Guru
Honorer, Siapa Peduli?
Jejen Musfah ; Dosen Analisis Kebijakan Pendidikan UIN
Jakarta
|
KORAN SINDO, 02 Mei 2015
Hari Pendidikan
Nasional diperingati setiap 2 Mei. Pada kesempatan ini, ada baiknya mengulas
tentang nasib guru honorer.
Mengapa? Tidak ada
yang membantah bahwa guru merupakan kunci utama mutu pendidikan. Pendidikan
yang bermutu merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang mengabaikan
guru akan selamanya menjadi negara yang terbelakang. Bangsa yang maju
memiliki guru yang profesional dan sejahtera.
Dalam beberapa
kesempatan, di depan ribuan guru, Mendikbud Anies Baswedan kerap berjanji
akan memperbaiki kualitas guru. Perbaikan kualitas guru bisa melalui
pelatihan, beasiswa studi, atau pemberian gaji yang layak. Namun, janji
tinggallah janji. Hingga saat ini, kehidupan guru honorer masih memilukan.
Penantian panjangnya
tak kunjung berakhir, dari pengangkatan sebagai guru PNS hingga pemberian
gaji sesuai upah minimum kabupaten, kota, provinsi, atau regional. Berbagai upaya
sudah dilakukan, namun belum ada titik terang.
Harapan guru pada
Anies sebagai pemecah masalah tersebut sangat besar karena ia dianggap
(sangat) memahami persoalan guru. Sebelum menjadi menteri, ia dikenal dengan
program Indonesia Mengajar. Faktanya, dalam hal UN dan K- 13, Anies berani
mengambil kebijakan yang berarti; tapi ketika menghadapi nasib guru honorer,
ia terkesan tak berdaya.
Memelihara Harapan
Pertanyaannya, mengapa
guru honorer bertahan pada profesinya, padahal gaji sangat kecil? Setidaknya
ada empat jawaban tentang ini. Pertama, guru sangat berharap menjadi PNS.
Menjadi PNS merupakan dambaan mayoritas masyarakat karena dianggap
menjanjikan kesejahteraan dan jaminan hari tua. Karena itu, apa pun akan
dilakukan untuk bisa menjadi PNS, bahkan ketika harus menyuap sekalipun.
Menjadi guru honorer
merupakan satu cara untuk menjadi PNS dengan pertimbangan telah mengabdi
(loyal) sampai waktu tertentu. Namun, meski sudah mengabdi 20 tahun
sekalipun, belum ada jaminan guru bisa diangkat menjadi PNS. Sebaliknya,
banyak guru yang pengabdiannya baru seumur jagung diangkat PNS.
Hal ini yang
menimbulkan setidaknya dua kesan: kolusi dan nepotisme pada lapispertama,
danketidakadilan pejabat berwenang pada lapis kedua. Akibatnya, guru berulang
kali merasa kecewa terhadap sistem perekrutan guru PNS khususnya, dan kepada
pemerintah umumnya.
Meski mengalami
kekecewaan berat, guru tidak lantas beralih ke profesi lain setidaknya karena
tiga alasan: masih berharap suatu saat giliran dirinya yang ”lolos” sebagai
PNS, tidak punya keterampilan lain selain mengajar, dan terakhir sulit
mencari pekerjaan. Ketika pemerintah abai terhadap nasib guru yang sudah
mengabdi hingga puluhan tahun, mengharapkan guru berkinerja baik merupakan
suatu hal yang berlebihan—untuk tidak mengatakan mustahil.
Perubahan Kurikulum
KTSP (2006) ke Kurikulum 2013 yang menuntut guru melaksanakan pembelajaran
yang aktif dan penilaian otentik misalnya, sangat besar kemungkinan gagal,
karena guru masih sibuk dengan kebutuhan dasarnya alias belum sejahtera.
Kedua, guru mengajar lebih dari satu sekolah. Untuk menutupi kebutuhan
pokoknya, guru ”terpaksa” mengajar di dua bahkan tiga sekolah.
Hasil mengajar di tiga
sekolah lumayan untuk menyambung hidup. Pada masa lalu, hal ini berjalan
baik. Setelah kebijakan sertifikasi guru yang mewajibkan guru harus mengajar
minimal 24 jam pelajaran selama satu minggu, guru honorer yang belum
tersertifikasi ”berebut” jam pelajaran dengan guru yang bersertifikat.
Kelas atau ”lahan”
yang selama ini menjadi sumber pendapatan guru honorer diambil guru
bersertifikat. Sekolah tidak berdaya karena memang aturannya demikian.
Sekolah secara perlahan dengan cara halus maupun ”kasar” mulai
memarjinalkanguru honorer, sekalipun sudah mengabdi belasan tahun. Ekonomi
guru honorer pun semakin sulit.
Apalagi, Anies
mengeluarkan kebijakan yang kontroversial: ”Dana BOS tidak bisa lagi
dibayarkan untuk honor guru honorer.” Ketika guru mengajar di dua atau lebih
sekolah, apalagi jarak antara kedua sekolah cukup jauh, maka akan memengaruhi
kualitas proses pembelajaran.
Guru mengajar dengan
tenaga sisa karena kelelahan. Dalam keadaan capai, tidak menutup kemungkinan,
keadaan sepele semisal siswa kurang perhatian kepada pembelajaran yang sedang
berlangsung, guru meresponsnya dengan cara emosional tinimbang rasional atau
mendidik. Ketiga, guru memiliki pekerjaan lain selain mengajar.
Pekerjaan lain itu
bisa jadi karena memang keadaan menuntut guru mencari tambahan penghasilan,
atau sebelumnya ia pedagang atau peternak, misalnya. Pada kedua kondisi
tersebut, jelas ini tidak baik bagi profesiguru. Ini bisa terjadi,
disampingkarena gaji guru kecil, juga karena guru belum menjadi profesi
pertama dan utama yang diimpikan generasi muda Indonesia.
Ketika gaji guru ala
kadarnya saja, pekerjaan lain itu yang akan menjadi fokus utamanya. Padahal,
mengajar bukan semata menyampaikan apa yang tertulis di buku pelajaran.
Mengajar memerlukan persiapan matang dan kesanggupan guru memecahkan
kesulitankesulitan siswa, baik melalui mini riset maupun diskusi mendalam
dengan para guru serumpun atau lintas ilmu.
Hal ini sangat tidak
mungkin dilakukan guru yang fokus profesinya tidak hanya pada pendidikan.
Bukan karena hal ini mustahil atau kurang kepedulian guru bersangkutan,
melainkan itu semua membutuhkan waktu dan pikiran yang jernih.
Tanpa nyambi di luar
sekolah pun, guru ideal sudah disibukkan oleh hal-hal administratif yang
menggunung, apalagi ia punya side job lain yang dianggapnya lebih penting karena
lebih menjanjikan kesejahteraan. Guru hanyamenjadi pekerjaan sampingan.
Keempat, mengajar
sebagai panggilan jiwa. Tentu tidak sedikit guru honorer yang mengajar tanpa
pamrih. Mengajar semata dengan tujuan mencerdaskan generasi bangsa, tanpa
terpengaruh oleh besar-kecilnya imbalan. Karena itu, guru semacam ini tak
terlalu cemas dengan status guru honorer abadi atau pendapatan yang kecil.
Bisa jadi, ia juga tak menggebu harus menjadi PNS.
Guru tipe ini yang
bersedia mengajar belasan hingga puluhan tahun bahkan hingga sampai akhir
hayatnya. Godaan alih profesi yang lebih menjanjikan ditepisnya demi setia
mengajar anak-anak membaca, menulis, dan berhitung. Meski sadar menjadi guru
harus rela hidup sulit atau hidup sederhana, ia sanggup melewatinya karena
hati sudah yakin: ”Hidup dan matiku
untuk pendidikan, agar anak-anak kelak berhasil sehingga hidupnya lebih baik
dari diriku.”
Kemauan Baik
Menghadapi persoalan
di atas, peran pemerintah dua hal. Pertama, memperbaiki sistem perekrutan
guru honorer menjadi guru PNS. Jika ada kemauan baik dari pemerintah, tak
sulit memberantas mafia (jika ada) atau oknum yang memperjualbelikan formasi
PNS kepada para guru.
Perbaikan data jumlah
guru juga perlu dilakukan, agar tidak ada data berbeda antara pemerintah dengan
pihak di luar pemerintah. Kedua, tingkatkan pendapatan guru honorer. Ketika
guru lain bicara cara pengembangan guru, guru honorer masih berkutat dengan
persoalan gaji kecil yang sangat jauh dari kategori layak atau sejahtera.
Jangankan biaya untuk
pengembangan diri, untuk kebutuhan sehari-hari saja guru honorer harus pinjam
uang; gali lubang tutup lubang. Gaji kecil guru tidak bisa dibiarkan terus
berlanjut karena gaji memengaruhi kinerja guru. Kinerja guru yang buruk akan
memengaruhi standar kompetensi siswa. Generasi yang kompetensinya rendah akan
menjadi beban bangsa di masa depan. Lalu, siapa peduli guru honorer? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar