Kebangkitan
Wathaniyah
Ka’bil Mubarok ; Ketua
DKW Garda Bangsa;
Wakil Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur
|
JAWA POS, 20 Mei 2015
MENJELANG
Indonesia merdeka, perdebatan tentang bentuk negara menjadi sensitif. Kubu
nasionalis Islam berhadapan dengan kubu nasionalis sekuler. Adalah almarhum
Kiai Masykur yang teguh memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia.
Perdebatan sengit itu pun akhirnya diakhiri dengan kompromi Piagam Jakarta,
UUD 1945, dan Pancasila sebagai titik final kebangsaan Indonesia. Kiai Wahid
Hasyim merupakan tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) yang mampu mencegah
kronisasi benturan Islamisme dan nasionalisme itu terjadi.
Mengapa
para ulama menyetujui Pancasila dan bukan Alquran secara normatif sebagai
dasar negara? Jelas, NU sendiri memiliki satu garis perjuangan yang dinamis
yang tidak melulu melihat Islam sebagai sesuatu yang beku. Islam dalam pola
pikir para ulama Aswaja adalah Islam yang mampu mempersatukan segenap
komponen anak bangsa. Islam yang mampu menjadi roh kebangkitan nasional dan
bukan sekadar norma yang tak terasa kedalamannya dalam jiwa anak bangsa.
Kebangkitan
nasional harus memiliki etika ini, etika wathaniyah. Etika kebangsaan yang
tak monologis, tapi dialogis. Sebelum Indonesia merdeka, para ulama NU sudah
mendidik para santri untuk memahami bahwa di luar sana bukan cuma ada kaum
Aswaja, tapi juga kaum Islam modernis dan nasionalis. Maka, permusuhan
bertahun-tahun antara kaum modernis Islam dan NU menjadi pupus dalam tajalli
wathaniyah (manifestasi kebangsaan) yang utuh, tanpa harus terserak.
Dikotomi
itu luruh ketika NU bergabung dengan Masyumi bersama ormas Islam modernis.
Sebelumnya, pada 1916, Kiai Wahab Hasbullah bersama Kiai Mas Mansyur
mendirikan Nahdlatul Wathan. Di situ berkumpul tokoh-tokoh Islam beragam
aliran. Pertentangan para kiai NU dengan Soekarno seperti diulas dalam Berita
Nahdlatoel Oelama pun meluntur menjelang Indonesia merdeka. Dikotomi
Islam-nasionalis melunak ketika NU bersama kelompok nasionalis mengambil
peran dalam GAPI. Bagi NU, ukhuwah itu tak cukup hanya ukhuwah islamiyah. Harus ada pula ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Tanpa ukhuwah wathaniyah, NU mungkin hanya
akan akur dengan Muhammadiyah dan tak akur dengan kaum nasionalis atau
Soekarnois.
Kebangkitan
nasional dalam kerangka para ulama Aswaja selalu berada dalam koridor
musawiqah (kontekstual) yang bermuatan tathawuriyah (dinamisme). Dalam
tradisi Aswaja, titik koridor ini dipertegas dalam kredo al muhafadzah alal qadimis shalil wal Akhdzu Bil Jadidil Aslah.
Para kiai NU yang bersikukuh berupaya menjadikan Islam sebagai dasar negara
adalah mereka yang sebenarnya berpikir dengan pola muhafadzah. Sedangkan para
ulama NU seperti Wahid Hasyim yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara
adalah mereka yang berpikir dalam kerangka akhdzu. Dalam alam pikir NU, hal
itu bukanlah benturan, melainkan dinamisme yang inklusif.
Mendamaikan
Islam dengan nasionalisme dalam kebangsaan kita adalah hasil utama perjuangan
NU. Bagi ulama NU, kebangkitan itu tak harus berarti sebuah momentum di mana
gerakan Islam menjadi fa’il utama. Budi Utomo bukanlah gerakan Islam yang
menasional, berbeda dengan Syarikat Islam yang telah lebih dulu berdiri dan
berskala nasional. Tapi, diadopsinya Budi Utomo sebagai pilar kebangkitan
nasional adalah strategi kebangsaan jitu untuk mengakurkan Islam dan
nasionalisme. Dokter Soetomo boleh jadi bukan seorang Islamis tulen, tapi dia
adalah anak bangsa yang ramah terhadap pesantren. Jawaisme Budi Utomo adalah
spirit di mana kebangsaan itu harus dibangun dalam kerangka domestikasi dan
bukan semata-mata karena terinspirasi Jepang yang mampu melumpuhkan Rusia
tiga tahun sebelumnya.
Dalam
pidatonya pada Kongres Pendidikan Nasional 1935, Soetomo mengkritik keras
pendidikan negeri ala Belanda yang hanya bertujuan menciptakan ambtenaar dan
bukan kader bangsa yang mampu mengubah kondisi keterjajahan. Pada saat yang
sama Soetomo memuji pesantren dan kiai-kiai desa yang unggul dalam pengaderan
kemerdekaan. Budi Utomo adalah simbol kebangkitan yang membumi. Nasionalisme
Budi Utomo bukanlah nasionalisme Darmo Gandul yang ditafsirkan serampangan
sebagai musuh Islam. Nasionalisme Budi Utomo adalah nasionalisme ala Serat
Centhini yang mengakrabi tanah di mana sebuah subjek berdiri sekaligus
inspirasi Islam yang pribumiistis.
Kini
jiwa keakraban dalam kebangsaan tersebut terasa sekali manfaatnya. Hari ini
kelompok Islam dan nasionalis begitu akur. Tak ada tudingan bahwa kaum
nasionalis itu kafir. Seorang muslim bisa masuk dalam PDIP dan partai
nasionalis lain tanpa harus menanggung beban ideologis. Beda jauh dengan di
beberapa negara Islam, misalnya Pakistan, Mesir, Iraq, dan Syria. Di
negara-negara itu konsolidasi kebangsaan belum selesai dilakukan.
Di
Pakistan, gerakan-gerakan Islam seperti Jamiat Ulama-e Islam atau Jamiat Islami
masih sulit berkonsolidasi dengan elemen PPP (Pakistan People Party) yang
nasionalis. Di Syria dan Iraq, kelompok Islamis Sunni dan Syiah dipereteli
kebangsaannya dengan membenturkannya kepada elemen Partai Bath. Di Mesir,
kelompok nasionalis pengikut Gamal Abdul Nasser dibenturkan dengan Ikhwanul
Muslimin dan Jamaah Islamiyah.
Di
Indonesia, berdamainya Islam dan nasionalisme adalah saham besar kebangkitan
nasional. Tiba-tiba saja hari ini kita teringat lagu heroik gubahan Kiai
Wahab Hasbullah sekian puluh tahun lalu. ”Ya
ahlal wathan, ya ahlal wathan, wahai bangsaku, wahai bangsaku, cinta tanah
air adalah bagian dari iman, cintailah tanah air ini wahai bangsaku.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar