Hak
Asuh atau Pengasuhan
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus
Psikologi Forensik The University of Melbourne; Penulis Buku “Ajari Ayah, ya
Nak”
|
KORAN SINDO, 21 Mei 2015
Penelantaran
lima orang anak di Cibubur menjadi contoh nyata bahwa orang tua biologis
tidak sertamerta mampu menjadi orang tua efektif. Begitu pula, tidak ada
jaminan mutlak bahwa orang tua yang terdidik secara akademis akan lebih
mumpuni mengasuh anak-anak mereka. Ketika anak mengalami situasi luar biasa
semacam itu, termasuk contoh lain adalah pascaperceraian, muncul pertanyaan
tentang siapa yang akan menjalankan peran sebagai pengasuh anak-anak malang
tersebut.
Spesifik
dalam kasus Cibubur, beberapa kalangan dan pejabat lembaga negara
berpandangan bahwa hak asuh anak sepatutnya dialihkan ke pihak lain untuk
sementara waktu. Betapa pun keinginan memindahkan hak asuh tersebut
dilatarbelakangi oleh itikad baik, terasa mengganggu karena terkesan ada
ketidaktepatan penggunaan istilah “hak asuh” yang pada gilirannya nanti
berisiko menimbulkan kerumitan susulan.
Ini
patut menjadi perhatian lembaga-lembaga yang berurusan dengan perlindungan
anak, termasuk institusi peradilan agama dan peradilan umum yang berwenang
dalam perkara penentuan hak asuh anak. Manakala anak berada dalam situasi
normal, hak asuh tidak dipermasalahkan karena ayah dan ibu diasumsikan
samasama melaksanakan tanggung jawab mereka atas diri anak.
Namun,
hak asuh menjadi persoalan serius ketika anak masuk dalam situasi yang tidak
normal. Di situ ada kekhawatiran bahwa situasi luar biasa akan berakibat ada
pihak yang berlepas tangan dari tanggung jawabnya atas anak. Hak asuh anak
kerap disinonimkan dengan kuasa asuh, menunjuk pada status hukum tentang
pihak yang bertanggung jawab memenuhi kepentingan terbaik anak.
Hak asuh
sebagai sebuah status hukum diputuskan oleh lembaga peradilan guna memastikan
bahwa dalam situasi tidak normal, proses tumbuh kembang anak tetap diupayakan
dapat terjamin semaksimalmungkin. Sebagai sebuah status hukum, hak asuh
tersebut ditetapkan melalui proses peradilan ke dalam bentuk dokumen formal
yang mengikat pihak-pihak terkait.
Terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum, spesifik dalam kasus Cibubur, reintegrasi
sepatutnya menjadi filosofi tunggal yang dianut selama berjalannya proses
hukum. Filosofi reintegrasi melihat pelaku dan korban sebagai dua pihak
dengan kepentingan yang mendekat bukan menjauh satu sama lain.
Berbasis
pada filosofi tersebut, hilir dari situasi tidak normal adalah bersatunya
kembali anak dengan orang tua kandung mereka, meski kebersatuan itu
membutuhkan bantuan dari pihak ketiga. Tentu, reintegrasi seperti itu
diterapkan setelah ayah-bunda dinilai sudah lebih mampu menjalankan peran
sebagai orang tua atau pengasuh efektif.
Proses
reintegrasi justru akan terkendala apabila pengalihan hak asuh diberlakukan.
Pasalnya, proses agar pengalihan dapat diselenggarakan biasanya memakan waktu
yang tidak sebentar. Di samping menempuh proses peradilan, penentuan tentang
pihak yang akan menerima pemindahan hak asuh juga seharusnya didahului
penaksiran kuasa asuh (custody
evaluation).
Lebih
fatal lagi, langkah pemindahan hak asuh hanya akan semakin memperkuat label
bahwa keluarga dan anak-anak di dalamnya adalah sebuah unit yang patologis
alias berkelainan. Sadar maupun tidak, pencabutan hak asuh dari orang tua
kandung malah menempatkan pelaku (orang tua) dan korban (anak) dengan
kepentingan yang saling menjauh. Itu, jelas, merupakan tentangan sangat mendasar
dalam relasi darah daging anak dan orang tua.
Padahal,
agar upaya reintegrasi dapat direalisasikan, secara bertahap konsep diri
positif seluruh pihak harus terbangun. Jadi, alih-alih berfokus pada segala
keburukan ayah-bunda yang menjadi alasan dialihkannya hak asuh ke pihak lain,
jauh lebih tepat jika penanganan kasus ditujukan pada mencari riwayat maupun
potensi positif di mana ayah-bunda pernah menjalankan peran pengasuhan secara
baik.
Ayah-bunda
perlu didukung agar rasa percaya diri mereka, berikut keterampilan-
keterampilan pengasuhan yang dibutuhkan, bisa pulih. Demikian pula dengan
anak, mereka perlu diyakinkan bahwa langkahlangkah perlindungan terhadap
mereka tidak akan secara ironis justru membuat mereka terpisah dari
ayah-bunda.
Terlebih
ketika yang dipindahkan adalah hak asuh legal (legal custody), akan sangat pelik untuk ditentukan seberapa jauh
sesungguhnya dimensi hukum yang akan dialihkan tersebut. Apakah khusus pada
aspek kepidanaan yakni pertanggungjawaban ketika anak melakukan pelanggaran
hukum maupun “kejahatan”?
Atau
mencakup aspek keperdataan seperti hak waris, wali nikah, dan lainnya? Ihwal
seperti ini lebih problematis lagi, utamanya bagi keluarga muslim. Islam
memuat berbagai ketentuan yang bisa dikatakan ketat tentang urusan-urusan
tersebut. Memang bisa saja bahwa kelak pengalihan dilakukan sebatas pada hak
asuh anak secara fisik (physical
custody), sementara hak asuh anak secara legal (legal custody) tetap berada di kedua orang tua kandungnya.
Namun,
sekali lagi, karena penetapan hak asuh secara fisik pun tetap harus melalui
proses formal dan dituangkan ke dalam dokumen hukum, pelipatgandaan efek
stigma masih akan menjadi ancaman bagi proses reintegrasi anak dan orang tua.
Atas
dasar itulah, ketimbang mempermasalahkan hak asuh anak dan mengalihkannya ke
pihak lain, akan lebih konstruktif apabila pengasuhan (caregiving) atas diri anak saja yang untuk jangka waktu tertentu
diserahkan ke sosok lain yang lebih berkompeten sebagai pengasuh.
Pengasuhan,
berbeda dengan hak asuh, adalah aktivitas pemeliharaan sehari-hari agar
kepentingan terbaik anak dapat terpenuhi. Terkait hak asuh atas anak (custody), utamanya hak asuh secara
hukum (legal custody), hendaknya
tetap dipertahankan seperti sediakala yakni pada ayahbunda.
Juga,
selama anak dan orang tua menjalani rehabilitasi, keduanya tetap
diperkenankan berinteraksi secara terukur. Ini mudah-mudahan akan berpengaruh
positif bagi peredaan kekacauan yang tengah berlangsungsekaligusmenghindari
konflik perebutan hak asuh di kemudian hari. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar