Rabu, 20 Mei 2015

Partai Golkar di Persimpangan Jalan!

Partai Golkar di Persimpangan Jalan!

Gun Gun Heryanto  ;  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen komunikasi politik UIN Jakarta
MEDIA INDONESIA, 20 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PARTAI Golkar menghadapi ujian terberat dalam sejarah eksistensi politiknya. Konflik internal antarakubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono membuat Golkar berada di persimpangan jalan. Momentum politik menuntut Golkar segera menyelesaikan konflik, jika tak mau ditinggal agenda nasional pilkada serentak pada 9 Desember 2015. Putusan PTUN pada 18 Mei yang membatalkan SK Menkum dan HAM tentang kepengurusan Partai Golkar kubu Agung Laksono belum menjadi akhir pertarungan politik. Jalan panjang penuh ketidakpastian masih mewarnai perebutan kuasa siapa yang sah dan memiliki kekuatan hukum mengatasnamakan kepengurusan Golkar.

Dampak politis

Setiap keputusan hukum harusnya memberi aspek kepastian, tetapi dalam kasus Golkar ini justru memiliki dampak politis yang diprediksi akan berkepanjangan. Sebagaimana kita ketahui, dalam pokok sengketa pengadilan PTUN mengabulkan gugatan kubu Munas Bali untuk sebagian dan menyatakan batal SK Menkum dan HAM Nomor M.HH-01.AH.11.01. Tahun 2015 tentang pengesahan AD/ART serta komposisi DPP Partai Golkar versi kubu Agung Laksono.

Ada beberapa dampak politis yang muncul seiring dengan putusan PTUN tersebut. Pertama, setiap kubu yang berseteru akan semakin larut dalam klaim-klaim kebenaran pihak masing-masing sehingga semakin menjauh dari peluang politik akomodasi satu kubu terhadap kubu lainnya. Kubu Agung Laksono masih meyakini benar bahwa putusan PTUN ini belum menjadi putusan berkekuatan hukum tetap karena masih memungkinkannya Menkum dan HAM melakukan banding bahkan hingga kasasi. Proses hukum yang masih bergulir itu membuat kubu ARB tetap dipandang tidak bisa mengikuti pilkada serentak. Sementara itu, kubu ARB meyakini bahwa dengan keluarnya putusan PTUN, kepengurusan Golkar yang sah ialah kembali ke hasil Munas Riau 2009 dengan Ketua Umum ARB dan sekretaris jenderalnya Idrus Marham.

Perbedaan cara pandang dan penyikapan atas putusan bisa dimaklumi mengingat putusan PTUN itu belum menjadi proses hukum terakhir. Jadi, tiap pihak masih berasumsi bisa berjibaku memenangkan kepentingan masing-masing. Hal yang sama terjadi di PPP, yakni saat PTUN mengalahkan Menkum dan HAM, itu ternyata juga tidak memiliki daya ikat kuat dalam memastikan kubu siapa di PPP yang sah.

Kedua, putusan itu akan berdampak pada kian gencarnya manuver politik para politikus DPR terutama yang berkeinginan merevisi UU No 8/2015 tentang Pilkada dan UU No 2/2011 tentang Partai Politik. Sekilas tidak ada relevansinya antara putusan PTUN dan niat revisi kedua UU tersebut. Namun, jika kita lebih saksama menyimak opsi yang direkomendasikan Komisi II DPR kepada KPU selaku penyelenggara pemilu saat rapat konsultasi beberapa waktu lalu, tampak jelas ada upaya memberi payung hukum pada opsi putusan peng adilan terakhir bukan semata-mata putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap semata-mata.
Itu artinya, ada upaya politis untuk menghadirkan sandaran hukum di UU Pilkada agar jalan panjang proses hukum bisa `diamankan' dengan cukup merujuk pada putusan pengadilan yang terakhir saja.

Sebenarnya, revisi atas UU yang sudah disahkan boleh-boleh saja dilakukan. Hanya, secara fundamental itu harus mempertimbangkan dua hal, yakni revisi itu untuk siapa dan mengapa harus ada revisi?  Revisi UU bukan semata-mata menjadi entry point permainan politik sekelompok kecil elite parpol sehingga pembahasan bukan karena adanya kepentingan publik, melainkan karena syahwat politik para pemburu kekuasaan yang punya kuasa menghitamputihkan beragam produk UU. Soal waktu juga menjadi bahan kritik banyak pihak.
UU No 8 Tahun 20015 telah menyedot energi para politikus dan publik begitu rupa. Kita tentu ingat bermula dari ulah para politikus DPR juga pada 26 September 2014 ada upaya `pembajakan' demokrasi dengan keluarnya UU No 22 Tahun 2014 tentang Pilkada yang mengubah pemilihan langsung menjadi dipilih DPRD. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lantas mengeluarkan Perppu No 1 Tahun 2014 pada 2 Oktober 2014 yang mengembalikan proses pilkada secara langsung. Pada 20 Januari 2015, DPR menetapkan Perppu Pilkada menjadi UU No 1 Tahun 2015.

Dalam revisi tersebut, pemilihan kepala daerah tidak dilakukan secara paket. Dalam waktu yang tidak lama, terjadi revisi lagi pada 20 Maret 2015 dan DPR menyepakati revisi UU No 1 Tahun 2015 menjadi UU No 8 Tahun 2015 dan memuat tentang Pilkada serentak serta sistem paket dalam pengajuan calon. Jika kembali direvisi, tentu UU Pilkada ini layak masuk Muri (Museum Rekor Dunia Indonesia)! Pembahasan, pengesahan, dan revisi UU harusnya mengacu ke komprehensifnya gagasan, bukan karena kepentingan satu atau dua kelompok kecil para politikus di Senayan.

Dampak lanjutan

Konflik yang terus bergulir di domain politik dan hukum itu harus disikapi secara hati-hati oleh KPU. Rapat Pleno KPU beberapa waktu lalu sudah mengesahkan PKPU (peraturan KPU) tentang pilkada serentak. KPU hanya akan menerima peserta yang didukung kepengurusan yang terdaftar secara sah di Kemenkum dan HAM. Namun, jika terjadi konflik hukum, KPU merujuk kepada putusan pengadilan yang sifatnya berkekuatan hukum tetap. Selain itu, KPU memberi opsi islah. Dalam konteks tarik menarik kekuatan politik yang sangat kuat seperti sekarang ini, KPU harus bersikap independen. KPU tentunya jangan melakukan manuver dengan membuat peraturan yang tidak memiliki payung hukumnya. Peran tidak memihak sangat diperlukan KPU agar kualitas penyelenggaraan pilkada berjalan baik dan dipercaya.

Partai Golkar masih terancam tidak ikut serta dalam penyelenggaraan pilkada. Itu akan menjadi sebuah ironi dan memalukan bagi Golkar sebagai partai berpengalaman dan surplus politikus senior yang merasakan asam garam politik Indonesia. Jikapun Golkar selamat dan bisa melaju dalam tahapan pilkada, polarisasi yang terjadi di tubuh Golkar akan merambat ke daerah.

Dampaknya tim pemenangan di basis struktur partai daerah tidak akan sesolid sebelumnya. Bahkan potensi konflik akibat gesekan-gesekan dua kubu yang bertarung sangat mungkin aktual dan mengancam kemenangan Golkar. 

Membangun kohesi politik itu tidak semudah membalik tangan, butuh waktu, prakondisi memadai, dan kondusifnya organisasi dalam membangun semangat kekitaan di antara kader dan konstituen di bawah. Golkar benar-benar sedang di persimpangan jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar