
yang tiba. UNHCR mencatat bahwa diperkirakan ada 400.000 pengungsi Rohignya
di Bangladesh. Jumlah ini sama dengan yang ada di negara-negara Teluk.
Sekitar
200.000 orang di Pakistan, 20.000 di Thailand, 15.000 di Malaysia, dan
sekitar 2.000 orang di Indonesia. Sisanya sekitar 750.000 warga Rohingya
tetap tinggal di sebelah utara Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Sebagian besar
negara tersebut bukan penandatangan konvensi.
Negara
anggota ASEAN yang menjadi pihak penandatangan konvensi ini hanya Filipina
(1981) dan Kamboja (1992), sementara negara anggota lain termasuk Indonesia
dan Malaysia tidak ikut meratifikasi konvensi tersebut. Bangladesh adalah
negara yang paling banyak menampung pengungsi Rohingya. Mereka menerima para
pengungsi karena posisi yang dekat dengan perbatasan Myanmar dan alasan
persaudaraan sebagai sesama negara muslim seperti Indonesia dan Malaysia.
Para
pengungsi umumnya tinggal di pusat dan sekitar wilayah kamp pengungsian Cox’s
Bazar. Besarnya jumlah pengungsi di Bangladesh terjadi dalam dua gelombang.
Gelombang pertama tahun 1978 sebanyak 200.000 orang dan gelombang kedua tahun
1992 sebanyak 250.000 orang.
Ada
banyak versi sejarah yang melatarbelakangi gelombang pengungsi tersebut dan
sulit untuk menjelaskan versi masing-masing dalam ruang yang terbatas ini.
Namun pada dekade tersebut ada dua fakta penting terjadi. Pertama adalah
Perang Kemerdekaan Bangladesh (Pakistan Timur) terhadap Pakistan yang
menimbulkan jutaan gelombang pengungsi muslim Bangladesh ke negara-negara
tetangga, termasuk di Myamar.
Kedua,
Myanmar tengah mengalami konflik internal, yaitu pemerintahan militer berlaku
sangat otoriter baik kepada komunitas Rohingya maupun warganegara mereka sendiri.
Rezim militer yang berkuasa selain memerintah dengan keras juga berusaha
mendapat simpati dari masyarakat dengan memanfaatkan konflik yang terjadi di
antara komunitas dan kelompok etnik di Myanmar.
Konteks
tersebut yang mendorong akumulasi gelombang pengungsi Rohingya hingga saat
ini. Pada
awalnya, Pemerintah Bangladesh menerima kembali dengan baik komunitas
Rohingya sejak tahun 1971. Namun setelah 41 tahun, di tahun 2012 Pemerintah
Bangladesh menyatakan tidak lagi menerima pengungsi Rohingya.
Alasan yang dikemukakan adalah
ancaman terhadap keamanan nasional dan tidak adanya kontribusi komunitas
Rohingya terhadap ekonomi Bangladesh (Hasan
2014). Pemerintah Bangladesh mendasarkan argumentasi ini dengan merujuk
pada Pasal 33 ayat 2 Konvensi Pengungsi 1951 yang intinya menyatakan bahwa
pengungsi dapat dipulangkan apabila mengancam keamanan negara penerima dan
melakukan tindakan kriminal.
Dua
alasan itu secara langsung atau tidak langsung menjadi keberatan bagi
negara-negara lain untuk menerima pengungsi Rohingya. Perhatian dunia
internasional yang terbatas dan solusi politik yang lambat terhadap masalah
Rohingya telah menimbulkan akumulasi dampak negatif baik politik maupun
ekonomi bagi negara-negara penerima maupun komunitas Rohingya itu sendiri.
Dampak negatif terutama
disebabkan para pengungsi Rohingya membutuhkan pekerjaan dan pendapatan,
sementara bantuan yang diterima tidak mencukupi. Mereka juga tinggal di
wilayah pengungsian yang tidak layak sehingga mendorong mereka untuk segera
mendapatkan penghasilan. Walaupun banyak yang mendapatkan pekerjaan dengan
baik, tidak sedikit juga yang melanggar hukum.
Di
Bangladesh sebagai contoh, Perdana Menteri Dipo Moni di tahun 2009 mengatakan
bahwa ribuan pengungsi Rohingya yang tidak tercatat telah terlibat dalam illegal logging di kawasan konversi
hutan lindung. Pemerintah Bangladesh juga kerap harus mendampingi warga
Rohingya pemegang paspor Bangladesh di Arab Saudi yang melakukan tindakan
kriminal. Di beberapa kota di Bangladesh, pengungsi Rohingya juga mengambil
pekerjaan-pekerjaan kasar seperti buruh harian dan tukang becak sehingga
menimbulkan kecemburuan sosial dan pengangguran.
Para pengungsi Rohingya yang
telah hidup sangat menderita menjadi rentan untuk direkrut oleh kelompok-kelompok
militan seperti Rohingya Solidarity
Organization (RSO) dan The Arakan
Rohingya Islamic Front (ARIF). Kedua organisasi ini memiliki tujuan untuk
mendirikan negara Rohingya sendiri. Gambaran yang negatif tersebut pada
akhirnya membuat gambaran keseluruhan tentang orang Rohingnya menjadi suram.
Situasinya makin terpojok dan solusi politik yang ditunggu tak kunjung
datang.
Mereka
telah digolongkan sebagai warga yang tidak memiliki kewarganegaraan karena
Pemerintah Myamar melalui Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1982 memiliki
tiga kategori kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan nasional, asosiasi, dan
naturalisasi. Etnik Rohingya sulit untuk memenuhi kriteria itu karena sejarah
dan budaya yang berbeda.
Undang-Undang
Kewarganegaraaan itu kemudian juga dibalas Bangladesh yang melakukan
amendemen undang-undang kewarganegaraan mereka di tahun yang sama. Amendemen
mengatakan bahwa etnik Rohingya bukan bagian dari suku nasional mereka
walaupun memiliki karakter fisik dan agama yang sama.
Kunci
dari masalah etnik Rohingya memang harus diselesaikan bersama-sama di tingkat
internasional. Ironisnya, belum ada forum yang bisa dianggap sebagai wadah
pencari solusi untuk kasus ini. Etnik Rohingya adalah salah satu etnik yang
dapat dikatakan terpenjara di wilayah mereka sendiri. Semakin berlarutnya
masalah ini membuat stereotip orang Rohingya menjadi momok yang menghambat
solusi kemanusiaan bagi kelompok ini. Untuk itulah kasus ini perlu penanganan
khusus. Apakah PBB sanggup membuka jalur dialog yang efektif untuk kasus ini?
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar