Perubahan
Paradigma TVRI-RRI
Agus Sudibyo ; Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
|
KORAN TEMPO, 18 Mei 2015
Setelah
ditetapkan menjadi lembaga penyiaran publik dengan Undang-Undang Penyiaran
Nomor 32 Tahun 2002, Televisi Republik Indonesia (TVRI) ibaratnya remaja yang
sedang mencari jati diri. Di satu sisi ingin menghapus jejak-jejaknya sebagai
stasiun televisi pelat merah, di sisi lain kesulitan menerjemahkan konsep
lembaga penyiaran publik setelah berpuluh-puluh tahun menjadi stasiun televisi
pelat merah. Yang terjadi kemudian, TVRI justru terkesan meniru-niru
pendekatan atau model stasiun televisi komersial.
Meminjam
deskripsi almarhum Veven Wardhana, jika kita sedang menonton siaran TVRI,
lalu menutup pojok kiri atas layar televisi tempat logo stasiun televisi
berada, mungkin kita tidak sadar sedang menonton siaran televisi publik. Kita
akan berpikir sedang menonton siaran televisi komersial. Kemasan siaran
berita, dialog, musik, sinetron, olahraga di TVRI kurang-lebih serupa dengan
tayangan sejenis di stasiun televisi komersial. Hanya kualitas
audio-visualnya yang berbeda.
Perlu
digarisbawahi, TVRI memang harus mengejar ketertinggalan. Namun bukan dalam
perbandingannya dengan stasiun televisi komersial, melainkan dengan stasiun
televisi publik di Inggris, Jepang, Australia, dan lain-lain. Maka yang
semestinya menjadi acuan TVRI bukanlah stasiun televisi komersial, melainkan
stasiun televisi publik di negara itu. Tidak relevan membandingkan stasiun
televisi publik dengan stasiun televisi komersial karena tujuannya berbeda.
Urgensi stasiun televisi publik justru untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang
tidak dapat dipenuhi stasiun televisi komersial karena perbedaan tujuan tadi.
Persoalan
ini harus diperhatikan benar dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Radio
dan Televisi Indonesia (RUU RTRI) yang ingin menyatukan TVRI dan RRI sebagai
lembaga penyiaran publik. Salah satu tantangan para perumus RUU RTRI adalah
melampaui cara berpikir dikotomis “penyiaran pemerintah vs penyiaran
komersial” dan sungguh-sungguh melakukan internalisasi atas prinsip-prinsip
lembaga penyiaran publik.
Hal ini
sangat menentukan nasib TVRI dan RRI ke depan, tapi bukan perkara mudah untuk
dilakukan. Dikotomi itu sudah telanjur merasuki pikiran banyak pihak. Sering
kali kita tidak sadar sedang menggunakan logika berpikir penyiaran pemerintah
atau penyiaran komersial ketika sedang membahas tentang televisi atau radio
publik.
Sekadar
contoh, salah satu referensi yang sering dirujuk untuk pelembagaan RTRI
adalah Radio Televisi Malaysia (RTM). Padahal semua pihak paham RTM mengabdi
sepenuhnya kepada penguasa resmi. Bukankah yang sedang kita lakukan justru
adalah mengoreksi jejak-jejak TVRI dan RRI sebagai media yang mengabdi kepada
kekuasaan resmi? Jelas sekali RTM adalah lembaga penyiaran milik pemerintah
dan bukan model ideal bagi RTRI.
Berbagai
pihak masih sering menyamakan lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran
pemerintah. Hal ini juga terjadi terkait dengan status dan anggaran TVRI-RRI.
Rumusan TVRI-RRI sebagai lembaga penyiaran publik dalam UU Penyiaran adalah
“lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara,
bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan
layanan untuk kepentingan masyarakat.”
Masalahnya,
pemerintah umumnya telanjur beranggapan bahwa lembaga yang didirikan atau
dibiayai negara harus berpihak kepada kepentingan negara yang hampir selalu
direduksi menjadi kepentingan pemerintah. Menggunakan APBN sama artinya
dengan menggunakan uang pemerintah.
Konsekuensinya,
pemerintah merasa berhak mengintervensi manajemen, kebijakan, dan orientasi
TVRI dan RRI. Maka terus muncul tuntutan agar TVRI dan RRI menampilkan
pemberitaan positif tentang pemerintah, tidak ikut-ikutan mengritik
pemerintah, bahkan menjadi counter-discourse
atas kritisisme pers terhadap pemerintah.
Ini
persoalan serius yang harus diatasi RUU RTRI. RUU RTRI harus mencerminkan
perubahan paradigma dalam memandang TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran,
serta dalam melihat duduk masalah pengelolaan APBN. Bahwa APBN adalah dana
publik yang harus dikelola untuk kepentingan-kepentingan masyarakat, dan
bukannya dana milik pemerintah. Bahwa negara dengan berbagai institusinya
pertama-tama adalah representasi masyarakat. Lembaga-lembaga negara untuk mewakili
dan melayani kepentingan masyarakat, dan bukan melayani kepentingan
partikular para pejabat publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar