Senin, 04 Mei 2015

Materi dan Gaya Hidup

Materi dan Gaya Hidup

Kristi Poerwandari  ;  Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS, 03 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di koran pada hari yang sama terbaca: Dugaan korupsi dan penyuapan; Penipuan penjualan daring; Perempuan ditemukan meninggal di tempat kosnya; Iklan properti di luar negeri; Penculikan karena alasan utang-piutang; Organisasi begal merekrut remaja.

Beritanya berbeda-beda tetapi ada benang merah yang sama: keterjeratan pada gaya hidup, uang dan materi, yang dapat membawa pada cerita-cerita lain yang sama sekali tak terbayangkan.

Di masa kini menjadi sangat sulit bagi kita untuk melepaskan diri dari materi. Biaya hidup serba mahal sehingga jika penghasilan sangat terbatas, jadi sangat terbatas pula gerak kita. Mau hidup lebih sederhana belum tentu bisa.

Maka, kita berpindah kerja untuk mencari gaji yang lebih tinggi, membeli barang bermerek agar dihormati, menyediakan mobil untuk setiap anggota keluarga, pulang pada akhir minggu dan membeli apartemen di tengah kota agar dapat hidup lebih nyaman.

Anak dan remaja

Materialisme dapat kita definisikan secara sederhana sebagai gaya hidup yang mendasarkan diri pada perolehan dan penumpukan barang-barang konsumsi, melampaui yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Individu yang materialistik yakin bahwa sukses finansial, kepemilikan barang, dan status itu sangat penting.

Temuan penelitian mengenai remaja dan materialisme dari Chaplin dan John (2010) serta Froh, Emmons, Card, Bono dan Wilson (2010) mungkin dapat membantu kita merenung. Chaplin dan John menemukan bahwa materialisme tidak terkait dengan tingkat sosial ekonomi. Bisa saja yang tinggal dalam lingkungan berkekurangan punya kebutuhan materialistik yang tinggi, selama ia memfokus pada penumpukan barang konsumsi, yang melampaui kebutuhan dasar atau tidak sesuai dengan tingkat penghasilannya. Yang dipentingkan adalah pencapaian status melalui barang yang dibawa.

Chaplin dan John (2010) ataupun Froh dkk (2010) menyimpulkan, jika nilai-nilai yang mengutamakan materi mengemuka dalam sistem nilai individu, kesejahteraan pribadi menurun karena nilai-nilai tersebut menyebabkan individu merasa kebutuhan-kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Anak dan remaja dengan aspirasi yang lebih ekstrinsik (kekayaan, citra diri, ketenaran) memfokus pada membeli barang atau merek demi unjuk diri di depan orang lain. Mereka lupa, atau mengalahkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lain seperti mengembangkan kemandirian atau terlibat dalam aktivitas-aktivitas bermakna.

Pada penelitian terhadap seribu remaja, Froh dkk (2010) menemukan bahwa materialisme meramalkan nilai sekolah yang lebih rendah, rasa iri, dan kurangnya kepuasan hidup. Telaah mereka terhadap berbagai penelitian lain juga menemukan bahwa orang dewasa, remaja, ataupun anak yang berfokus pada materi akan kurang puas dengan standar hidupnya, kehidupan keluarga, ataupun kesenangan yang berhasil diperoleh. Materialisme memfokus individu untuk lebih mengejar penghargaan eksternal (dipuji karena keren, punya mobil mewah), membuat individu lebih berpusat pada diri, cenderung kurang berkomitmen dengan sekolah, kurang menunjukkan sikap saling membantu dalam komunitas, kurang peduli pada kesejahteraan orang lain.

Penting untuk dicatat, obsesi pada hal-hal yang sekadar tampak luar juga dapat meningkatkan perilaku berisiko, misalnya terlibat obat-obatan, alkohol, hingga perilaku seksual berisiko—karena individu berfokus pada kesenangan, yang dianggap keren, atau penerimaan sosial yang palsu. Sebaliknya, rasa syukur dan ketercukupan berkorelasi dengan prestasi yang lebih tinggi, kepuasan hidup, integrasi sosial, serta lebih rendahnya rasa iri dan depresi. Rasa syukur membantu individu mengembangkan kompetensi, autonomi, kesediaan untuk memberi bantuan pada orang lain dan penghormatan pada diri sendiri.

Lingkungan terdekat

Anak dan remaja, tanpa disadari, sering dididik oleh orangtuanya sendiri untuk bersibuk dengan materi. Orangtua yang sangat repot bekerja dan harus selalu pulang malam mungkin mengurangi rasa bersalah dengan memanjakan anak melalui barang- barang. Anak dan remaja juga dapat mengikuti gaya hidup yang berfokus pada status dan materi yang ditunjukkan orang-orang dewasa di sekitarnya.

Materialisme juga dapat diadopsi melalui cara lain. Chaplin dan John (2010) menemukan bahwa dukungan emosional dari orangtua akan meningkatkan perasaan berharga dari remaja dan menurunkan kebutuhan remaja akan benda-benda material untuk meningkatkan harga dirinya. Jika dukungan emosional orangtua atau keluarga rendah, anak dan remaja cenderung mencari pengganti dengan memfokus pada aspirasi keberhasilan finansial.

Materi memang terlihat seperti segala-galanya, diperlukan untuk mencapai berbagai kebutuhan hidup. Sering pula berarti akses dan kekuasaan. Banyak dari kita akhirnya menilai orang lain dan diri sendiri dari status, posisi kerja, gaji yang diperoleh, dan barang-barang konsumsi yang dimiliki.

Bagaimana agar tidak terjebak jadi mengutamakan posisi dan materi? Membaca kisah-kisah sederhana mengenai kebajikan hidup mungkin dapat membantu. Kita juga perlu mendefinisikan kembali apa itu keseimbangan hidup, kepedulian sosial dan spiritualitas, serta relevansinya dengan konsep pendidikan dalam kehidupan modern yang sangat kompetitif dan materialistik sekarang ini.

Pada akhirnya, status, posisi dan materi dapat lenyap dalam sekejap. Terkait anak, temuan Chaplin dan John menyadarkan, jika suasana dalam rumah menyenangkan, memberi rasa aman dan nyaman, anak tidak perlu harus mencari-cari materi untuk memenuhi kekosongan batinnya. Bukankah kita ingin mewariskan pada generasi muda: kemandirian, kompetensi, kepercayaan dan penghormatan diri yang baik, serta sikap positif untuk dapat saling membantu dengan orang lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar