Membentuk
Negara Bangsa
Daoed Joesoef ; Alumnus Université Pluridisciplinaires
Panthéon-Sorbonne
|
KOMPAS, 20 Mei 2015
Kita
telah menetapkan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Pada tanggal itu,
106 tahun lalu, dibentuk organisasi Boedi Oetomo, di gedung Stovia, satu
lembaga pendidikan kedokteran pribumi (Indisch
arts) di Batavia, dipelopori beberapa pemuda terdidik keilmuan dan
tercerah (enlightened). Kegiatan
terorganisasi para pendiri diarahkan ke satu masa depan yang bermuara pada
pembentukan satu negara-bangsa yang merdeka melalui pendidikan.
Kini
masa depan Indonesia, negara-bangsa kita, kian memburam, semakin jelas
diwarnai gejala-gejala destruktif-entropis. Ada gaya pembangunan yang semakin
liberalistis-ekstraktif. Ada pengabaian amanat pancasilais yang semakin marak
dalam aksi pemerintahan. Ada unsur kontestasi politik dan rivalitas partai
politik yang tidak sehat. Ada ancaman gerakan radikal-teroris Negara Islam di
Irak dan Suriah (NIIS) yang tak terbendung lagi oleh ideologi deradikalisasi
(Kompas, 6/5).
Hari
Kebangkitan Nasional kali ini mengingatkan kita untuk bangkit membenahi
negara-bangsa Indonesia. Ada satu kelalaian fundamental yang kita lakukan
selama ini hingga kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi begitu
memprihatinkan. Penulis bukan mencari-cari suatu faktor tunggal sebagai
penjelas gampang dari kegagalan. Tetapi, hendak menonjolkan satu tugas
fundamental pemerintahan karena ia adalah suatu dasar berpijak dari bangunan
negara-bangsa. Sedangkan kata "berpijak" tak termasuk leksikon dari
negara-bangsa kita yang dilanda kegelisahan terus menerus.
Membangun jiwa
Yang
dilalaikan pemerintahan nasional yang silih berganti adalah bahwa
"membentuk negara-bangsa adalah membangun jiwa". Setelah para
pendiri bangsa berhasil membentuk negara-bangsa merdeka, pemerintah dari
generasi penerus, yaitu kita, lalai membangun jiwanya. Padahal, himne
nasional "Indonesia Raya" sudah mengingatkan bahwa demi
"Indonesia Raya" kita perlu membangun "jiwanya" (lebih
dahulu), baru kemudian "badannya".
Selama
ini kita memusatkan perhatian kepada pembangunan badan negara-bangsa melalui
pembangunan ekonomi seolah-olah kiat politika adalah aksi-aksi ekonomi
melulu. Sudah keliru melenceng pula dari diktum UUD 45 asli, khususnya Pasal
33. Dua abad yang lalu seorang filosof politik, De Tocqueville, telah
merisaukan kesibukan bangsa yang baru merdeka (Amerika) melulu di dunia fisik
dan bidang ekonomi karena berarti reckless neglect terhadap dunia terpenting
daripada semua revolusi, yaitu revolusi jiwa, sikap, dan opini moral.
Sejak
masyarakat memercayai kepada parpol, lembaga kerohanian, ormas keagamaan, dan
teolog menjadi pembina kebajikan, tata politik paling banter menjadi
ambivalen mengenai kebutuhan akan penanganan urusan moralitas dan kebatinan
rakyat. Bahkan ada intelektual dan pseudo-intelektual (mahasiswa) serta
akademisi yang berujar bahwa kejiwaan, sikap, opini, dan moralitas bukan
merupakan urusan pemerintah karena sangat rentan penyalahgunaan. Tuduhan
seperti ini pernah dialami rezim Orde Baru ketika berusaha memasyarakatkan
Pancasila dengan bimbingan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P-4).
Mereka
kiranya lupa sejarah kekuasaan Nazi-Hitler yang mencekam Jerman sejak
1930-an. Justru karena kaum intelektual bersikap tak acuh dan pemerintah
(negara) diminta diam saja, Hitler bebas menanam doktrin "Ein Volk, ein Reich, ein Führer (Hitler), ein Ja" di
kalbu rakyat Jerman. Ketika indoktrinasi kediktatoran ini disadari kaum
intelektual cum akademisi, keadaan sudah terlambat. Begitu Hitler berkuasa
justru merekalah yang lebih dahulu digiring ke kamp konsentrasi rezim Nazi.
Tata
politik modern yang cenderung hiperaktif pasti berdampak signifikan atas
karakter warga negara. Maka, sungguh tak pantas mendengar pemerintah membantah
tindakan yang tidak mungkin ia elakkan, yaitu melegislasi moralitas.
Semua
pendidikan-formal, nonformal dan informal-diakui sebagai pendidikan moral
karena kondisi pembelajarannya membimbing. Bila demikian kebanyakan legislasi
adalah moral, berhubung ia mengondisikan perbuatan dan pikiran bangsa kepada
aneka bidang kehidupan yang penting dan luas.
Dengan
legislasi moral dimaksudkan penegakan hukum dan penerapan kebijakan yang
menetapkan, menindak, mengatur atau menganjurkan perilaku warga yang, dalam
perjalanan waktu, bakal punya predictable effects dalam menumbuhkan,
mengukuhkan atau mengubah kebiasaan, disposisi, dan nilai-nilai secara
mendalam dan meluas. Jadi, semua pemerintah yang bertanggung jawab sebenarnya
telah melakukan hal itu. Ia terpanggil untuk sering kali melakukannya.
Pemerintah
akan melakukan sesuatu jauh lebih baik bila ia tidak ragu-ragu, mengakui saja
apa yang ia lakukan. Tujuan pemerintah adalah mewujudkan apa-apa yang
diamanatkan UUD 1945, termasuk Pancasila, menjaga kelangsungan hidup
negara-bangsa dan membahagiakan rakyat. Pelaksanaan semua dan misi suci ini
pasti akan lebih lancar bila pemerintah menyadari bahwa kecakapan membentuk
negara adalah tak lain daripada kepiawaian membangun jiwa. Maka, adalah aneh,
walaupun terjelaskan, kalau kaum intelektual dan akademisi menyatakan bahwa
pemerintah tidak dapat atau tidak seharusnya berbuat sesuatu yang, in fact,
sering ia lakukan dengan berbagai cara dan berupa berbagai bentuk.
Kini
kita sudah kecolongan. Penggunaan narkoba sudah nyaris melumpuhkan generasi
muda yang merupakan masa depan negara-bangsa. Dan, yang jauh lebih mengancam
eksistensi Indonesia kini adalah paham NIIS yang juga sudah merasuk jiwa
pemuda dan pemudi. Kalau paham NIIS "mendidik" seorang pemuda, ia menguasai
satu orang. Namun, kalau ia berhasil "mendidik" seorang gadis, ia
berpotensi menguasai satu keluarga, karena sang gadis akan menjadi seorang
ibu. Jangan anggap remeh ancaman gerakan NIIS berhubung sejak awal
kemerdekaan ajaran Islam terus dipakai untuk merongrong eksistensi NKRI dan
Pancasila.
Membenahi anomali
Maka,
pada Hari Kebangkitan Nasional sekarang kita perlu segera menggeliat bangkit
bebenah sebelum anomali menjadi tak terkendali. Pemerintah dituntut
memelopori gerakan antiteror melalui legislasi moral, meniscayakan hukum
selaku pengesah (ratifier) dan
pengutuk (stigmatizer, yang berarti
hukum berperan selaku tutor atas nama pemerintah, menambah tugas lain yang
sudah melekat pada pemerintahan yang demokratis, yaitu pelayan (servant) rakyat.
Negara-bangsa
Indonesia, begitu merdeka dan berdaulat, bukan lagi sekadar suatu wilayah di
muka bumi, suatu lokalitas fisik. Maka, yang ia perlukan, demi eksistensinya,
bukan lagi "penduduk", tetapi "warga negara" (citizens).
Dengan
kata lain, Indonesia, selaku negara-bangsa yang merdeka, berdaulat, dan
demokratis, terpanggil menjadi tutor dan pelayan bagi warganya karena
kewarganegaraan (citizenship)
adalah satu mindset. Ia harus menjaga agar mindset ini tidak dibina moralitas
negara, bangsa, lembaga atau idealisme yang berlawanan dengan Pancasila dan
nilai-nilai keindonesiaan lain yang tersurat dan tersirat dalam UUD 1945,
serta bawaan peristiwa-peristiwa yang diakui sebagai tonggak-tonggak serah
perjuangan kemerdekaan kita.
Transmisi nasionalisme
Karena
menyangkut pembinaan moralitas, pembenahan perlu pemahaman intelektual. Para
intelektual pasca kemerdekaan, terutama yang berposisi di komunitas ilmiah,
percaya bahwa panggilan nuraninya (vocation)
adalah "kritis", tidak jarang dalam artian sempit. Mereka apriori
siap menentang segala sesuatu yang ditawarkan karena hal-hal yang ditawarkan
bukan produk murni dari kemauan dan karena itu membatasi sphere kebebasan. Maka, tidak sedikit kaum intelektual diarahkan
ke pengabaian intelektual ketimbang konservasi.
Tugas
human terpenting-yang paling banyak menyerap energi sebagian besar orang dan
lembaga-adalah mentransmisi. Namun, berhubung para intelektual berilmu
menjadi "a self-conscious class
with a sense of vocation", masyarakat kita menjadi "intellectually negligent".
Mereka tidak lagi menganggap serius ide dan filosofi para intelektual-pejuang
kemerdekaan dan karena itu tidak lagi sungguh mentransmisi nasionalisme.
Bukankah
pernah ada menteri yang sesumbar bahwa pembangunan tidak butuh nasionalisme.
Dengan demikian, kita tidak punya lagi pegangan layak (vantage point) untuk menghakimi pikiran dan praktik yang dominan.
Dengan kepuasan intelektual seperti ini masyarakat kita telah menguburkan
cita-rasa kemungkinan-kemungkinan politiknya.
Pembenahan
meniscayakan kita membenahi persepsi tentang "polity". Istilah ini,
menurut F Will, menarasikan jauh lebih banyak daripada lembaga-lembaga
pemerintahan. Ia mencakup semua lembaga, disposisi, kebiasaan, etika, ide,
dan norma. Pada semua hal itu tergantung pemerintahan dan, karena itu pula,
pemerintah perlu berusaha memengaruhinya.
Dahulu
dianggap cukup bila seorang warga negara "tergolong" polity dengan ikut mendapatkan
perlindungan dan kemakmurannya. Dewasa ini ide "ketergolongan"
meliputi tambahan dimensi berupa partisipasi dalam pemerintahan. Polity dan
orang-orang yang terlibat di dalamnya terwujud dan terbentuk secara simultan.
Dengan mengerdilkan kehidupan intelektualnya masyarakat kita telah melemahkan
kemampuan negara-bangsa memformulasikan tujuan-tujuan yang memungkinkan
warganya menjalani kehidupan ideal pilihannya secara harmonis.
Sambil
tergantung pada semua substansi yang dicakup polity, pemerintah terpanggil
pula untuk memengaruhinya. Maka, itu ide "tutelary government"
menjadi krusial berhubung hukum yang efektif bukan yang memerintah rakyat,
tetapi membantunya mengukuhkan jalinan asumsi dan disiplin dengan mana rakyat
memerintah dirinya sendiri. Berarti hukum perlu memperhatikan ketentuan
nilai-nilai (budaya) yang diadatkan.
Jadi,
tantangan pembenahan meliputi pula perluasan memori kebudayaan masyarakat
dengan jalan memperpanjang jangkauan nilai-nilai tradisional. Namun,
perhatian kepada tradisi (masa lalu) bukan secara nostalgis, tetapi intelektual.
Sudah waktunya kita menapak tilas langkah-langkah kultural kita dan memikir
ulang yang kita pikirkan, dengan tujuan mendewasakan cita-rasa kesinambungan
dengan filosofi politik yang kaya, seperti Pancasila. Dalam pemikiran
pancasilais, misalnya, yang penting bukan hanya "apa" yang
ditransmisikan, tetapi juga "cara" mentransmisikannya.
Politika
sejatinya adalah jauh lebih sulit daripada yang dipikirkan para politikus
binaan parpol. Dalam menapak tilas tadi mungkin sekali kita akan tiba di
tempat pendahulu kita mulai mengayun langkah. Dalam politika murni
"tempat" tersebut adalah suatu habitat mental, suatu lanskap
intelektual dan moral. Tradisi politik para pendiri negara-bangsa kita
ternyata tidak bermula di Athena atau Leiden yang kemudian diperkaya oleh
buku-buku teks politik dan ketatanegaraan Barat. Ia bermula dari himne
nasional "Indonesia Raya" yang dikumandangkan untuk pertama kalinya
sewaktu "Soempah Pemoeda" 28 Oktober 1928.
"A soul is but the last bubble of a long
fermentation in the world," tutur filosof Santayana.
Kesadaran ini seharusnya menjadi motor penggerak ide "pembentukan negara-bangsa adalah pembina jiwa".
Politika adalah terlalu penting dan berbahaya untuk dipercayakan semata-mata
kepada parpol dan politikusnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar