PAUD
dan Harapan Generasi Unggul
Aristiana P Rahayu ; Relawan Sosial; Ketua Komunitas Cahaya; Penggagas
PAUD Darurat Cahaya Bunda; Dosen FKIP-PG PAUD Universitas Muhammadiyah
Surabaya
|
JAWA POS, 02 Mei 2015
MENARIK membaca
artikel yang ditulis Bapak Daniel M. Rosyid, Merayakan Belajar (Jawa
Pos, 1/5). Dalam artikel tersebut, dinyatakan kita harus lebih
memperhatikan usia emas (0–6 tahun). Sebab, pada masa-masa itu, pembentukan
otak manusia sebagai pusat saraf adalah periode paling sensitif untuk
memperoleh stimulan, terutama aspek gizi. Selain itu, keluarga harus
diposisikan dan diperkuat sebagai satuan pendidikan yang sah. Teladan
karakter orang tua, asupan gizi yang cukup, serta tunjangan untuk ibu hamil dan
menyusui jauh lebih efektif daripada pendidikan anak usia dini (PAUD).
Tak bisa disangkal,
usia dini (0–6 tahun) adalah masa-masa emas bagi perkembangan otak anak.
Sebab, pada rentang usia itulah otak anak mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Gizi dan pendidikan dalam keluarga adalah bagian dari komponen penting
dalam mendorong berbagai aspek perkembangan anak usia dini. Namun, yang
menjadi pertanyaan, apakah dua komponen itu cukup sebagai stimulan? Dan
benarkah program pendidikan anak usia dini berikut kurikulumnya tidak
efektif?
Anak Usia Dini
Dalam neurosains,
ditemukan fakta mengenai otak anak. Ketika anak lahir, sel-sel otaknya
mencapai 100 miliar, tetapi belum saling berhubungan, kecuali hanya sedikit,
yakni yang terkait dengan sel-sel otak yang mengendalikan detak jantung,
pernapasan, gerak refleks, pendengaran, dan naluri hidup. Sel otak telah
membentuk sekitar 1.000 triliun jaringan koneksi/sinaps saat anak memasuki
usia tiga tahun. Jumlah itu dua kali lebih banyak daripada yang dimiliki orang
dewasa. Satu sel otak dapat berhubungan dengan 15.000 sel lain. Sinaps-sinaps
itu akan mati bila jarang digunakan/kurang mendapatkan stimulasi. Sebaliknya,
bila sering digunakan, sinaps-sinaps tersebut akan semakin kuat dan permanen.
Setiap stimulasi yang diterima anak akan melahirkan sambungan baru atau
memperkuat sambungan yang sudah ada. Semakin sering stimulasi diberikan,
perkembangan otak anak juga maksimal.
Untuk memaksimalkan
otak anak, stimulasi yang diberikan juga harus maksimal agar aspek kognitif,
afektif, fisik-motorik, bahasa, sosial-emosional, dan spiritual mampu
berkembang optimal. Berbagai aspek perkembangan anak itu tidak akan cukup
dengan stimulasi gizi dan pendidikan dalam keluarga saja. Anak membutuhkan
lingkungan sosial untuk belajar berinteraksi dengan orang lain. Di lembaga
pendidikan, anak akan bertemu dengan individu lain untuk belajar berinteraksi
dan mengembangkan aspek sosial-emosionalnya, bahasa, kognisi, dan sebagainya.
Juga, kurikulum sesungguhnya diperlukan sebagai acuan dalam menentukan model
pembelajaran maupun stimulasi yang paling baik agar berbagai aspek tersebut
mampu berkembang optimal sesuai dengan usia, karakteristik, minat, kemampuan,
dan bakat anak yang unik serta berbeda.
Layanan pendidikan
kepada anak usia dini merupakan dasar yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan selanjutnya hingga dewasa. Hal itu diperkuat oleh Hurlock
(1991:27) bahwa tahun awal kehidupan anak merupakan dasar yang cenderung
bertahan serta memengaruhi sikap dan perilaku sepanjang hidupnya. Program
PAUD sesungguhnya tidak bertujuan mengambil alih peran keluarga sebagai
lembaga informal pendidikan anak usia dini. Keluarga tetap menduduki posisi
paling penting. Keluarga dan lembaga PAUD formal (TK, raudhatul athfal, dan
sejenisnya) maupun nonformal (kelompok bermain, TPQ, TPA, dan sejenisnya)
sesungguhnya mitra yang harus saling mendukung dan menunjang dalam upaya
memberikan stimulasi dan pengasuhan yang terbaik bagi anak.
Namun, fakta yang
terjadi di lapangan, tidak sedikit keluarga (orang tua) belum paham dan belum
memiliki bekal yang cukup terkait dengan kemampuan dalam pengasuhan anak (parenting skill). Akibatnya, anak-anak
di usia dini kerap menjadi korban salah pengasuhan. Sebab, tidak sedikit
orang tua yang menerapkan cara-cara kekerasan, baik fisik maupun psikologis,
dalam mengasuh anak. Juga, keberadaan lembaga PAUD menjadi bagian yang cukup
penting untuk ikut menyebarkan pengetahuan dan pemahaman tentang parenting skill. Direktorat Pendidikan
Keluarga yang dibentuk pemerintah terasa perlu untuk melibatkan guru PAUD
sebagai salah satu ujung tombak dalam memberikan pendidikan keluarga. Sebab,
para guru PAUD lebih sering berinteraksi dengan orang tua anak dalam
keseharian. Karena itu, peningkatan kualitas SDM para guru PAUD harus mendapatkan
perhatian yang sangat serius.
Temuan penulis dari
observasi di lapangan sebagai relawan, sesungguhnya anak-anak dari keluarga
miskin lebih rentan mengalami kesalahan pola asuh. Faktor penyebabnya adalah
tingkat pendidikan orang tua yang rendah –sebagian memiliki pemahaman agama
yang rendah–, beban ekonomi yang berat, kondisi yang tidak harmonis, dan
lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif. Dampaknya, banyak anak dari
keluarga miskin yang kekurangan gizi, terkena berbagai penyakit, mengalami kekerasan
(fisik-psikologis), tereksploitasi, dan mengalami berbagai gangguan/masalah
dalam berbagai aspek perkembangannya. Kondisi tersebut masih mudah kita temui
di pelosok desa maupun wilayah kumuh perkotaan. Di sinilah perlu peran serta
masyarakat untuk terlibat aktif, untuk ikut bergerak melalui
pendidikan/pemberdayaan ekonomi bagi keluarga miskin, termasuk
penyelenggaraan program pendidikan anak usia dini. Itu sangat penting. Sebab,
setiap anak yang lahir di negeri ini berhak menjadi generasi unggul dan bermasa
depan cerah. Saatnya semua bergerak untuk pendidikan Indonesia yang lebih
baik, menyenangkan, dan berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar