Birokrasi
dan Pembangunan
Eko Prasojo ; Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi (FIA)
Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 20 Mei 2015
Akhir-akhir
ini sejumlah kalangan mendengungkan pentingnya Presiden Jokowi melakukan
perombakan kabinet. Desakan ini didasarkan pada kinerja pemerintahan yang
tidak terlalu memuaskan.
Tulisan
ini tidak hendak menyoal mengenai penting atau tidak pentingnya reshuffle,
tetapi berusaha menjelaskan berbagai persoalan yang dihadapi oleh pemerintah
dalam menjalankan fungsi dan tujuan pembangunan, khususnya peran birokrasi,
yang mungkin luput dari perhatian.
Birokrasi
merupakan mesin pembangunan yang memainkan peranan vital, strategik, dan
kritikal. Bahkan, sebaik apa pun program pembangunan yang telah ditetapkan
pemerintah, tanpa didukung oleh birokrasi yang kapabel, memiliki kultur yang
baik dan adaptif terhadap perubahan, akan stagnan. Bagaimana kondisi
birokrasi Indonesia untuk mendukung fungsi dan tujuan-tujuan pembangunan?
Birokrasi gemuk
Siapa
pun yang menjadi pemerintah di Indonesia akan berhadapan dengan kondisi
birokrasi publik yang tidak efisien dan tidak efektif. Berbeda dengan
birokrasi swasta yang umumnya memiliki ukuran kinerja jelas, birokrasi publik
Indonesia mengalami kesulitan besar untuk menetapkan ukuran kinerja setiap
kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah.
Hal
itulah yang menjadi salah faktor rendahnya kinerja pemerintahan Jokowi.
Selain tidak efisien, birokrasi Indonesia juga tidak efektif. Menurut The Global Economy, indeks efektivitas Pemerintahan Indonesia
tahun 2013 adalah -0,24 dengan menempati urutan ke-103 dari 192 negara.
Indeks tertinggi adalah Finlandia dengan 2,17 sementara rata-rata indeks
semua negara yang disurvei adalah -0,01.
Posisi ini sangat tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lain,
seperti Malaysia (indeks 1,10 di urutan ke-35), Thailand (indeks 0,21 di
urutan ke-72), dan Filipina (indeks 0,06 di urutan ke-79).
Ada
beberapa faktor penyebab timbulnya berbagai ketidakefektifan birokrasi di
Indonesia. Pertama, struktur organisasi di kementerian/lembaga dan
pemerintahan daerah sangat gemuk, tidak mencerminkan tugas pokok dan fungsi
yang sesungguhnya, sangat banyak tumpang tindih dan sangat terfragmentasi.
Di pusat
saja, selain 34 kementerian terdapat 28 lembaga pemerintah non-kementerian
(LPNK), dan 91 lembaga non-struktural (LNS). Struktur yang gemuk ini
membutuhkan nutrisi anggaran yang besar untuk program dan kegiatan, selain
untuk membayar gaji, tunjangan, fasilitas, perjalanan dinas, honor
narasumber, honor kegiatan, honor tim, dan berbagai keperluan personal
lainnya.
Hal itu
belum termasuk kebocoran yang potensial terjadi, baik karena program dan
kegiatan yang sebenarnya tidak diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat
maupun karena berbagai tumpang tindih antara program serta kegiatan di dalam
kementerian/lembaga dan antarkementerian/lembaga.
Gemuknya
organisasi kementerian dan lembaga sebenarnya sudah dikaji secara mendalam
baik oleh lembaga administrasi negara
maupun Kementerian PAN dan RB. Dengan metodologi MOG (Machinery of Government), Kedeputian Kelembagaan Kemenpan RB
telah mengkaji dan menganalisis 47 urusan yang dimandatkan oleh Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2007 tentang Kementerian Negara berikut dengan sub-sub urusan
kajian tersebut membuktikan bahwa selain gemuk, organisasi K/L saat ini juga
tidak efisien dan tidak efektif.
Proses
bisnis pemerintahan antar-suburusan dengan suburusan yang lain tidak koheren,
tidak sinergis, dan tidak bersambungan satu sama lain. Bahkan, terjadi
duplikasi fungsi dan tugas. Fakta
lainnya, struktur organisasi pemerintah pusat masih tidak berubah dan makin
gemuk setelah desentralisasi pemerintahan pada 1999, padahal sebagian besar
urusan sudah diserahkan ke kabupaten/kota dan provinsi.
Di
sektor pertanian saja, misalnya, proses bisnis beberapa komoditas melibatkan
kewenangan tidak sinergis dan tidak bersambung di antara kementerian
pertanian, perdagangan, dan perindustrian.
Demikian pula urusan kependudukan, fungsinya terfragmentasi antara
natalitas dan mortalitas di BKKBN, mobilitas penduduk yang ada di Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta fungsi Administrasi Kependudukan yang ada
di Kementerian Dalam Negeri.
Pangkas kementerian
Selain
mengusulkan pemangkasan jumlah kementerian, tim juga mengusulkan
rasionalisasi jumlah dan pengelompokan ulang direktorat jenderal di
kementerian dan lembaga. Bahkan, di beberapa kementerian tim kajian
mengusulkan untuk menghapus dan menggabungkan 2-4 direktorat jenderal sebagai
upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan urusan.
Telaah
organisasi telah dilakukan di 16 K/L dan menghasilkan rekomendasi pemangkasan
dan penggabungan beberapa direktorat jenderal, antara lain di Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pendidikan,
Kementerian Sosial.
Sumber
kedua penyakit ketidakefektifan birokrasi di Indonesia adalah tidak
diterapkannya manajemen kinerja oleh birokrasi. Anggaran belanja pemerintahan
tidak memiliki kaitan dengan kinerja yang akan dibangun, bahkan proses
menjalankan kegiatan menjadi lebih penting daripada hasil yang akan dicapai.
Dalam
manajemen kinerja, program/kegiatan yang direncanakan dan dilakukan oleh
instansi seharusnya dimaksudkan untuk mencapai kinerja yang telah ditetapkan.
Ketidakmampuan menghubungkan antara alat/ cara dengan tujuan telah
menyebabkan biaya yang tidak relevan dalam birokrasi. Penerapan manajemen
kinerja dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pembangunan di dalam kementerian/lembaga
maupun antarkementerian dan lembaga mendesak untuk segera dilakukan.
Bahkan,
menurut penulis, banyak unit organisasi di K/L yang tidak dibangun
berdasarkan kebutuhan kinerja dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
ataupun Rencana Kerja Pemerintah.
Reformasi birokrasi
Untuk
memperkuat dan mempercepat pembangunan, tidak bisa tidak birokrasi harus
segera direformasi. Dalam melakukan reformasi birokrasi, pemerintah tidak
boleh terjebak dengan fenomena gunung es. Apa yang terlihat di permukaan
(lautan) birokrasi hanyalah simtom dari berbagai persoalan besar dalam
struktur, kultur, dan proses bisnis di dalam (lautan) birokrasi yang telah
tertanam dan mengakar sangat lama.
Proses
perubahan birokrasi yang mendasar memang tidak terjadi dalam waktu singkat,
bahkan kadang kala membutuhkan 3-4 periode kepemimpinan presiden. Namun, hal
ini menjadi sebuah keniscayaan. Perombakan (penggabungan atau penghapusan)
struktur dan perubahan proses bisnis organisasi di dalam dan
antar-kementerian dan lembaga harus segera dimulai dengan strategi perubahan
yang baik supaya tidak mengganggu pemerintahan dan pembangunan.
Reformasi
birokrasi ibarat memperbaiki mesin pesawat yang sedang terbang. Pesawat tidak
boleh jatuh, tetapi kerusakan mesin harus bisa diatasi.
Manajemen
kinerja dengan indikator kinerja utama K/L dan setiap individu harus segera
dibangun dan ditetapkan. Apabila diperlukan, sebagai akibat restrukturisasi
K/L, perlu segera dibuat kebijakan pensiun dini bagi PNS. Jadikan ini sebagai
kesempatan karier kedua (second career).
Dengan demikian, sistem penggajian pun harus direformasi secara total
berbasis kinerja dengan memperkuat sistem karier terbuka dalam promosi
jabatan PNS.
Reformasi
birokrasi memang bukan merupakan jalan pintas dan bukan pula jalan yang sama
sekali baru, sekalipun dia sering berada di jalan yang sunyi. Reformasi
birokrasi adalah jalan panjang yang perubahannya harus dilakukan secara
berkelanjutan antara satu periode kepemimpinan presiden dan periode
kepemimpinan presiden berikutnya. Hanya dengan memperbaiki kualitas
birokrasi, pemerintahan akan berjalan secara efektif dan mencapai
tujuan-tujuan pembangunan yang diharapkan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar