Memimpin
Kebangkitan
M Arief Rosyid Hasan ; Ketua
Umum PB HMI
|
KORAN SINDO, 20 Mei 2015
Kebangkitan
tidak lahir dari mukjizat. Seperti berbagai gejala sosial lain dalam
kehidupan masyarakat, ia adalah penjumlahan dari usaha-usaha setiap kekuatan
sosial yang ada, untuk membawa hidup bersama kepada kondisi yang lebih baik,
lebih adil dan makmur.
Oleh
para pemula kebangsaan yang tergabung dalam Boedi Oetomo, Sjarikat Islam,
atau Indische Partij, politik etis yang diniatkan oleh pemerintah kolonial
untuk membentuk elite akomodatif, dibelokkan menjadi upaya melahirkan
kesadaran baru kebangsaan. Walau Indonesia masih hadir secara samarsamar,
harapan atas hidup bersama yang merdeka dan adilmakmur tak berhenti
diperjuangkan.
Kebangkitan
adalah mimpi bersama. Untuk mewujudkannya tentu butuh kepemimpinan. Namun,
sebenarnya kita belum beranjak dari masa kanakkanak ketika apa yang memikat
adalah harapan tentang hadirnya para pemimpin hebat, baik yang mitis maupun
yang riil. Bahkan heboh mengenai kepemimpinan barangkali muncul dari
ketidakberdayaan kita sendiri untuk mewujudkan citacita itu.
Kemudian
melalui rutinitas pemilihan umum, kita bebankan ketidakberdayaan itu kepada
para pemimpin, sambil berharap kebaikan hati mereka. Dalam demokrasi, negara
memang memiliki kuasa untuk mengelola usaha bersama (respublica), tapi dalam
kenyataan mutakhir kuasa pemerintah untuk mengelola Indonesia ada dalam
pusaran kinerja berbagai kekuasaan lain, seperti para pemodal, kuasa agama,
dan kemajuan sains-teknologi.
Pemerintah
dibentuk dari mandat publik, namun dapat dikekang oleh kinerja berbagai kuasa
lain. Negara modern bukan sekadar pelaku, melainkan sebuah arena kekuasaan
yang diperebutkan oleh berbagai kelompok kepentingan yang ada. Cita-cita
res-publica bisa gagal bukan hanya lantaran maksud buruk pejabat negara,
melainkan juga karena mereka dikekang oleh kelompok-kelompok lain seperti
pemodal, kelompok agama, militer, dan sebagainya.
Karena
itu, pemenuhan atas cita-cita bersama ditentukan bukan hanya oleh negara an
sich, tetapi juga melalui koreksi dan partisipasi oleh kekuatan warga untuk
menghentikan keganasan setiap kuasa yang bertentangan dengan kepentingan
publik.
Utang
Sejarah
Di
Istana Negara saat memenuhi undangan Presiden Joko Widodo pada Selasa (18/5)
petang, saya sampaikan bahwa pemerintahan yang beliau pimpin berdiri di atas
banyak utang sejarah yang harus segera dilunasi. Reformasi 1998 mengambil
tempat dalam sejarah bangsa ini, juga sebagai hasil dari usaha bersama, untuk
mengembalikan arah pengelolaan bangsa kepada cita-cita kebangkitannya.
Kini,
setelah 17 tahun, memang demokrasi menguat dan militer dilepaskan dari fungsi
politik, namun supremasi hukum dan peningkatan kesejahteraan masih menyisakan
lubang yang dalam. Presiden Joko Widodo tampil dengan membawa harapan kita
akan perubahan. Namun, sepanjang tujuh bulan terakhir tanda perubahan itu tak
juga terlihat signifikan, yang tampak malah uji coba kekuasaan pada
lembaga-lembaga pemerintah.
Antara
KPK dan Polri, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Kemenpora dan PSSI.
Kinerja banyak menteri pada Kabinet Kerja belum juga optimal, bahkan beberapa
belum tuntas melakukan restrukturisasi dan jauh dari memuaskan. Rakyat banyak
ingin perubahan yang cepat dan terasa, namun pemerintah ternyata tidak mampu
memenuhinya.
Rakyat
kecil malah harus menghadapi kesulitan ekonomi karena harga- harga bahan pokok
naik, terutama karena naiknya harga BBM. Keresahan dan kemarahan rakyat
adalah akibat yang wajar akibat menurunnya kemampuan ekonomi dan harapan
hidup. Walaupun tuntutan beberapa kelompok untuk melakukan perubahan
kepemimpinan secara nondemokratis akan membawa risiko serius bagi kelanjutan
demokrasi, dan karenanya perlu dihindari, bukan berarti pemerintah bisa
mengabaikan begitu saja aspirasi dan kegelisahan rakyat banyak.
Mengatasi
Tantangan
Kini
negara-negara semisal China, India, Iran, tengah menggapai puncak-puncak
peradaban mereka; beberapa negara lain malah mengalami devolusi peradaban.
Suriah, Irak, Yaman, dan banyak negara lain tak juga bisa beranjak dari
konflik yang hampir semua bersifat sektarian.
Dari dua
model kenyataan itu kita dapat belajar. Kelompok negara-negara pertama
memperoleh kemajuan dari kekuatan warganya sendiri yang mandiri dan
mengembangkan pengetahuan dan peranti hidup bersama yang adil dan merata.
Kelompok negara- negara kedua terancam jatuh dalam jurang kehancuran karena
akumulasi kekuasaankesejahteraan yang timpang sehingga hilang rasa saling
percaya satu sama lain.
Kita
punya Pancasila sebagai inspirasi bagi kebangkitan hidup bersama. Kita punya
keberagaman antarsuku bangsa dan kekayaan pengetahuan lokal yang bisa
dikembangkan menjadi daya bangkit, menuju masyarakat yang lebih adil dan
makmur. Pemerintah beserta setiap kelompok kuasa dan kepentingan perlu
menjaga baik-baik dua modal kebangkitan ini.
Dalam
dinamika sejarah yang akan kita temui di masa datang, Indonesia akan menjadi
bangsa yang punya daya saing, juga daya hidup untuk mencapai puncakpuncak
peradaban yang memuliakan kemanusiaan. Selamat Hari Kebangkitan Nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar