Eksekusi
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO, 04 Mei 2015
Seorang ayah ingin menyaksikan hukuman mati
itu dijalankan. Ia ingin melihat seorang pembunuh yang buas dihabisi: di
Algiers, menjelang 1914, satu keluarga petani, termasuk anak-anaknya,
dibantai seorang buruh ladang yang juga merampok harta si korban.
Ayah itu pun bangun pagi-pagi dan berangkat
menuju tempat eksekusi yang terletak di ujung kota. Kerumunan besar sudah
menunggu di sana: orang-orang yang ingin menonton bagaimana guillotine
memotong kepala sang penjahat. Tapi ketika ayah itu kemudian kembali ke
rumah, tak seorang pun tahu apa yang dirasakannya.
Anaknya kemudian menulis: "Apa yang
disaksikannya pagi itu tak pernah dikatakannya kepada siapapun. Ibu hanya
bercerita, ayah pulang cepat-cepat, wajahnya mengeriput, tak mau bicara,
berbaring sejenak di ambin, dan tiba-tiba muntah-muntah".
Anak itu, Albert Camus, kemudian jadi
penganjur yang meyakinkan agar hukuman mati dihapuskan. Kenangannya tentang
kejadian itu, yang terjadi sebelum ia lahir, ditulisnya dalam Réflexions sur la guillotine, satu
esei yang paling banyak dikutip kaum abolisionis. Novelnya yang kemudian
terkenal, l'Étranger,
menggambarkan Meursault yang dihukum mati karena membunuh seorang Arab dengan
tanpa berpikir panjang. Dalam selnya, ia teringat apa yang dikatakan ibunya:
"Emak dulu sering mengatakan kita selalu dapat menjumpai sesuatu yang
bisa membuat kita bahagia. Di penjara, ketika langit jadi merah dan siang
menyelinap ke dalam selku, aku sadar, emak benar."
Hidup begitu berharga di tiap detik, hukuman
mati memotongnya. Tapi adakah Meursault berpikir demikian tentang orang Arab
yang ditembaknya di tengah piknik di pantai itu? Dalam novel ini kita tak
menemukan seorang yang hampir muntah-muntah menyaksikan orang lain dibunuh.
Meursault tampak jauh dari seorang korban yang datang dari asal usul yang
berbeda -- dan dengan kematian yang berbeda.
Di sini, ada sikap yang mendua. Kekejaman
terhadap Meursault seperti tak terkait dengan kekejaman kepada si orang Arab.
Dari segi ini, sikap anti hukuman mati Camus tak tampak memikirkan kematian
yang lain.
Mungkin ia harus berpindah latar, di mana
kematian bukan seperti di Algiers. Di Algiers, di mana Meursault-nya
dibesarkan, tampaknya kematian adalah kesunyian masing-masing. Algiers adalah
salah satu "kota tanpa sejarah" -- dan sejarah bisa berupa eksekusi
dalam skala besar, seperti yang membekas di jalan, taman, dan gedung-gedung
Paris. Di kota itu Camus melihat: Prancis modern membuat sejarah dengan
eksekusi yang bertubi-tubi.
Revolusi Prancis tak hanya ditandai
pemenggalan kepala Raja dan Ratu. Revolusi ini membawa cita-cita yang agung
dan kebencian yang eksplosif. Kemerdekaan, kesama-rataan, dan persaudaraan
antar manusia begitu berharga hingga Gereja, aristokrasi, burjuasi, orang
kaya, harus ditiadakan.
Musim panas 1793, ketika perlawanan terhadap
Revolusi meledak di Vendée, dari Paris Komite Keamanan Publik mengirim
Jean-Baptise Carrier untuk memadamkannya seraya menjaga kota Nantes. Maka ia
perintahkan para hakim agar membersihkan kota dari siapa saja yang dicurigai
-- bangsawan, pastur, saudagar dan pejabat. Mereka ini harus "ditiadakan
dalam waktu dua jam", titahnya.
Penjara-penjara Nantes penuh sesak. Para
tahanan kekurangan makanan. Mereka pun dinaikkan ke perahu dan rakit ke
Sungai Loire. Dalam empat bulan ada 4000 orang disingkirkan. "Kita akan
jadikan Prancis kuburan", kata Carrier, seorang Pol Pot abad ke-18,
"daripada kita tak bisa melahirkannya kembali dengan cara kita."
Awal Desember, kota Lyons dapat giliran. Hari
itu 60 orang dibariskan ke sebuah lapangan di seberang Sungai Rhones,
diposisikan di antara dua parit perlindungan, dan dikuburkan dengan
serangkaian tembakan. Esoknya 209 tahanan dieksekusi. Dan tak berhenti hari
itu. Seorang penulis sejarah mencatat: mayat-mayat terhukum yang membusuk
mulai meracuni udara kota. Di musim panas 1794, ada yang menghitung 40.000
orang ditembak atau dipancung di seluruh Prancis, demi "keamanan
publik" Demi kelahiran masyarakat yang baru. Demi Prancis yang bersih.
Saya kira itu sebabnya Camus menampik Revolusi
dan memilih jadi seorang abolisionis yang menentang hukuman mati.
Tapi baru pada 1981, setelah ia meninggal,
hampir dua abad setelah kebuasan Revolusinya, Prancis menghapuskan hukuman
mati. Begitu lama orang memperbaiki peradaban. Dan belum bisa ditentukan
sudah lahirkah sebuah Prancis baru tanpa kekerasan sejak kaum abolisionis
menang. Tak ada kepastian.
Mendengar hukuman mati dijatuhkan kepadanya,
Meurseault menolak "kepastian yang brutal" yang ditentukan atas
dirinya -- brutal dan absolut, karena tak bisa digugat dan dikoreksi.
Tapi "kepastian yang brutal" juga
tak bisa diberlakukan ketika hukuman mati tak dipergunakan. Pada 2003, di
wilayah Colorado, AS, Edward Montour dipenjarakan karena dianggap membunuh
bayinya yang baru berumur 11 minggu. Di penjara, ia habisi nyawa seorang
penjaga. Ia dikutip Rocky Mountain News 13 Februari 2003: "Pengadilan
tak tahu benar betapa aku tak menghargai jiwa manusia...Jelas aku akan membunuh
lagi jika aku dapat kesempatan...Negara dapat membunuhku, aku tak
peduli."
Apa yang harus dilakukan kepada orang macam
ini?
Memang, pada akhirnya, 2014, satu dasawarsa
kemudian, mahkamah agung negara bagian Colorado memutuskan tak jadi
menghukumnya mati. Ia dipenjarakan seumur hidup. Montour menunjukkan rasa
sesal, dan menghargai bahwa ayah-ibu korbannya memaafkannya. Tapi seorang
hakim tak bisa melupakan bahwa orang ini telah membunuh orang lain dengan
darah dingin -- dan tak ada jaminan tak akan ada lagi pembunuhan...
Saya menentang hukuman mati, dan itu saya
nyatakan dengan mudah. Tapi saya tahu tak mudah memberi jaminan dengan
menetapkan hidup dan mati di jaman seperti ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar