Kamis, 21 Mei 2015

Kebangkitan Wathaniyah

Kebangkitan Wathaniyah

Ka’bil Mubarok  ;   Ketua DKW Garda Bangsa;
Wakil Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur
JAWA POS, 20 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MENJELANG Indonesia merdeka, perdebatan tentang bentuk negara menjadi sensitif. Kubu nasionalis Islam berhadapan dengan kubu nasionalis sekuler. Adalah almarhum Kiai Masykur yang teguh memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Perdebatan sengit itu pun akhirnya diakhiri dengan kompromi Piagam Jakarta, UUD 1945, dan Pancasila sebagai titik final kebangsaan Indonesia. Kiai Wahid Hasyim merupakan tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) yang mampu mencegah kronisasi benturan Islamisme dan nasionalisme itu terjadi.

Mengapa para ulama menyetujui Pancasila dan bukan Alquran secara normatif sebagai dasar negara? Jelas, NU sendiri memiliki satu garis perjuangan yang dinamis yang tidak melulu melihat Islam sebagai sesuatu yang beku. Islam dalam pola pikir para ulama Aswaja adalah Islam yang mampu mempersatukan segenap komponen anak bangsa. Islam yang mampu menjadi roh kebangkitan nasional dan bukan sekadar norma yang tak terasa kedalamannya dalam jiwa anak bangsa.

Kebangkitan nasional harus memiliki etika ini, etika wathaniyah. Etika kebangsaan yang tak monologis, tapi dialogis. Sebelum Indonesia merdeka, para ulama NU sudah mendidik para santri untuk memahami bahwa di luar sana bukan cuma ada kaum Aswaja, tapi juga kaum Islam modernis dan nasionalis. Maka, permusuhan bertahun-tahun antara kaum modernis Islam dan NU menjadi pupus dalam tajalli wathaniyah (manifestasi kebangsaan) yang utuh, tanpa harus terserak.

Dikotomi itu luruh ketika NU bergabung dengan Masyumi bersama ormas Islam modernis. Sebelumnya, pada 1916, Kiai Wahab Hasbullah bersama Kiai Mas Mansyur mendirikan Nahdlatul Wathan. Di situ berkumpul tokoh-tokoh Islam beragam aliran. Pertentangan para kiai NU dengan Soekarno seperti diulas dalam Berita Nahdlatoel Oelama pun meluntur menjelang Indonesia merdeka. Dikotomi Islam-nasionalis melunak ketika NU bersama kelompok nasionalis mengambil peran dalam GAPI. Bagi NU, ukhuwah itu tak cukup hanya ukhuwah islamiyah. Harus ada pula ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Tanpa ukhuwah wathaniyah, NU mungkin hanya akan akur dengan Muhammadiyah dan tak akur dengan kaum nasionalis atau Soekarnois.

Kebangkitan nasional dalam kerangka para ulama Aswaja selalu berada dalam koridor musawiqah (kontekstual) yang bermuatan tathawuriyah (dinamisme). Dalam tradisi Aswaja, titik koridor ini dipertegas dalam kredo al muhafadzah alal qadimis shalil wal Akhdzu Bil Jadidil Aslah. Para kiai NU yang bersikukuh berupaya menjadikan Islam sebagai dasar negara adalah mereka yang sebenarnya berpikir dengan pola muhafadzah. Sedangkan para ulama NU seperti Wahid Hasyim yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara adalah mereka yang berpikir dalam kerangka akhdzu. Dalam alam pikir NU, hal itu bukanlah benturan, melainkan dinamisme yang inklusif.

Mendamaikan Islam dengan nasionalisme dalam kebangsaan kita adalah hasil utama perjuangan NU. Bagi ulama NU, kebangkitan itu tak harus berarti sebuah momentum di mana gerakan Islam menjadi fa’il utama. Budi Utomo bukanlah gerakan Islam yang menasional, berbeda dengan Syarikat Islam yang telah lebih dulu berdiri dan berskala nasional. Tapi, diadopsinya Budi Utomo sebagai pilar kebangkitan nasional adalah strategi kebangsaan jitu untuk mengakurkan Islam dan nasionalisme. Dokter Soetomo boleh jadi bukan seorang Islamis tulen, tapi dia adalah anak bangsa yang ramah terhadap pesantren. Jawaisme Budi Utomo adalah spirit di mana kebangsaan itu harus dibangun dalam kerangka domestikasi dan bukan semata-mata karena terinspirasi Jepang yang mampu melumpuhkan Rusia tiga tahun sebelumnya.

Dalam pidatonya pada Kongres Pendidikan Nasional 1935, Soetomo mengkritik keras pendidikan negeri ala Belanda yang hanya bertujuan menciptakan ambtenaar dan bukan kader bangsa yang mampu mengubah kondisi keterjajahan. Pada saat yang sama Soetomo memuji pesantren dan kiai-kiai desa yang unggul dalam pengaderan kemerdekaan. Budi Utomo adalah simbol kebangkitan yang membumi. Nasionalisme Budi Utomo bukanlah nasionalisme Darmo Gandul yang ditafsirkan serampangan sebagai musuh Islam. Nasionalisme Budi Utomo adalah nasionalisme ala Serat Centhini yang mengakrabi tanah di mana sebuah subjek berdiri sekaligus inspirasi Islam yang pribumiistis.

Kini jiwa keakraban dalam kebangsaan tersebut terasa sekali manfaatnya. Hari ini kelompok Islam dan nasionalis begitu akur. Tak ada tudingan bahwa kaum nasionalis itu kafir. Seorang muslim bisa masuk dalam PDIP dan partai nasionalis lain tanpa harus menanggung beban ideologis. Beda jauh dengan di beberapa negara Islam, misalnya Pakistan, Mesir, Iraq, dan Syria. Di negara-negara itu konsolidasi kebangsaan belum selesai dilakukan.

Di Pakistan, gerakan-gerakan Islam seperti Jamiat Ulama-e Islam atau Jamiat Islami masih sulit berkonsolidasi dengan elemen PPP (Pakistan People Party) yang nasionalis. Di Syria dan Iraq, kelompok Islamis Sunni dan Syiah dipereteli kebangsaannya dengan membenturkannya kepada elemen Partai Bath. Di Mesir, kelompok nasionalis pengikut Gamal Abdul Nasser dibenturkan dengan Ikhwanul Muslimin dan Jamaah Islamiyah.

Di Indonesia, berdamainya Islam dan nasionalisme adalah saham besar kebangkitan nasional. Tiba-tiba saja hari ini kita teringat lagu heroik gubahan Kiai Wahab Hasbullah sekian puluh tahun lalu. ”Ya ahlal wathan, ya ahlal wathan, wahai bangsaku, wahai bangsaku, cinta tanah air adalah bagian dari iman, cintailah tanah air ini wahai bangsaku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar