Reunifikasi
PAN dan Agenda Kebangsaan
Andi Taufan Tiro ; Anggota DPR RI
|
MEDIA INDONESIA, 07 Mei 2015
HIRUK pikuk politik di pentas nasional sejak
menjelang pemilihan presiden (pilpres) tahun lalu, pertarungan di gedung
legislatif, hingga kongres partai-partai nasional harus diakui masih dan
semakin memanaskan situasi. Tak pelak banyak hubungan persahabatan,
pertemanan, bahkan persaudaraan yang retak, bahkan remuk redam akibat seteru
ambisi kekuasaan.
Dinamika politik ibarat memainkan kepiawaian
seni, dengan tetap mengedepankan martabat dan etika. Bila kita bersepakat
bahwa politik adalah seni, lakon yang dipertunjukan ialah lakon yang indah,
bukan pertunjukan norak sekaligus memuakkan rakyat, atau malah jadi bahan
cemoohan karena perilaku kekanak-kanakan dari keambisiusan sebagai politisi.
Sebagai bagian dari partai modern dan terbuka,
PAN dan juga banyak partai politik lain akan melewati keniscayaan dari hiruk
pikuk tersebut, dan tak dapat menghindari dina mika tersebut. Bahkan, kader parpol
harus mau menghadapi peristiwa politik sedramatis apa pun itu. Dengan situasi
seperti itulah kader akan belajar dan tumbuh baik sebagai pribadi maupun
sebagai politisi yang semakin matang.
PAN pada mulanya didirikan oleh Amin Rais
sebagai partai reformis, sebagai bagian identik dari peristiwa sejarah bangsa
ini; reformasi. Dengan lahirnya reformasi tentu tidak bisa mengalami
kejumudan dari praktik-praktik politik yang klasik dan berwatak feodal.
Kini, tongkat komando sudah berada di tangan
Zulkifli Hasan, dan atmosfer reformasi serta modern tak boleh padam untuk
memberi harapan. Hal terpenting yang ingin dicapai Zulkifli sebagai Ketua
Umum PAN ialah membangun partai dengan berlandaskan pada reunifikasi,
revitalisasi, dan regenerasi.
Reunifikasi
Salah satu titik poin dalam pencalonan
Zulkifli saat kong res lalu di Denpasar ialah keinginannya untuk melakukan
reunifikasi. Itu sebuah upaya konsolidasi partai guna menguatkan partai
setelah berupaya melewatkan beberapa cobaan yang mau tidak mau sempat meregangkan
fondasi partai.
Dukungan terhadap reunifikasi ini juga muncul
dari dua deklarator partai, Amin Rais dan AM Fatwa. Kutipan the founding father Bung Karno, `Jangan
sekali-kali melupakan sejarah', sangatlah relevan dengan semangat
reunifikasi. Terlebih bila akhirnya terwujud untuk mengumpulkan mereka yang
pernah besar di PAN, bahkan yang pernah berdarah-darah membangun partai ini,
tentulah sangat diharapkan.
Sebagai pribadi yang utuh melihat gagasan ini,
tentunya hal itu sebagai upaya kerendahan hati sang ketua umum untuk melihat
keutuhan partai di atas segala-galanya. Juga tidak menafikan peran seluruh
kader dari masa ke masa, yang diharapkan berdampak positif dengan semakin
menguatkan internal partai bahkan menjadi semakin besar lagi. Apalagi setelah
mengalami proses kongres yang akan menjaga partai dari gelombang dualisme
seperti partai lainnya sehingga kita bisa bekerja lebih cepat dari partai
lainnya.
Revitalisasi
Perhelatan politik di negeri ini begitu riuh
dan nyaris tanpa jeda. Momentum-momentum baik di internal maupun eksternal
partai tentu menguras energi yang tidak sedikit. Fokus kader (dan juga
partai) bagaimanapun akan mengalami dekadensi bila dikuras terus-menerus. Itu
sebabnya sesuai dengan gagasan yang diinginkan ketua umum baru, PAN mesti
melakukan revitalisasi. Makanya upaya reunifikasi tidak bisa ditunda-tunda
lagi. Partai harus segera melakukan semacam refresh demi menyegarkan kembali
fokus visi keorganisasian, membenahi kerja-kerja, dan bersiap dengan gagasan
serta strategi gerakan nasional menghadapi momentum pilkada di beberapa
daerah tahun ini.
Momentum pelantikan dan rakernas menjadi
penting dalam mewujudkan revitalisasi partai. Bukan hanya bersiap menghadapi
pilkada, pandangan partai secara umum terhadap perkembangan politik nasional
dan internasional juga perlu disegarkan kembali. Sebagai partai reformis, PAN
pastinya akan selalu melek pada perubahan arus dan dinamika yang terjadi
sehingga dalam konteks politik nasional harapannya mampu menjadi penyeimbang
yang bernas.
Regenerasi
Pertumbuhan suatu partai akan sangat
ditentukan dengan adanya proses regenerasi yang terjadi dalam dirinya. Hal
itu sejatinya tidak pernah mandek dilakukan, baik dalam struktural maupun
fungsi-fungsi setiap kader. Pandangan kebaruan bisa tercapai bila partai
senantiasa digerakkan oleh potensi-potensi baru kader yang mumpuni, tentunya
dengan memberi ruang kepada mereka.
Proses regenerasi menjadi keniscayaan dalam
partai yang mengindentikkan diri sebagai partai reformis dan menyadari
perkembangan dinamika di sekitarnya. Sebagai partai `tengah' sudah seharusnya
PAN menjaga posisinya tersebut untuk tidak jatuh pada kondisi jumud, dan atau
malah ortodoks.
Situasi menjadi lebih menarik karena partai
bukan tidak jatuh pada ketergantungan figur dalam partai tersebut. Partai
mewujudkan secara konkret kesadaran reformis dan keinsafan atas dinamika
partai.
Ada tiga gagasan yang dituangkan Zulkifli
dalam membangun partai ini. Pertama, menjaga partai dari suhu panas
pertikaian politik pascapilpres. Terlebih dinamika kepartaian di Indonesia
begitu riuh dengan adanya KMP versus KIH. Dinamika itu bisa dipandang positif
mengingat fungsi partai tidak saja selalu mengaminkan kebijakan penguasa,
tapi juga menjalankan fungsi kontrol tanpa mengorbankan objektivitas dan
kepentingan rakyat.
Kedua, keluwesan dalam menjalankan roda partai
modern dengan memperkuat internal partai, merevitalisasi pandangan dan
kinerja kader dan partai, serta meletakkan kepentingan partai di atas
kepentingan personal. Hal-hal tersebut diwujudkan untuk selalu membaca
dinamika pertumbuhan yang terjadi di sekitarnya. Itu untuk mencegah
terjadinya kebergantungan pada patron elite. Regenerasi adalah hal mutlak
yang akan dilakukan partai, yang tentu dibarengi dengan proses kapasitas
kader yang lebih baik.
Akhirnya kita semua hanya akan menunggu
kinerja pengurus PAN yang baru di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan.Ada
banyak hal yang menjadi tumpuan untuk berjalan dari periode kepemimpinan
sebelumnya, juga banyak harapan yang akan terus diraih partai ini dengan memulai
kerja lebih awal.
David Llyod George, politikus reformis dan
negarawan Inggris yang merupakan tokoh kunci di Konferensi Perdamaian Paris
1919 yang mengatur kembali Eropa setelah kekalahan Jerman dalam Perang Besar,
menyatakan, “Politikus adalah orang yang
dengannya kita tak bersetuju. Tatkala kita bersetuju, dia adalah negarawan.“
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar