Rindu
Negarawan
Anna Luthfie ; Ketua
DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo)
|
KORAN SINDO, 20 Mei 2015
Negarawan
menjadi kata yang selama ini disematkan kepada orang-orang yang lebih
mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya, dibandingkan kepentingan diri
maupun kelompoknya. Sosok ini menjadi harapan ideal bagi siapa pun yang
merindukan hadirnya pemimpin. Sejarah politik di negeri ini sebenarnya telah
memiliki modal sosial yang besar untuk melahirkan tokoh-tokoh negarawan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, negarawan dimaknai sebagai pemimpin
politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu
pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan
kewibawaan.
Dalam
bahasa politik yang lebih populer, negarawaran dimaknai juga sebagai sosok
yang mengorbankan segalanya untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Langkah Presiden Joko Widodo mensyaratkan para menterinya untuk tidak rangkap
jabatan pada saat awal pembentukan Kabinet Kerja pada Oktober tahun lalu
memberikan sinyal presiden ketujuh ini paham bahwa untuk membentuk sosok
negarawan harus mulai dari sebuah sistem.
Tentu
kita masih ingat dengan ungkapan yang cukup terkenal dan relevan sampai saat
ini. Adalah ungkapan Manuel L Quezon, presiden pertama Filipina persemakmuran
(sebelum menjadi Republik Filipina), ”My
loyalty tomy party ends where my loyalty t o my country begins.” Sebuah
loyalitas pada partai politik berakhir ketika loyalitas kepada negara
dimulai. Hal yang sama juga diungkap Presiden AS ke-35, 20 Januari 1961, John
F Kennedy ketika dilantik menjadi presiden negara adikuasa tersebut. Langkah
Jokowi yang tidak memperkenankan anggota kabinetnya merangkap jabatan dengan
memimpin parpol, sedikit banyak memberi sentimen positif terkait keseriusan
sang menteri untuk bekerja demi rakyat, meskipun hal ini berdampak pada
tergusurnya sejumlahnamayang potensial masuk kabinet, gagal menjadi menteri.
Dengan
kata lain, penulis memandang langkah ini merupakan tradisi baru bagi proses
pembangunan politik di negeri ini. Melahirkan sosok negarawan juga bisa
melalui sistem seperti apa yang dilakukan Jokowi tersebut.
Wisdom Politik
Negarawan
dalam konteks politik sebenarnya juga tidak lepas dari apa yang dikonsepkan
oleh Aristoteles. Filsuf Yunani inilah yang pertama kali mengungkapkan soal
konsepsi manusia itu makhluk politik atau zoon
politicon. Aristoteles menyebutkan politik selalu identik dan berkorelasi
dengan apa yang disebut di Yunani kuno sebagai polis.
Polis
inilah yang dimaknai sebagai negara (state).
Kata ini juga berkaitan dengan policy
atau kebijakan. Jamak diketahui kebijakan selalu inheren dengan politik.
Namun, secara umum kebijakan tidak sekadar bernuansa politis, namun juga
mengandung makna wisdom atau kebijaksanaan. Wisdom politik inilah yang akhir-akhir ini langka dan terlupakan
dalam praktek politik di negeri ini.
Bagaimanapun,
unsur politik selalu tidak lepas dari
kepentingan dan wisdom. Keduanya
menjadi nilai yang inheren dalam praktik politik ideal. Jika keduanya tidak
disatukan atau hanya satu saja yang dimainkan, yakni kepentingan, tentu
praktik politik akan berjalan dengan kacamata kuda.
Hasilnya,
yang terjadi adalah munculnya adagium” Tidak ada kawan atau lawan yang abadi
dalam politik, yang ada hanya kepentingan.” Inilah musuh dan virus dari
politik yang membuat para pelaku di dalamnya menjadi tumpul, kering, dan
tidak memiliki roh seperti yang diperjuangkan dalam politik.
Dalam
khazanah politik modern, hal ini kerap disebut sebagai politik partisan,
pragmatisme, dan tentusaja sebuah politik yang hipokrit. Fenomena ini adalah
lawan dari politik kenegaraan dan kebangsaan. Maka, politik mestinya
dikembalikan pada hulunya, yakni wisdom, kebijaksanaan dan kebijakan yang
bijak.
Bagaimana
kita menemukan praktik politik yang bijak ketika politik era modern saat ini
sudah dikepung oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek, ekonomi, dan
kapitalisme? Politik saat ini sudah telanjur menjadi lumpur kekotoran.
Politik hari ini bagaikan sekadar permainan dan ajang kontestasi.
Parahnya, di ajang kontestasi itulah
kemudian sikap kenegarawanan mengalami reduksi dan terpinggirkan oleh
praktik-praktik politik yang cenderung menghalalkan segala cara. Hukum
diperdaya, uang memainkan segalanya, dan kepentingan kekuasaan menjadi
berhala. Namun, tentu kita sebagai bangsa tidak harus kemudian larut,
pesimis, dan diam terhadap kondisi ini.
Partai
politik sebagai ujung tombak demokrasi dalam melakukan praktek politik, harus
tetap dikontrol, diawasi, dan tentu saja dimasuki agar orangorang yang kering
dari jeritan rakyat, orang-orang yang mencari kehidupan dalam politik,
menjadi terpinggirkan. Mereka akan tergusur oleh orang-orang yang memang
dilahirkan menjadi sosok-sosok politisi negarawan yang ditempa melalui
jaringan pengalaman organisasi dan kepemimpinan.
Modal Sosial
Untuk
itu, kita perlu membangkitkan kembali khitah bangsa yang sudah pernah lahir
dan membesarkan bangsa ini. Kebangkitan Nasional yang menjadi titik awal
perumusan kebangsaan dan kenegaraan di negeri ini adalah modal sosial besar
bagi bangsa ini untuk bangkit kembali. Apalagi jika kita telusuri titik-titik
berikutnya muncul banyak tokoh yang memberikan inspirasi bagi dinamika
sejarah politik di sini. Sebut saja Soekarno, Hatta, Sjahrir, Mohammad
Natsir, Tan Malaka, dan sebagainya.
Generasi
politik baru mestinya meneruskan idealisme yang dibangun mereka. Upaya
sejumlah sineas film, misalnya, dengan mengangkat sejumlah tokoh sejarah
seperti film Soekarno, Sang Pencerah yang menceritakan sosok KH Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah, Sang Kiai yang menceritakan sosok KH Hasyim Asyari,
pendiri Nahdlatul Ulama, kemudian film Soegija yang menceritakan perjuangan
seorang pastor Katolik untuk perjuangan bangsa, adalah contoh bagaimana
melalui film kita dikenalkan oleh sosok-sosok panutan yang lebih
mengedepankan kepentingan bangsa dan negaranya dibandingkan kepentingan
pribadi dan kelompoknya.
Film
menjadi salah satu media yang cukup positif untuk membangkitkan kembali modal
sosial kita yang akhir-akhir ini jarang kita pakai. Sejarah memang masa lalu,
tapi sejarah adalah penentu bagi masa depan bangsa ini.
Soekarno
pernah menyatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai
jasa-jasa para pahlawannya. Inilah pesan politik yang semestinya menjadi
renungan bagi semua anak bangsa, terutama yang berniat masuk dalam gelanggang
politik sebagai jalan untuk menuju kepemimpinan bangsa ini.
Partai
politik sebagai entitas demokrasi mau tidak mau harus melihat hal ini sebagai
jawaban agar partai juga mampu memaksimalkan fungsinya untuk menyiapkan
politisi-politisi yang tangguh, bersih, dan tentu saja punya wisdom.
Kaderisasi politik menjadi tantangan bagi sebuah partai agar tidak bertumpu
pada persoalan pemilihan umum, apalagi sekadar berkutat pada pengisian
jabatan politik semata.
Ada
fungsi yang jauh lebih mulia bagi partai politik yakni pendidikan dan
kaderisasi politik agar partai tidak sekadar menjadi konsumen bagi ajang
pemilu dan pilkada sebagai kontestasi politik. Partai politik semestinya
menjadi produsen yang melahirkan kaderkadernya sebagai pemimpinpemimpin
politik yang dibutuhkan oleh negeri ini.
Pemimpin
politik seperti apa yang dibutuhkan oleh bangsa ini? Pemimpin-pemimpin
politik yang negarawan. Pemimpin politik yang sepi terhadap popularitas,
namun ramai dengan pengabdiannya kepada rakyat. Pemimpin politik yang
mengedepankan kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya dibandingkan kemakmuran
pribadi dan golongannya.
Pemimpin
yang selalu terpanggil dengan jeritan rakyatnya dibandingkan perintah
partainya. Itulah kerinduan kita pada sosok negarawan, politisi kebangsaan,
yang akhir-akhir ini hampir jarang kita jumpai. Semoga kita masih memiliki
harapan untuk menjumpainya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar