Rabu, 20 Mei 2015

Birokrasi dan Pembangunan

Birokrasi dan Pembangunan

Eko Prasojo  ;  Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia
KOMPAS, 20 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Akhir-akhir ini sejumlah kalangan mendengungkan pentingnya Presiden Jokowi melakukan perombakan kabinet. Desakan ini didasarkan pada kinerja pemerintahan yang tidak terlalu memuaskan.

Tulisan ini tidak hendak menyoal mengenai penting atau tidak pentingnya reshuffle, tetapi berusaha menjelaskan berbagai persoalan yang dihadapi oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tujuan pembangunan, khususnya peran birokrasi, yang mungkin luput dari perhatian.

Birokrasi merupakan mesin pembangunan yang memainkan peranan vital, strategik, dan kritikal. Bahkan, sebaik apa pun program pembangunan yang telah ditetapkan pemerintah, tanpa didukung oleh birokrasi yang kapabel, memiliki kultur yang baik dan adaptif terhadap perubahan, akan stagnan. Bagaimana kondisi birokrasi Indonesia untuk mendukung fungsi dan tujuan-tujuan pembangunan?

Birokrasi gemuk

Siapa pun yang menjadi pemerintah di Indonesia akan berhadapan dengan kondisi birokrasi publik yang tidak efisien dan tidak efektif. Berbeda dengan birokrasi swasta yang umumnya memiliki ukuran kinerja jelas, birokrasi publik Indonesia mengalami kesulitan besar untuk menetapkan ukuran kinerja setiap kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah.

Hal itulah yang menjadi salah faktor rendahnya kinerja pemerintahan Jokowi. Selain tidak efisien, birokrasi Indonesia juga tidak efektif.   Menurut The Global Economy, indeks efektivitas Pemerintahan Indonesia tahun 2013 adalah -0,24 dengan menempati urutan ke-103 dari 192 negara. Indeks tertinggi adalah Finlandia dengan 2,17 sementara rata-rata indeks semua negara yang disurvei adalah -0,01.  Posisi ini sangat tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lain, seperti Malaysia (indeks 1,10 di urutan ke-35), Thailand (indeks 0,21 di urutan ke-72), dan Filipina (indeks 0,06 di urutan ke-79).

Ada beberapa faktor penyebab timbulnya berbagai ketidakefektifan birokrasi di Indonesia. Pertama, struktur organisasi di kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah sangat gemuk, tidak mencerminkan tugas pokok dan fungsi yang sesungguhnya, sangat banyak tumpang tindih dan sangat terfragmentasi.

Di pusat saja, selain 34 kementerian terdapat 28 lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), dan 91 lembaga non-struktural (LNS). Struktur yang gemuk ini membutuhkan nutrisi anggaran yang besar untuk program dan kegiatan, selain untuk membayar gaji, tunjangan, fasilitas, perjalanan dinas, honor narasumber, honor kegiatan, honor tim, dan berbagai keperluan personal lainnya.

Hal itu belum termasuk kebocoran yang potensial terjadi, baik karena program dan kegiatan yang sebenarnya tidak diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat maupun karena berbagai tumpang tindih antara program serta kegiatan di dalam kementerian/lembaga dan antarkementerian/lembaga.

Gemuknya organisasi kementerian dan lembaga sebenarnya sudah dikaji secara mendalam baik  oleh lembaga administrasi negara maupun Kementerian PAN dan RB. Dengan metodologi MOG (Machinery of Government), Kedeputian Kelembagaan Kemenpan RB telah mengkaji dan menganalisis 47 urusan yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Kementerian Negara berikut dengan sub-sub urusan kajian tersebut membuktikan bahwa selain gemuk, organisasi K/L saat ini juga tidak efisien dan tidak efektif.

Proses bisnis pemerintahan antar-suburusan dengan suburusan yang lain tidak koheren, tidak sinergis, dan tidak bersambungan satu sama lain. Bahkan, terjadi duplikasi fungsi dan tugas.  Fakta lainnya, struktur organisasi pemerintah pusat masih tidak berubah dan makin gemuk setelah desentralisasi pemerintahan pada 1999, padahal sebagian besar urusan sudah diserahkan ke kabupaten/kota dan provinsi.

Di sektor pertanian saja, misalnya, proses bisnis beberapa komoditas melibatkan kewenangan tidak sinergis dan tidak bersambung di antara kementerian pertanian, perdagangan, dan perindustrian.  Demikian pula urusan kependudukan, fungsinya terfragmentasi antara natalitas dan mortalitas di BKKBN, mobilitas penduduk yang ada di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta fungsi Administrasi Kependudukan yang ada di Kementerian Dalam Negeri.

Pangkas kementerian

Selain mengusulkan pemangkasan jumlah kementerian, tim juga mengusulkan rasionalisasi jumlah dan pengelompokan ulang direktorat jenderal di kementerian dan lembaga. Bahkan, di beberapa kementerian tim kajian mengusulkan untuk menghapus dan menggabungkan 2-4 direktorat jenderal sebagai upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan urusan.

Telaah organisasi telah dilakukan di 16 K/L dan menghasilkan rekomendasi pemangkasan dan penggabungan beberapa direktorat jenderal, antara lain di Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial.

Sumber kedua penyakit ketidakefektifan birokrasi di Indonesia adalah tidak diterapkannya manajemen kinerja oleh birokrasi. Anggaran belanja pemerintahan tidak memiliki kaitan dengan kinerja yang akan dibangun, bahkan proses menjalankan kegiatan menjadi lebih penting daripada hasil yang akan dicapai.

Dalam manajemen kinerja, program/kegiatan yang direncanakan dan dilakukan oleh instansi seharusnya dimaksudkan untuk mencapai kinerja yang telah ditetapkan. Ketidakmampuan menghubungkan antara alat/ cara dengan tujuan telah menyebabkan biaya yang tidak relevan dalam birokrasi. Penerapan manajemen kinerja dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pembangunan di dalam kementerian/lembaga maupun antarkementerian dan lembaga mendesak untuk segera dilakukan.

Bahkan, menurut penulis, banyak unit organisasi di K/L yang tidak dibangun berdasarkan kebutuhan kinerja dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ataupun Rencana Kerja Pemerintah.

Reformasi birokrasi

Untuk memperkuat dan mempercepat pembangunan, tidak bisa tidak birokrasi harus segera direformasi. Dalam melakukan reformasi birokrasi, pemerintah tidak boleh terjebak dengan fenomena gunung es. Apa yang terlihat di permukaan (lautan) birokrasi hanyalah simtom dari berbagai persoalan besar dalam struktur, kultur, dan proses bisnis di dalam (lautan) birokrasi yang telah tertanam dan mengakar sangat lama.

Proses perubahan birokrasi yang mendasar memang tidak terjadi dalam waktu singkat, bahkan kadang kala membutuhkan 3-4 periode kepemimpinan presiden. Namun, hal ini menjadi sebuah keniscayaan. Perombakan (penggabungan atau penghapusan) struktur dan perubahan proses bisnis organisasi di dalam dan antar-kementerian dan lembaga harus segera dimulai dengan strategi perubahan yang baik supaya tidak mengganggu pemerintahan dan pembangunan.

Reformasi birokrasi ibarat memperbaiki mesin pesawat yang sedang terbang. Pesawat tidak boleh jatuh, tetapi kerusakan mesin harus bisa diatasi.

Manajemen kinerja dengan indikator kinerja utama K/L dan setiap individu harus segera dibangun dan ditetapkan. Apabila diperlukan, sebagai akibat restrukturisasi K/L, perlu segera dibuat kebijakan pensiun dini bagi PNS. Jadikan ini sebagai kesempatan karier kedua (second career). Dengan demikian, sistem penggajian pun harus direformasi secara total berbasis kinerja dengan memperkuat sistem karier terbuka dalam promosi jabatan PNS.

Reformasi birokrasi memang bukan merupakan jalan pintas dan bukan pula jalan yang sama sekali baru, sekalipun dia sering berada di jalan yang sunyi. Reformasi birokrasi adalah jalan panjang yang perubahannya harus dilakukan secara berkelanjutan antara satu periode kepemimpinan presiden dan periode kepemimpinan presiden berikutnya. Hanya dengan memperbaiki kualitas birokrasi, pemerintahan akan berjalan secara efektif dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diharapkan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar