Minggu, 17 Mei 2015

Relasi Indonesia-Australia Pasca Hukuman Mati

Relasi Indonesia-Australia Pasca Hukuman Mati

Dinna Wisnu   ;  Co-founder dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Paramadina, Jakarta, sejak 2008
DETIKNEWS, 06 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Eksekusi tahap kedua dengan delapan terpidana mati kasus narkoba sudah terjadi. Kita masih menunggu dua orang terpidana lain, Mary Jane (Filipina) dan Serge Areski Atlaoui (Prancis), yang tertunda karena proses hukum mereka masih berjalan. Penundaan eksekusi itu berarti juga tertundanya reaksi diplomatik dari dua negara tersebut.

Dalam kasus Mary Jane, kita melihat, upaya pemerintah Filipina meminta pengampunan terbilang relatif lembut. Presiden Filipina Benigno Aquino menyampaikannya dalam pertemuan tingkat tinggi ASEAN. Waktunya relatif dekat sekali dengan jadwal eksekusi. Desakan dari Aquino tersebut mungkin terjadi karena tekanan yang kuat dari Aliansi Buruh Migran di negeri itu.

Sikap lembut Filipina dapat dipahami karena negeri itu bagian dari keluarga ASEAN. Di ASEAN, ada agenda-agenda strategis yang perlu tercapai, termasuk dalam kasus sengketa wilayah di Laut Cina Selatan. Filipina membutuhkan dukungan dari Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN dalam menghadapi klaim Tiongkok.

Filipina mungkin sudah menghitung untung-ruginya dalam bereaksi atas putusan hukuman mati ini. Apabila mereka bersikap frontal seperti Australia, tentu akan terganggu pula suasana "saling menjaga perasaan" yang selama ini menjadi karakter ASEAN. Negara-negara ASEAN lainnya yang warganya terancam eksekusi mati karena kasus narkoba (Vietnam, Thailand, dan Malaysia) juga memilih tidak terlalu mendesak-desak Presiden Joko Widodo. Khusus untuk Malaysia, bisa jadi mereka bersikap demikian karena di negerinya juga dilakukan hukuman mati terhadap terpidana narkoba.

Terkait protes keras dari Australia, ini akan menjadi pekerjaan rumah diplomat dalam beberapa bulan, bahkan beberapa tahun, mendatang, khususnya selama Tony Abbott masih berkuasa sebagai perdana menteri. Dalam pakem diplomasi, protes keras semacam itu biasanya diikuti dengan upaya meningkatkan intensitas komunikasi agar hubungan tidak memburuk.

Hubungan bilateral Indonesia dan Australia sebetulnya relatif sering mengalami pasang-surut yang dramatis. Namun pada akhirnya sama-sama menyadari perlunya tetap menjaga komunikasi dan kerja sama, terutama pada tataran people-to-people. Selain itu, ada faktor Amerika Serikat, yang terbukti masih menjadi rujukan arah politik luar negeri Australia. Dalam sejarah, apa pun yang dilakukan Australia terhadap Indonesia tak mungkin tidak dikonsultasikan terlebih dulu dengan Amerika Serikat.

Hal ini bisa dikonfirmasi melalui sejarah berpisahnya Timor Leste (dulu Timor Timur) dari Indonesia. Sejak 1975, gerakan perlawanan rakyat Timor Leste memiliki basis dan kantor yang kuat di Australia. Mereka juga melakukan advokasi kepada publik Australia untuk mendukung kemerdekaan mereka. Masyarakat Australia juga sebagian besar mendukung perlawanan rakyat Timor Leste.

Meski demikian, tekanan publik kepada pemerintah Australia tidak melahirkan sebuah aksi konfrontasi yang keras terhadap pemerintah Indonesia karena Amerika Serikat masih membutuhkan Indonesia sebagai kawan dalam memerangi bahaya ideologi Komunisme di Asia Tenggara. Tekanan baru betul-betul keras ketika bahaya komunisme sudah tidak relevan seiring dengan usainya Perang Dingin. Hal itu ditandai dengan tekanan kepada Indonesia untuk segera melakukan referendum di Timor Leste pada 1999.

Dalam kasus hukuman mati ini, Amerika Serikat memilih pasif, bahkan cenderung mendukung keputusan Presiden Joko Widodo. Duta Besar Amerika Serikat Robert Blake bahkan pernah mengatakan di Solo bahwa hukuman mati merupakan masalah yang harus diputuskan oleh pemerintah Indonesia sendiri. Ia mengakui hukuman mati juga diberlakukan di Amerika, terutama terhadap pelaku kejahatan berat atau serius.

Dari pernyataan tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Amerika berada di belakang Indonesia dalam masalah hukuman mati. Itu juga berarti ancaman keras dari Australia mungkin juga tidak akan sampai membawa hubungan kedua negara menjadi semakin memburuk. Kesimpulan itu sendiri bisa saja gugur apabila ada faktor-faktor lain yang berjalan di luar kebiasaan hubungan Australia dan Amerika selama ini.

Sejauh yang saya amati, faktor lain tersebut antara lain bergabungnya Australia dengan Bank Infrastruktur Asia, yang dimotori oleh Tiongkok. Tindakan Australia ini telah menimbulkan kegeraman dari Amerika yang telah mulai kehilangan “pendukung”-nya karena beberapa negara Eropa, juga Jepang dan Korea Selatan, juga bergabung dengan Bank Infrastruktur Asia.

Apabila kita interpretasikan bergabungnya Australia sebagai perlawanan atau bentuk baru hubungan Australia terhadap “sang Paman”, ada kemungkinan juga Australia akan memiliki kebijakan yang relatif lebih otonom dalam soal hukuman mati ini. Namun sejauh-jauhnya otonom, pertimbangan ekonomi tetap utama.

Hingga saat ini, hubungan perdagangan Australia-Indonesia masih cukup kuat. Salah satu komoditas yang menjadi andalan Australia adalah sapi. Sapi dan bentuk olahannya, seperti susu dan keju, masih diperlukan oleh Indonesia. Beberapa komoditas lain, seperti tambang dan mineral, juga mendominasi struktur perdagangan Indonesia-Australia.

Bagaimana dengan Prancis. Selama ini negeri itu punya hubungan baik dengan Indonesia meski tidak punya kepentingan kerja sama ekonomi langsung yang cukup signifikan. Tapi Prancis keras memprotes keputusan Presiden Joko Widodo. Apakah dia terinspirasi oleh Australia? Apakah Prancis serius akan membangun solidaritas antarnegara Eropa untuk menekan Indonesia dari sisi penegakan hak asasi manusia?

Jika ya, Indonesia perlu memikirkan cara untuk menangkalnya. Apalagi Indonesia punya agenda-agenda besar di tingkat regional dan global yang membutuhkan pula dukungan dari negara-negara Eropa, termasuk Prancis. Misalnya untuk memperbaiki tata kelola ekonomi global dan mereformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Jadi kita boleh saja menilai tekanan dari negara-negara lain merupakan bagian dari agenda politik dalam negeri mereka, namun perlu juga kita ingat bahwa Indonesia punya keinginan menjadi pemain global yang dihormati. Karena itulah hendaknya pemerintah Indonesia dan segenap pejuang kepentingan nasional jeli menjaga agar batu-batu fondasi pendukung agenda kita agar tetap pada tempatnya. Tidak goyah karena gelombang protes yang saat ini sedang menghujani Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar