Jangan
Retak di Pilkada Serentak
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya
Yogyakarta;
Alumnus Doktor Ilmu Hukum UGM
|
MEDIA INDONESIA, 07 Mei 2015
TAHAPAN pilkada serentak yang dimulai pada
Juli mendatang sudah di ujung tanduk. KPU sudah hampir menyelesaikan
keseluruhan draf Peraturan KPU (PKPU) sebagai legal framework operasional bagi pelaksanaan pilkada serentak
yang pada tahun ini akan dilaksanakan pada Desember. Hanya PKPU yang mengatur
persyaratan calon peserta pilkada agak tersendat pembuatannya, akibat masih
adanya sengketa hukum mengenai legalitas kepengurusan yang kini sedang
dilakukan oleh PPP dan Golkar di PTUN dan di pengadilan negeri.
Di tengah masih adanya dua partai politik yang
sedang bersengketa di pengadilan, sungguh janggal ketika sebagian elemen
wakil rakyat di DPR sebagai institusi yang mewakili seluruh rakyat, justru
sempat merekomendasikan agar KPU menggunakan putusan pengadilan yang terakhir
sebagai dasar penentuan keikutsertaan calon peserta pilkada bagi partai yang
sedang bersengketa di pengadilan.
Posisi KPU cukup dilematik dalam mengambil
keputusan, karena dihadapkan pada dua partai yang sedang mengalami konflik
hukum. Perdebatan panjang antara Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR bersama
KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dengan rapat konsultasi
penyusunan 10 Peraturan KPU (PKPU) pemilihan kepala daerah (pilkada)
serentak, akhirnya bermuara pada sebuah kesepakatan. DPR melalui Komisi II
yang menyetujui seluruh partai politik (parpol) peserta pemi-lu 2014 dapat
mengikuti pilkada serentak 2015.
Persetujuan tersebut termasuk mempertimbangkan
dua parpol yang tengah mengalami dualisme kepengurusan, yaitu Partai Golkar
dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Terkait dengan hal tersebut, DPR
akhirnya memberikan tiga rekomendasi kepada KPU, terutama dalam menyusun PKPU
pencalonan kepala daerah. Pertama, PKPU tetap mendorong partai-partai secara
institusional bisa terlibat dan ikut dalam proses pilkada. Kedua, di dalam
PKPU juga diatur berlangsungnya islah bagi parpol yang bersengketa sebelum
pencalonan kepada daerah dan wakil kepala daerah ditutup.
Rekomendasi ketiga ialah pengurus parpol yang
bersengketa berhak ikut pilkada dan mencalonkan pasangan kepala daerah-wakil
kepala daerah ialah didasarkan pada aturan pertama, yakni didasarkan putusan
pengadilan yang berkuatan hukum tetap sebelum pencalonan 26-28 Juli 2015.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya
menyepakati parpol yang berhak mengikuti pilkada ialah yang terdaftar di
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum dan HAM). Apabila terjadi gugatan atas
pencatatan negara tersebut, KPU mengharuskan putusan yang sifatnya final dan
mengikat bagi satu kepengurusan untuk bisa mengikuti pilkada.Untuk kriteria
yang terakhir, jika sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap, KPU berpendapat bahwa kepengurusan yang sah hasil putusan pengadilan
tersebut tetap harus didaftarkan kembali ke Kemenkum dan HAM, sesuai dengan
amanat UU Partai Politik.
Keputusan KPU ini jelas berbeda dengan
beberapa poin rekomendasi Komisi II DPR yang meminta KPU menerima
kepengurusan satu partai yang telah mendapatkan pengesahan pengadilan
meskipun belum inkracht. KPU juga
memberikan alternatif bagi parpol apabila putusan pengadilan dirasa cukup
panjang dan belum tuntas hingga proses pendaftaran berlangsung, bisa
melakukan islah. Berdasarkan islah tersebut, nantinya kedua belah pihak bisa
menentukan kepengurusan mana yang akan dibawa ke Kemenkum dan HAM untuk
didaftarkan. Kepengurusannya yang disetujui antarpihak yang bersengketa di
internal parpol juga harus didaftarkan kepengurusannya ke Kemenkum dan HAM
RI.
Jalan tengah
Keputusan KPU tersebut tak sepenuhnya
mengikuti rekomendasi DPR. Hal ini membuktikan independensi KPU yang memang
dinisbahkan oleh konstitusi dan UU Pemilu sebagai lembaga negara
nonstruktural yang bersifat independen (state
auxiliary body). Terlepas dari pendapat penulis sebelumnya yang
mengusulkan agar KPU menggunakan rujukan SK pengesahan kepengurusan parpol
yang sah sesuai dengan amanat UU Parpol dan UU Administrasi Pemerintahan,
tetapi penulis mengapresiasi keputusan jalan tengah KPU.
Namun, tetap dengan
menggunakan beberapa catatan penting. Pertama, meskipun putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap dalam hukum acara tak selalu harus terjadi di
Mahkamah Agung (MA) bilamana di tingkat pertama maupun banding, para pihak
yang bersengketa sama-sama bersedia menerima putusan pengadilan tingkat
tertentu.
Namun, asumsi menggunakan dasar putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap memerlukan waktu yang panjang. Hal
ini bisa diatasi manakala hasil konsultasi antara KPU dan MA bisa
menghasilkan kesepakatan berupa lahirnya kebijakan skala prioritas bagi MA
dan institusi pengadilan di bawahnya untuk mempercepat penyelesaian seluruh
sengketa pilkada, sebelum tenggat pendaftaran keikutsertaan calon peserta
pilkada yang tahapannya akan dimulai pada Juli 2015.
Kedua, pada akhirnya muaranya ialah
pendaftaran kepengurusan parpol di Kemenkum dan HAM yang akan menjadi penentu
keabsahan keikutsertaan calon peserta pilkada serentak di pilkada. Hal ini
tentu justru mengafirmasi tesis penulis dalam beberapa opini sebelumnya
mengenai karakteristik khusus dari SK Menkum dan HAM terkait dengan keabsahan
kepengurusan parpol yang bersifat deklaratif dan merupakan tipologi keputusan
eenmalig yang hanya berlaku sekali
untuk seterusnya pascapene-tapan suatu keputusan tata usaha negara.
Hal ini sekaligus juga ingin menyatakan bahwa
penundaan pelaksanaan KTUN yang dilakukan oleh PTUN Jakarta merupakan langkah
yang tak bijak, karena justru menjadi bagian dari masalah, bukan bagian dari
penyelesaian masalah terkait dengan pelaksanaan pilkada serentak.
PTUN Jakarta tak jeli menganalisis karakter
khusus SK Menkum dan HAM dalam pengesahan kepengurusan parpol. Selain itu,
juga ada perlakuan berbeda dengan kasus gugatan koalisi LSM atas SK Presiden
terhadap pengangkatan 2 hakim konstitusi beberapa tahun lalu, yang justru
karena tak ditunda pelaksanaannya bisa menyebabkan Mahkamah Konstitusi tetap
bisa tetap menjalankan fungsinya.
Akhirnya, tentu banyak pihak berharap
keputusan KPU tersebut bisa ditindaklanjuti menjadi PKPU sebagai jalan keluar
sementara, agar tak terjadi stagnasi dalam pelaksanaan pilkada untuk
kepentingan umum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar