Menguji
Prinsip Nonintervensi ASEAN
Reza Akbar Felayati ; Mahasiswa
Jurusan Hubungan Internasional,
FISIP, Universitas Airlangga
|
JAWA POS, 20 Mei 2015
KAWASAN
ASEAN kini menjadi sasaran imigran gelap dan pencari suaka politik warga
negara Asia Selatan, Barat, bahkan ASEAN sendiri yang di negerinya mengalami
krisis ekonomi-politik dan represi berkepanjangan. Komisi Tinggi PBB untuk
Urusan Pengungsi (UNHCR) Senin (18/5) menyatakan, UNHCR dan Organisasi
Internasional untuk Migrasi (IOM) tengah mendata 332 orang asal Myanmar dan
252 imigran asal Bangladesh.
Hasil
registrasi UNHCR itu, imigran asal Myanmar –sebagian besar beretnis Rohingya–
adalah pencari suaka di negara tujuan mereka, sedangkan imigran asal
Bangladesh bukan pencari suaka. Mereka adalah pencari kerja di negara tujuan
karena sulit mencari pekerjaan di negara sendiri.
Etnis
Rohingya memang stateless –tidak memiliki kewarganegaraan– karena rezim yang
berkuasa di Naypyidaw, ibu kota Myanmar, tidak mengakui mereka sebagai warga.
Di sana, mereka mendapat perlakuan represif. Karena itu, wajar jika mereka
eksodus untuk mencari suaka ke negara lain.
Sebaliknya,
eksodusnya pengungsi asal Bangladesh lebih disebabkan push factor. Yakni, negeri kecil di Asia Selatan tetangga
Pakistan itu tidak pernah lepas dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Karena itu, banyak warga negara yang nekat menjadi imigran gelap untuk
mencari pekerjaan di ASEAN dan Australia.
Menguji Solidaritas ASEAN
Salah
satu tonggak yang sampai saat ini menjadi kekuatan ASEAN adalah prinsip
netralitas, solidaritas, kerja sama regional, dan keamanan bersama. Prinsip
tersebut memang merupakan filosofi kelahiran ASEAN pada 1967. Dengan tonggak
itu pula, ASEAN sampai saat ini berdiri kukuh sejajar dengan
organisasi-organisasi regional yang lain.
Muara
tonggak ASEAN tersebut kini dikenal dengan prinsip nonintervensi. Saling
menghormati kedaulatan sesama negara anggota ASEAN, namun tetap menjaga
kebersamaan dan saling pengertian.
Persoalannya,
bagaimana prinsip nonintervensi ASEAN itu harus merespons persoalan-persoalan
aktual seperti makin banyaknya manusia perahu dari Asia Tengah, Barat, dan
Selatan? Sekjen PBB Ban Ki-moon, Minggu (17/5), mendesak pemimpin Indonesia,
Malaysia, dan Thailand untuk menegakkan kewajiban penyelamatan di laut ketika
para pengungsi dari Bangladesh, Afghanistan, serta etnis Rohingya
terombang-ambing diancam ombak tinggi samudra luas dalam perahu atau kapal
yang tidak layak jalan.
Terombang-ambingnya
pencari kerja asal Bangladesh yang hendak ke Malaysia atau orang-orang
Rohingya yang kapalnya tenggelam di pantai Aceh pada Senin (18/5) menjadi
ujian bagi solidaritas negara-negara ASEAN. Sampai saat ini, beberapa anggota
ASEAN menolak kedatangan kapal-kapal yang membawa imigran gelap tersebut.
Angkatan Laut Malaysia dan Thailand ramai-ramai mencegat dan memaksa kapal
atau perahu-perahu imigran dari Bangladesh dan warga Rohingya kembali ke laut
lepas.
Di sisi
lain, ASEAN merupakan wadah kerja sama dan penegak stabilitas regional yang
menjadi contoh kawasan lain Asia yang kondisi politik domestiknya terus
bergejolak. Karena itu, harus ada terobosan dari negara-negara ASEAN untuk
tetap berpegang pada prinsip nonintervensi dan bisa menunjukkan solidaritas.
Khususnya memberikan perlakuan manusiawi terhadap warga negara lain yang
terusir karena penderitaan panjang di negara asalnya.
Sebagai
anggota ASEAN, Indonesia, Malaysia, dan Thailand memang belum menandatangani
Konvensi PBB 1951 tentang pengungsi. Karena itu, tidak ada kewajiban bagi
Indonesia, Malaysia, dan Thailand untuk, misalnya, memberikan suaka seperti
yang dilakukan Australia, Amerika, serta beberapa negara Eropa.
Meski
demikian, demi solidaritas terhadap bangsa-bangsa ASEAN dan bangsa-bangsa
Asia Selatan, patutlah ASEAN segera menemukan solusi atau terobosan untuk
memberikan empati dan simpati atas penderitaan yang menimpa banyak warga
Asia.
Sampai
Minggu lalu, Indonesia telah menampung 1.364 imigran asal Myanmar dan
Bangladesh serta 11.941 pencari suaka. Sebagai negara yang belum
menandatangani Konvensi PBB, respons Indonesia sudah relatif cukup.
Sebagaimana diketahui, Indonesia selalu menjadi batu loncatan dalam
perjalanan para pencari suaka sebelum meneruskan ke negara tujuan mereka.
ASEAN
memang lama dikritik ibarat macan ompong karena tidak mampu menangani isu-isu
kemanusiaan terkait dengan derasnya arus pengungsi dan imigran. Prinsip dasar
nonintervensi itu seolah membiarkan penderitaan warga negara sesama ASEAN.
Atas
nama kedaulatan pula, ASEAN seakan ogah turut menyelesaikan masalah domestik
kemanusiaan di masing-masing negara anggota, meski masalah itu jelas-jelas
memilukan dan menggugah perasaan keadilan. Prinsip konsensus mengartikan,
jika ada satu negara yang tidak setuju terhadap satu resolusi, resolusi
tersebut gagal.
Hal itu
membuat negara ASEAN yang bermasalah bisa menghindari pembahasan isu-isu yang
merugikan mereka. Akibatnya, isu-isu vital di ASEAN terbengkalai dan lantas
memunculkan pernyataan terkenal sweeping
controversial issues under the carpet (menyapu isu-isu kontroversial di
balik karpet). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar