Kamis, 21 Mei 2015

Menguji Prinsip Nonintervensi ASEAN

Menguji Prinsip Nonintervensi ASEAN

Reza Akbar Felayati  ;   Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional,
FISIP, Universitas Airlangga
JAWA POS, 20 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KAWASAN ASEAN kini menjadi sasaran imigran gelap dan pencari suaka politik warga negara Asia Selatan, Barat, bahkan ASEAN sendiri yang di negerinya mengalami krisis ekonomi-politik dan represi berkepanjangan. Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) Senin (18/5) menyatakan, UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) tengah mendata 332 orang asal Myanmar dan 252 imigran asal Bangladesh.

Hasil registrasi UNHCR itu, imigran asal Myanmar –sebagian besar beretnis Rohingya– adalah pencari suaka di negara tujuan mereka, sedangkan imigran asal Bangladesh bukan pencari suaka. Mereka adalah pencari kerja di negara tujuan karena sulit mencari pekerjaan di negara sendiri.

Etnis Rohingya memang stateless –tidak memiliki kewarganegaraan– karena rezim yang berkuasa di Naypyidaw, ibu kota Myanmar, tidak mengakui mereka sebagai warga. Di sana, mereka mendapat perlakuan represif. Karena itu, wajar jika mereka eksodus untuk mencari suaka ke negara lain.

Sebaliknya, eksodusnya pengungsi asal Bangladesh lebih disebabkan push factor. Yakni, negeri kecil di Asia Selatan tetangga Pakistan itu tidak pernah lepas dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Karena itu, banyak warga negara yang nekat menjadi imigran gelap untuk mencari pekerjaan di ASEAN dan Australia.

Menguji Solidaritas ASEAN

Salah satu tonggak yang sampai saat ini menjadi kekuatan ASEAN adalah prinsip netralitas, solidaritas, kerja sama regional, dan keamanan bersama. Prinsip tersebut memang merupakan filosofi kelahiran ASEAN pada 1967. Dengan tonggak itu pula, ASEAN sampai saat ini berdiri kukuh sejajar dengan organisasi-organisasi regional yang lain.

Muara tonggak ASEAN tersebut kini dikenal dengan prinsip nonintervensi. Saling menghormati kedaulatan sesama negara anggota ASEAN, namun tetap menjaga kebersamaan dan saling pengertian.

Persoalannya, bagaimana prinsip nonintervensi ASEAN itu harus merespons persoalan-persoalan aktual seperti makin banyaknya manusia perahu dari Asia Tengah, Barat, dan Selatan? Sekjen PBB Ban Ki-moon, Minggu (17/5), mendesak pemimpin Indonesia, Malaysia, dan Thailand untuk menegakkan kewajiban penyelamatan di laut ketika para pengungsi dari Bangladesh, Afghanistan, serta etnis Rohingya terombang-ambing diancam ombak tinggi samudra luas dalam perahu atau kapal yang tidak layak jalan.

Terombang-ambingnya pencari kerja asal Bangladesh yang hendak ke Malaysia atau orang-orang Rohingya yang kapalnya tenggelam di pantai Aceh pada Senin (18/5) menjadi ujian bagi solidaritas negara-negara ASEAN. Sampai saat ini, beberapa anggota ASEAN menolak kedatangan kapal-kapal yang membawa imigran gelap tersebut. Angkatan Laut Malaysia dan Thailand ramai-ramai mencegat dan memaksa kapal atau perahu-perahu imigran dari Bangladesh dan warga Rohingya kembali ke laut lepas.

Di sisi lain, ASEAN merupakan wadah kerja sama dan penegak stabilitas regional yang menjadi contoh kawasan lain Asia yang kondisi politik domestiknya terus bergejolak. Karena itu, harus ada terobosan dari negara-negara ASEAN untuk tetap berpegang pada prinsip nonintervensi dan bisa menunjukkan solidaritas. Khususnya memberikan perlakuan manusiawi terhadap warga negara lain yang terusir karena penderitaan panjang di negara asalnya.

Sebagai anggota ASEAN, Indonesia, Malaysia, dan Thailand memang belum menandatangani Konvensi PBB 1951 tentang pengungsi. Karena itu, tidak ada kewajiban bagi Indonesia, Malaysia, dan Thailand untuk, misalnya, memberikan suaka seperti yang dilakukan Australia, Amerika, serta beberapa negara Eropa.

Meski demikian, demi solidaritas terhadap bangsa-bangsa ASEAN dan bangsa-bangsa Asia Selatan, patutlah ASEAN segera menemukan solusi atau terobosan untuk memberikan empati dan simpati atas penderitaan yang menimpa banyak warga Asia.

Sampai Minggu lalu, Indonesia telah menampung 1.364 imigran asal Myanmar dan Bangladesh serta 11.941 pencari suaka. Sebagai negara yang belum menandatangani Konvensi PBB, respons Indonesia sudah relatif cukup. Sebagaimana diketahui, Indonesia selalu menjadi batu loncatan dalam perjalanan para pencari suaka sebelum meneruskan ke negara tujuan mereka.

ASEAN memang lama dikritik ibarat macan ompong karena tidak mampu menangani isu-isu kemanusiaan terkait dengan derasnya arus pengungsi dan imigran. Prinsip dasar nonintervensi itu seolah membiarkan penderitaan warga negara sesama ASEAN.

Atas nama kedaulatan pula, ASEAN seakan ogah turut menyelesaikan masalah domestik kemanusiaan di masing-masing negara anggota, meski masalah itu jelas-jelas memilukan dan menggugah perasaan keadilan. Prinsip konsensus mengartikan, jika ada satu negara yang tidak setuju terhadap satu resolusi, resolusi tersebut gagal.

Hal itu membuat negara ASEAN yang bermasalah bisa menghindari pembahasan isu-isu yang merugikan mereka. Akibatnya, isu-isu vital di ASEAN terbengkalai dan lantas memunculkan pernyataan terkenal sweeping controversial issues under the carpet (menyapu isu-isu kontroversial di balik karpet).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar