Materi
dan Gaya Hidup
Kristi Poerwandari ; Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 03 Mei 2015
Di koran pada hari
yang sama terbaca: Dugaan korupsi dan penyuapan; Penipuan penjualan daring;
Perempuan ditemukan meninggal di tempat kosnya; Iklan properti di luar
negeri; Penculikan karena alasan utang-piutang; Organisasi begal merekrut
remaja.
Beritanya berbeda-beda
tetapi ada benang merah yang sama: keterjeratan pada gaya hidup, uang dan
materi, yang dapat membawa pada cerita-cerita lain yang sama sekali tak
terbayangkan.
Di masa kini menjadi
sangat sulit bagi kita untuk melepaskan diri dari materi. Biaya hidup serba
mahal sehingga jika penghasilan sangat terbatas, jadi sangat terbatas pula
gerak kita. Mau hidup lebih sederhana belum tentu bisa.
Maka, kita berpindah
kerja untuk mencari gaji yang lebih tinggi, membeli barang bermerek agar
dihormati, menyediakan mobil untuk setiap anggota keluarga, pulang pada akhir
minggu dan membeli apartemen di tengah kota agar dapat hidup lebih nyaman.
Anak dan remaja
Materialisme dapat
kita definisikan secara sederhana sebagai gaya hidup yang mendasarkan diri
pada perolehan dan penumpukan barang-barang konsumsi, melampaui yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Individu yang materialistik yakin
bahwa sukses finansial, kepemilikan barang, dan status itu sangat penting.
Temuan penelitian
mengenai remaja dan materialisme dari Chaplin dan John (2010) serta Froh,
Emmons, Card, Bono dan Wilson (2010) mungkin dapat membantu kita merenung.
Chaplin dan John menemukan bahwa materialisme tidak terkait dengan tingkat
sosial ekonomi. Bisa saja yang tinggal dalam lingkungan berkekurangan punya
kebutuhan materialistik yang tinggi, selama ia memfokus pada penumpukan
barang konsumsi, yang melampaui kebutuhan dasar atau tidak sesuai dengan
tingkat penghasilannya. Yang dipentingkan adalah pencapaian status melalui
barang yang dibawa.
Chaplin dan John
(2010) ataupun Froh dkk (2010) menyimpulkan, jika nilai-nilai yang
mengutamakan materi mengemuka dalam sistem nilai individu, kesejahteraan
pribadi menurun karena nilai-nilai tersebut menyebabkan individu merasa
kebutuhan-kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Anak dan remaja dengan aspirasi
yang lebih ekstrinsik (kekayaan, citra diri, ketenaran) memfokus pada membeli
barang atau merek demi unjuk diri di depan orang lain. Mereka lupa, atau
mengalahkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lain seperti mengembangkan
kemandirian atau terlibat dalam aktivitas-aktivitas bermakna.
Pada penelitian
terhadap seribu remaja, Froh dkk (2010) menemukan bahwa materialisme
meramalkan nilai sekolah yang lebih rendah, rasa iri, dan kurangnya kepuasan
hidup. Telaah mereka terhadap berbagai penelitian lain juga menemukan bahwa
orang dewasa, remaja, ataupun anak yang berfokus pada materi akan kurang puas
dengan standar hidupnya, kehidupan keluarga, ataupun kesenangan yang berhasil
diperoleh. Materialisme memfokus individu untuk lebih mengejar penghargaan
eksternal (dipuji karena keren, punya mobil mewah), membuat individu lebih
berpusat pada diri, cenderung kurang berkomitmen dengan sekolah, kurang
menunjukkan sikap saling membantu dalam komunitas, kurang peduli pada
kesejahteraan orang lain.
Penting untuk dicatat,
obsesi pada hal-hal yang sekadar tampak luar juga dapat meningkatkan perilaku
berisiko, misalnya terlibat obat-obatan, alkohol, hingga perilaku seksual
berisiko—karena individu berfokus pada kesenangan, yang dianggap keren, atau
penerimaan sosial yang palsu. Sebaliknya, rasa syukur dan ketercukupan
berkorelasi dengan prestasi yang lebih tinggi, kepuasan hidup, integrasi
sosial, serta lebih rendahnya rasa iri dan depresi. Rasa syukur membantu
individu mengembangkan kompetensi, autonomi, kesediaan untuk memberi bantuan
pada orang lain dan penghormatan pada diri sendiri.
Lingkungan terdekat
Anak dan remaja, tanpa
disadari, sering dididik oleh orangtuanya sendiri untuk bersibuk dengan
materi. Orangtua yang sangat repot bekerja dan harus selalu pulang malam
mungkin mengurangi rasa bersalah dengan memanjakan anak melalui barang- barang.
Anak dan remaja juga dapat mengikuti gaya hidup yang berfokus pada status dan
materi yang ditunjukkan orang-orang dewasa di sekitarnya.
Materialisme juga
dapat diadopsi melalui cara lain. Chaplin dan John (2010) menemukan bahwa
dukungan emosional dari orangtua akan meningkatkan perasaan berharga dari
remaja dan menurunkan kebutuhan remaja akan benda-benda material untuk
meningkatkan harga dirinya. Jika dukungan emosional orangtua atau keluarga
rendah, anak dan remaja cenderung mencari pengganti dengan memfokus pada
aspirasi keberhasilan finansial.
Materi memang terlihat
seperti segala-galanya, diperlukan untuk mencapai berbagai kebutuhan hidup.
Sering pula berarti akses dan kekuasaan. Banyak dari kita akhirnya menilai
orang lain dan diri sendiri dari status, posisi kerja, gaji yang diperoleh,
dan barang-barang konsumsi yang dimiliki.
Bagaimana agar tidak
terjebak jadi mengutamakan posisi dan materi? Membaca kisah-kisah sederhana
mengenai kebajikan hidup mungkin dapat membantu. Kita juga perlu mendefinisikan
kembali apa itu keseimbangan hidup, kepedulian sosial dan spiritualitas,
serta relevansinya dengan konsep pendidikan dalam kehidupan modern yang
sangat kompetitif dan materialistik sekarang ini.
Pada akhirnya, status,
posisi dan materi dapat lenyap dalam sekejap. Terkait anak, temuan Chaplin
dan John menyadarkan, jika suasana dalam rumah menyenangkan, memberi rasa
aman dan nyaman, anak tidak perlu harus mencari-cari materi untuk memenuhi
kekosongan batinnya. Bukankah kita ingin mewariskan pada generasi muda:
kemandirian, kompetensi, kepercayaan dan penghormatan diri yang baik, serta
sikap positif untuk dapat saling membantu dengan orang lain? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar