AA
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN SINDO, 17 Mei 2015
AA di
sini tidak ada hubungannya dengan Peringatan Kongres Asia-Afrika ke-60 yang
baru usai dilaksanakan di Bandung. Juga tidak ada hubungannya dengan ustad
kondang yang sering dipanggil dengan julukan AA Gym, atau penyanyi rock gaek,
Ahmad Albar.
AA di sini
adalah inisial nama seorang artis bom-seks, pemain film dan model foto untuk
majalah-majalah laki-laki dewasa (perempuan dilarang baca), yang kebetulan
dipanggil polisi untuk menjadi saksi atas tindakan mucikarinya yang bernama
RA, yang kebetulan dicokok polisi dan dijadikan tersangka karena perbuatannya
”menjual” perempuan itu dianggap sebagai bisnis pelacuran yang melanggar
hukum.
Kejadian
pemberantasan pelacuran, yang sering dianggap penyakit sosial, tentu saja
bukan pertama kali ini terjadi. Sejak zaman dulu polisi (zaman saya masih
sekolah ada yang namanya Polisi Susila) dan sekarang Satpol PP, menguberuber
pelacur jalanan sehingga mereka ini kabur berantakan, dan sebagian ada yang
nekat nyemplung ke kali. Lokalisasi Kramat Tunggak di Jakarta dijadikan area
masjid yang megah, dan lokalisasi lain di Surabaya, Dolly, ditutup paksa oleh
wali kota.
Di kelas
sosial yang lebih tinggi, setiap malam polisi atau Satpol PP merazia
hotel-hotel melati dan rumah-rumah indekos untuk menangkap pasangan-pasangan
nonsuami- istri yang sedang bersamasama di kamar, seakan-akan mereka suami
-istri beneran. Jelaslah bahwa penertiban dan pembersihan penyakit sosial ini
tidak pernah berhenti dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi tetap saja
penyakit itu tidak sembuh-sembuh.
Malah
terjadi pembunuhan atas diri seorang PSK atau pekerja seks komersial (kalau
kelas sosial menengah-atas tidak dipanggil pelacur), yang bernama Tata Chubbi
yang dibunuh oleh laki-laki hidung belang pelanggannya sendiri. Kejadiannya
di apartemennya sendiri yang dijadikannya tempat praktik, sedangkan marketing
-nya dilakukannya sendiri melalui media sosial (SMS, WA, atau Twitter ) dari
HP-nya sendiri.
Pokoknya
serbasendiri! Hasilnya dahsyat sekali. Praktiknya laris, tanpa ia harus
beranjak dari apartemennya. Tetapi, risikonya juga sangat tinggi. Terbukti,
dia tewas di tangan pelanggannya sendiri. Wajarlah kalau polisi jadi gemes
betul. Dan, ketika ada laporan masyarakat tentang RA yang bertindak sebagai
Germo (Gerakan Menjual Orang), langsung mereka pasang jebakan, dan
tertangkaplah RA. AA sebagai orang yang akan dijual, hanya dipanggil sebagai
saksi (mungkin karena AA tidak tertangkap basah).
Namun,
kesaksian AA dan keterangan RA selanjutnyalah yang telah mengguncangkan
Jakarta. Foto-foto artis yang diduga AA marak tersebar di media sosial. Dalam
keterangan persnya, polisi mengungkapkan bahwa tarif AA adalah Rp 80 juta
untuk short time (3 jam), dan
praktiknya dilakukan di hotel berbintang lima.
Istilah
yang digunakan pun bukan pelacur atau PSK, melainkan artis (patutlah banyak
artis yang marah karena status sosialnya jadi tercemar walaupun mereka tidak
ikut-ikutan apa pun). Tentu saja artis AA yang fotonya sudah tersebar
membantah bahwa itu foto dirinya. Tetapi, alih-alih mereda dengan penjelasan AA
itu, malah muncul sederetan inisial lain yang konon adalah singkatan nama
artis yang lebih heboh lagi seperti TB, LM, CT, RF, dan seterusnya yang
masing-masing ditawarkan dengan tarif sampai Rp200 juta short time.
Maka,
artis-artis yang inisialnya kebetulan sama dengan yang digosipkan itu langsung
jadi kejaran wartawan-wartawan paparazi, penguber berita sensasi dan hasil
wawancara pun naik ke rubrik selebritas di berbagai siaran tivi, yang
mendongkrak rating naik tinggi-tinggi. Padahal, yang penting kita cermati
sebenarnya adalah yang di balik sensasi itu.
Berapa
orang laki-laki di Indonesia ini yang mampu atau ikhlas membayar puluhan,
bahkan ratusan, juta rupiah untuk sekadar melepas syahwat selama beberapa
menit? Teorinya tiga jam, praktiknya hanya beberapa menit yang betul-betul
****** (disensor). Sesudah itu? Menyesalnya bisa berbulan-bulan. Buat apa
buang-buang duit seperti itu? Kecuali kalau itu duit haram (dari gratifikasi,
korupsi, atau narkoba).
Jadi,
kasus RA dan AA adalah hanya puncak gunung es dari penyakit sosial yang
namanya seks haram. Bukan seks bebas karena termasuk pelacuran yang harus
bayar, bukan juga seks di luar nikah karena termasuk juga nikah siri atau
nikah mutmutah yang sepertinya halal, tetapi tetap haram. Dulu, zaman saya masih
sekolah SMA, ada juga seks haram. Sudah jadi rahasia umum di kalangan
teman-teman sekolah saya bahwa Bunga (bukan nama sebenarnya), yang kembang
mawarnya sekolah, banyak pacarnya.
Tiba-tiba
Bunga ini absen dari sekolah, tetapi beberapa bulan kemudian dia tiba-tiba
sekolah lagi. Gosip pun merebak, khususnya bahwa si Bunga hamil, kemudian
disembunyikan ke kampung tempat tinggal pembantunya. Setelah melahirkan,
bayinya dibawa pulang dan diakui sebagai adik barunya (memang kata teman-teman
Bunga yang suka ke rumahnya, di rumah Bunga ada bayi). Tetapi, itu dulu,
zaman belum ada tivi, apalagi HP, apalagi gadget.
Tetapi,
sekarang remaja sampai om-om dan tante-tante enak saja bikin foto atau film
adegan porno mereka sendiri dan mengunggah sendiri di media sosial pribadi
mereka sendiri, tetapi langsung beredar di media sosial umum. Beberapa malah
sempat muncul di media massa.
Bahkan,
belum lama ini seorang mahasiswa saya menunjukkan foto di HP-nya (ia pun
mendapat kiriman dari temannya lagi), yang menunjukkan adegan dua anak
laki-laki dan perempuan berumur sekitar 7 atau 8 tahun, dari kelas sosial
bawah, sedang melakukan adegan blow j ** (sensor).
Tentu
saja polisi tidak akan menjangkau sejauh itu. Ini tugas orang tua, pendidik,
tokoh agama, para pembuat kebijakan publik, dan lainnya. Tetapi, apa yang mau
mereka lakukan kalau mereka lebih tertarik untuk mengetahui siapa nama artis
di balik inisial-inisial itu ketimbang mencermati gejala penyakit sosial yang
sudah menggunung es itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar