Senin, 18 Mei 2015

AA

AA

Sarlito Wirawan Sarwono   ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 17 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

AA di sini tidak ada hubungannya dengan Peringatan Kongres Asia-Afrika ke-60 yang baru usai dilaksanakan di Bandung. Juga tidak ada hubungannya dengan ustad kondang yang sering dipanggil dengan julukan AA Gym, atau penyanyi rock gaek, Ahmad Albar.

AA di sini adalah inisial nama seorang artis bom-seks, pemain film dan model foto untuk majalah-majalah laki-laki dewasa (perempuan dilarang baca), yang kebetulan dipanggil polisi untuk menjadi saksi atas tindakan mucikarinya yang bernama RA, yang kebetulan dicokok polisi dan dijadikan tersangka karena perbuatannya ”menjual” perempuan itu dianggap sebagai bisnis pelacuran yang melanggar hukum.

Kejadian pemberantasan pelacuran, yang sering dianggap penyakit sosial, tentu saja bukan pertama kali ini terjadi. Sejak zaman dulu polisi (zaman saya masih sekolah ada yang namanya Polisi Susila) dan sekarang Satpol PP, menguberuber pelacur jalanan sehingga mereka ini kabur berantakan, dan sebagian ada yang nekat nyemplung ke kali. Lokalisasi Kramat Tunggak di Jakarta dijadikan area masjid yang megah, dan lokalisasi lain di Surabaya, Dolly, ditutup paksa oleh wali kota.

Di kelas sosial yang lebih tinggi, setiap malam polisi atau Satpol PP merazia hotel-hotel melati dan rumah-rumah indekos untuk menangkap pasangan-pasangan nonsuami- istri yang sedang bersamasama di kamar, seakan-akan mereka suami -istri beneran. Jelaslah bahwa penertiban dan pembersihan penyakit sosial ini tidak pernah berhenti dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi tetap saja penyakit itu tidak sembuh-sembuh.

Malah terjadi pembunuhan atas diri seorang PSK atau pekerja seks komersial (kalau kelas sosial menengah-atas tidak dipanggil pelacur), yang bernama Tata Chubbi yang dibunuh oleh laki-laki hidung belang pelanggannya sendiri. Kejadiannya di apartemennya sendiri yang dijadikannya tempat praktik, sedangkan marketing -nya dilakukannya sendiri melalui media sosial (SMS, WA, atau Twitter ) dari HP-nya sendiri.

Pokoknya serbasendiri! Hasilnya dahsyat sekali. Praktiknya laris, tanpa ia harus beranjak dari apartemennya. Tetapi, risikonya juga sangat tinggi. Terbukti, dia tewas di tangan pelanggannya sendiri. Wajarlah kalau polisi jadi gemes betul. Dan, ketika ada laporan masyarakat tentang RA yang bertindak sebagai Germo (Gerakan Menjual Orang), langsung mereka pasang jebakan, dan tertangkaplah RA. AA sebagai orang yang akan dijual, hanya dipanggil sebagai saksi (mungkin karena AA tidak tertangkap basah).

Namun, kesaksian AA dan keterangan RA selanjutnyalah yang telah mengguncangkan Jakarta. Foto-foto artis yang diduga AA marak tersebar di media sosial. Dalam keterangan persnya, polisi mengungkapkan bahwa tarif AA adalah Rp 80 juta untuk short time (3 jam), dan praktiknya dilakukan di hotel berbintang lima.

Istilah yang digunakan pun bukan pelacur atau PSK, melainkan artis (patutlah banyak artis yang marah karena status sosialnya jadi tercemar walaupun mereka tidak ikut-ikutan apa pun). Tentu saja artis AA yang fotonya sudah tersebar membantah bahwa itu foto dirinya. Tetapi, alih-alih mereda dengan penjelasan AA itu, malah muncul sederetan inisial lain yang konon adalah singkatan nama artis yang lebih heboh lagi seperti TB, LM, CT, RF, dan seterusnya yang masing-masing ditawarkan dengan tarif sampai Rp200 juta short time.

Maka, artis-artis yang inisialnya kebetulan sama dengan yang digosipkan itu langsung jadi kejaran wartawan-wartawan paparazi, penguber berita sensasi dan hasil wawancara pun naik ke rubrik selebritas di berbagai siaran tivi, yang mendongkrak rating naik tinggi-tinggi. Padahal, yang penting kita cermati sebenarnya adalah yang di balik sensasi itu.

Berapa orang laki-laki di Indonesia ini yang mampu atau ikhlas membayar puluhan, bahkan ratusan, juta rupiah untuk sekadar melepas syahwat selama beberapa menit? Teorinya tiga jam, praktiknya hanya beberapa menit yang betul-betul ****** (disensor). Sesudah itu? Menyesalnya bisa berbulan-bulan. Buat apa buang-buang duit seperti itu? Kecuali kalau itu duit haram (dari gratifikasi, korupsi, atau narkoba).

Jadi, kasus RA dan AA adalah hanya puncak gunung es dari penyakit sosial yang namanya seks haram. Bukan seks bebas karena termasuk pelacuran yang harus bayar, bukan juga seks di luar nikah karena termasuk juga nikah siri atau nikah mutmutah yang sepertinya halal, tetapi tetap haram. Dulu, zaman saya masih sekolah SMA, ada juga seks haram. Sudah jadi rahasia umum di kalangan teman-teman sekolah saya bahwa Bunga (bukan nama sebenarnya), yang kembang mawarnya sekolah, banyak pacarnya.

Tiba-tiba Bunga ini absen dari sekolah, tetapi beberapa bulan kemudian dia tiba-tiba sekolah lagi. Gosip pun merebak, khususnya bahwa si Bunga hamil, kemudian disembunyikan ke kampung tempat tinggal pembantunya. Setelah melahirkan, bayinya dibawa pulang dan diakui sebagai adik barunya (memang kata teman-teman Bunga yang suka ke rumahnya, di rumah Bunga ada bayi). Tetapi, itu dulu, zaman belum ada tivi, apalagi HP, apalagi gadget.

Tetapi, sekarang remaja sampai om-om dan tante-tante enak saja bikin foto atau film adegan porno mereka sendiri dan mengunggah sendiri di media sosial pribadi mereka sendiri, tetapi langsung beredar di media sosial umum. Beberapa malah sempat muncul di media massa.

Bahkan, belum lama ini seorang mahasiswa saya menunjukkan foto di HP-nya (ia pun mendapat kiriman dari temannya lagi), yang menunjukkan adegan dua anak laki-laki dan perempuan berumur sekitar 7 atau 8 tahun, dari kelas sosial bawah, sedang melakukan adegan blow j ** (sensor).

Tentu saja polisi tidak akan menjangkau sejauh itu. Ini tugas orang tua, pendidik, tokoh agama, para pembuat kebijakan publik, dan lainnya. Tetapi, apa yang mau mereka lakukan kalau mereka lebih tertarik untuk mengetahui siapa nama artis di balik inisial-inisial itu ketimbang mencermati gejala penyakit sosial yang sudah menggunung es itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar