Kamis, 21 Mei 2015

Rindu Negarawan

Rindu Negarawan

Anna Luthfie  ;   Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo)
KORAN SINDO, 20 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Negarawan menjadi kata yang selama ini disematkan kepada orang-orang yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya, dibandingkan kepentingan diri maupun kelompoknya. Sosok ini menjadi harapan ideal bagi siapa pun yang merindukan hadirnya pemimpin. Sejarah politik di negeri ini sebenarnya telah memiliki modal sosial yang besar untuk melahirkan tokoh-tokoh negarawan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, negarawan dimaknai sebagai pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.

Dalam bahasa politik yang lebih populer, negarawaran dimaknai juga sebagai sosok yang mengorbankan segalanya untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Langkah Presiden Joko Widodo mensyaratkan para menterinya untuk tidak rangkap jabatan pada saat awal pembentukan Kabinet Kerja pada Oktober tahun lalu memberikan sinyal presiden ketujuh ini paham bahwa untuk membentuk sosok negarawan harus mulai dari sebuah sistem.

Tentu kita masih ingat dengan ungkapan yang cukup terkenal dan relevan sampai saat ini. Adalah ungkapan Manuel L Quezon, presiden pertama Filipina persemakmuran (sebelum menjadi Republik Filipina), ”My loyalty tomy party ends where my loyalty t o my country begins.” Sebuah loyalitas pada partai politik berakhir ketika loyalitas kepada negara dimulai. Hal yang sama juga diungkap Presiden AS ke-35, 20 Januari 1961, John F Kennedy ketika dilantik menjadi presiden negara adikuasa tersebut. Langkah Jokowi yang tidak memperkenankan anggota kabinetnya merangkap jabatan dengan memimpin parpol, sedikit banyak memberi sentimen positif terkait keseriusan sang menteri untuk bekerja demi rakyat, meskipun hal ini berdampak pada tergusurnya sejumlahnamayang potensial masuk kabinet, gagal menjadi menteri.

Dengan kata lain, penulis memandang langkah ini merupakan tradisi baru bagi proses pembangunan politik di negeri ini. Melahirkan sosok negarawan juga bisa melalui sistem seperti apa yang dilakukan Jokowi tersebut.

Wisdom Politik

Negarawan dalam konteks politik sebenarnya juga tidak lepas dari apa yang dikonsepkan oleh Aristoteles. Filsuf Yunani inilah yang pertama kali mengungkapkan soal konsepsi manusia itu makhluk politik atau zoon politicon. Aristoteles menyebutkan politik selalu identik dan berkorelasi dengan apa yang disebut di Yunani kuno sebagai polis.

Polis inilah yang dimaknai sebagai negara (state). Kata ini juga berkaitan dengan policy atau kebijakan. Jamak diketahui kebijakan selalu inheren dengan politik. Namun, secara umum kebijakan tidak sekadar bernuansa politis, namun juga mengandung makna wisdom atau kebijaksanaan. Wisdom politik inilah yang akhir-akhir ini langka dan terlupakan dalam praktek politik di negeri ini.

Bagaimanapun, unsur politik selalu tidak  lepas dari kepentingan dan wisdom. Keduanya menjadi nilai yang inheren dalam praktik politik ideal. Jika keduanya tidak disatukan atau hanya satu saja yang dimainkan, yakni kepentingan, tentu praktik politik akan berjalan dengan kacamata kuda.

Hasilnya, yang terjadi adalah munculnya adagium” Tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan.” Inilah musuh dan virus dari politik yang membuat para pelaku di dalamnya menjadi tumpul, kering, dan tidak memiliki roh seperti yang diperjuangkan dalam politik.

Dalam khazanah politik modern, hal ini kerap disebut sebagai politik partisan, pragmatisme, dan tentusaja sebuah politik yang hipokrit. Fenomena ini adalah lawan dari politik kenegaraan dan kebangsaan. Maka, politik mestinya dikembalikan pada hulunya, yakni wisdom, kebijaksanaan dan kebijakan yang bijak.

Bagaimana kita menemukan praktik politik yang bijak ketika politik era modern saat ini sudah dikepung oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek, ekonomi, dan kapitalisme? Politik saat ini sudah telanjur menjadi lumpur kekotoran. Politik hari ini bagaikan sekadar permainan dan ajang kontestasi.

 Parahnya, di ajang kontestasi itulah kemudian sikap kenegarawanan mengalami reduksi dan terpinggirkan oleh praktik-praktik politik yang cenderung menghalalkan segala cara. Hukum diperdaya, uang memainkan segalanya, dan kepentingan kekuasaan menjadi berhala. Namun, tentu kita sebagai bangsa tidak harus kemudian larut, pesimis, dan diam terhadap kondisi ini.

Partai politik sebagai ujung tombak demokrasi dalam melakukan praktek politik, harus tetap dikontrol, diawasi, dan tentu saja dimasuki agar orangorang yang kering dari jeritan rakyat, orang-orang yang mencari kehidupan dalam politik, menjadi terpinggirkan. Mereka akan tergusur oleh orang-orang yang memang dilahirkan menjadi sosok-sosok politisi negarawan yang ditempa melalui jaringan pengalaman organisasi dan kepemimpinan.

Modal Sosial

Untuk itu, kita perlu membangkitkan kembali khitah bangsa yang sudah pernah lahir dan membesarkan bangsa ini. Kebangkitan Nasional yang menjadi titik awal perumusan kebangsaan dan kenegaraan di negeri ini adalah modal sosial besar bagi bangsa ini untuk bangkit kembali. Apalagi jika kita telusuri titik-titik berikutnya muncul banyak tokoh yang memberikan inspirasi bagi dinamika sejarah politik di sini. Sebut saja Soekarno, Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, Tan Malaka, dan sebagainya.

Generasi politik baru mestinya meneruskan idealisme yang dibangun mereka. Upaya sejumlah sineas film, misalnya, dengan mengangkat sejumlah tokoh sejarah seperti film Soekarno, Sang Pencerah yang menceritakan sosok KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, Sang Kiai yang menceritakan sosok KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, kemudian film Soegija yang menceritakan perjuangan seorang pastor Katolik untuk perjuangan bangsa, adalah contoh bagaimana melalui film kita dikenalkan oleh sosok-sosok panutan yang lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negaranya dibandingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Film menjadi salah satu media yang cukup positif untuk membangkitkan kembali modal sosial kita yang akhir-akhir ini jarang kita pakai. Sejarah memang masa lalu, tapi sejarah adalah penentu bagi masa depan bangsa ini.

Soekarno pernah menyatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Inilah pesan politik yang semestinya menjadi renungan bagi semua anak bangsa, terutama yang berniat masuk dalam gelanggang politik sebagai jalan untuk menuju kepemimpinan bangsa ini.

Partai politik sebagai entitas demokrasi mau tidak mau harus melihat hal ini sebagai jawaban agar partai juga mampu memaksimalkan fungsinya untuk menyiapkan politisi-politisi yang tangguh, bersih, dan tentu saja punya wisdom. Kaderisasi politik menjadi tantangan bagi sebuah partai agar tidak bertumpu pada persoalan pemilihan umum, apalagi sekadar berkutat pada pengisian jabatan politik semata.

Ada fungsi yang jauh lebih mulia bagi partai politik yakni pendidikan dan kaderisasi politik agar partai tidak sekadar menjadi konsumen bagi ajang pemilu dan pilkada sebagai kontestasi politik. Partai politik semestinya menjadi produsen yang melahirkan kaderkadernya sebagai pemimpinpemimpin politik yang dibutuhkan oleh negeri ini.

Pemimpin politik seperti apa yang dibutuhkan oleh bangsa ini? Pemimpin-pemimpin politik yang negarawan. Pemimpin politik yang sepi terhadap popularitas, namun ramai dengan pengabdiannya kepada rakyat. Pemimpin politik yang mengedepankan kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya dibandingkan kemakmuran pribadi dan golongannya.

Pemimpin yang selalu terpanggil dengan jeritan rakyatnya dibandingkan perintah partainya. Itulah kerinduan kita pada sosok negarawan, politisi kebangsaan, yang akhir-akhir ini hampir jarang kita jumpai. Semoga kita masih memiliki harapan untuk menjumpainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar