Lewat
Tengah Malam
Trias Kuncahyono ; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 03 Mei 2015
“Saya hanyalah ibu
rumah tangga biasa, Mbak," demikian kalimat pembuka surat terbuka Ephie
Craze yang menyatakan dirinya sebagai mantan istri seorang pencandu narkoba.
Surat terbuka yang ditulis di laman Facebook-nya, Senin (27/4), ditujukan
kepada Anggun C Sasmi, penyanyi Indonesia kelahiran Jakarta yang kini menetap
di Perancis. Anggun sebelumnya juga menulis surat terbuka yang ditujukan kepada
Presiden Joko Widodo sebagai ungkapan ketidaksetujuannya terhadap pelaksanaan
hukuman mati karena kasus narkoba, terutama terhadap warga negara Perancis,
Serge Areski Atlaoui.
"Apakah Mbak
tahu, apa saja akibat buruk narkoba? Sy rasa sebagai wanita cerdas yang sudah
melanglang buana pasti mbak tau pasti akan hal itu. Tp apakah mbak tau
akibatnya bagi org2 terdekat yang mencintai org2 yang terlibat dengan
narkoba? Sy rasa mbak tak memahami hal itu. Sy adalah mantan istri dr seorang
pecandu narkoba. Sy seorang ibu dr 2 org anak. Apakah mbak tau rasanya saat
menangis memohon pada suami utk berhenti mengkonsumsi narkoba?"
"Apakah mbak tau
rasanya saat sy dicemooh orang, saat suami yang seorang aparat negara
dijebloskan ke sel tahanan krn kasus narbkoba dan kehilangan pekerjaan selama
15 thn dijalaninya? Sy rasa mbak tidak tau."
"Apakah mbak tau
rasanya saat anak menggigil ketakutan dlm pelukan sy? Apa mbak tau rasanya
mendengar anak saya bercerita dng detail bagaimana suami sy menyiapkan
peralatan utk memakai narkoba? Itu mimpi buruk di kehidupan sy mbak!"
Surat terbuka Ephie
masih panjang, sepanjang derita yang dialaminya. Penderitaan Ephie dan para
ibu lainnya yang suami dan anaknya terjerat narkoba tentu bukan tanpa arti.
Menurut filsuf Jerman, Theodor W Adorno (1903-1969), penderitaan itu pun amat
berarti. Penderitaan merupakan pengalaman dasariah manusia, dalam segala hal
penderitaan ini tampak. Penderitaan harus dihapuskan, dengan menyadari bahwa
penderitaan itu ada dalam pengalaman dan kenyataan.
Tidak demikian halnya
dengan delapan orang yang beberapa hari lalu ditembak mati di Nusakambangan,
Jawa Tengah, karena kasus narkoba. Mereka tidak lagi mengalami penderitaan
duniawi. Keluarganyalah yang masih berselimut duka. Namun, setelah eksekusi
mati itu masih terjadi pertarungan antara yang pro dan kontra hukuman mati.
Yang pro hukuman mati
berpendapat, hukuman itu setimpal dengan apa yang sudah mereka lakukan dan
akibat dari perbuatan mereka. Yang menentang hukuman mati mengatakan, tidak
seorang pun berhak mengklaim boleh mencabut kehidupan dari orang lain.
Kehidupan adalah anugerah dari atas, bukan hasil usaha manusia sendiri.
Karena itu, kehidupan harus dijaga, dilindungi, dan dimuliakan. Lalu, apa
hukuman bagi mereka yang terjerat narkoba; para gembong, para pengedar
narkoba; yang berkongkalikong dengan para bandar? Mereka itu para perusak dan
penghancur kehidupan!
Sebelum pertanyaan itu
terjawab, sayup terdengar orang berkata: Lupakanlah cara berpikir bahwa
"untuk mengetahui kehidupan" kita harus "mengalami
kejahatan". Apakah seorang dokter menjadi lebih bijaksana dengan
mengalami sendiri suatu penyakit? Apakah kita mengetahui keberhasilan dengan
hidup di comberan? Apakah kita mengalami perdamaian dengan perang? Apakah
kita merasakan keindahan dalam melihat karena sebelumnya kita buta? Kita
tidak perlu ikut merasakan mabuk untuk dapat mengetahui kemabukan.
Lewat tengah malam di
Nusakambangan, terdengar suara letusan senjata. Delapan lelaki itu tersungkur
mencium bumi. Raga tak bersukma. Seorang perempuan Filipina termangu menatap
hari depan sambil bertanya-tanya: Apakah kematian seperti itu juga akan
menyeretku? Di tempat lain, Ephie Graze dengan suara pelan bergumam,
"Saya hanyalah ibu rumah tangga biasa, Mbak." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar