Avengers
Toriq Hadad ; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 10 Mei 2015
Tiba-tiba saya menemukan pahlawan. Dia bukan
orang Istana, bukan pula tokoh partai, pimpinan ormas, olahragawan, apalagi
pemuka kepolisian. Saya ketemu jagoan-jagoan saya itu pekan lalu di sebuah
mal di Jakarta Selatan. Mereka orang jauh, dari Amerika, bahkan ada yang
berumah di Asgard--entah di galaksi sebelah mana tempat itu.
Terus terang, saya idolakan mereka--Captain
America, Black Widow, dan Thor--karena anak saya yang kelas V SD sangat
memuja mereka. Demi tiga karakter film The Avengers itu, saya sekeluarga rela
antre dua setengah jam. Kami bergabung dengan ratusan orang yang berbaris
tertib. Tak ada yang memprotes ketika panitia meminta kami duduk lesehan di
lantai berkarpet merah, menunggu para superhero itu.
Saya takjub, beberapa anak yang ditanya
pembawa acara, tak seorang pun meleset menjawab warna baju Captain America
atau palu godam Thor. Bahkan, anak-anak itu hafal betul kebiasaan para
Avengers. Begitu pembawa acara berteriak, "Avengers....", anak-anak
membalas riuh rendah: "Assemble" Ini kode para jagoan itu siap
bertempur.
Begitu tampil di panggung, tiga bintang itu
langsung disambut tepukan meriah. Padahal tiga hero tersebut hanya bergerak
seadanya dan jauh dari mengesankan. Si Black Widow, yang wajahnya dingin dan
kaku seperti patung lilin di museum Madame Tussauds, sekadar meliuk-liuk
sambil menjulurkan kaki, atau menyilangkan tangan. Lihatlah Thor: hanya
menunjuk-nunjuk penonton di balkon atas atrium itu, lalu mengayun-ayunkan
palu godamnya. Captain America, tokoh yang paling ditunggu, cuma menyeringai,
meringis, sambil memamerkan tamengnya.
Tibalah saat yang dinanti-nanti: berfoto
bersama. Di atas panggung, anak saya bersalaman dengan takzim. Saya bisikkan
kepada Captain America, anak saya sudah menonton seri terbaru The Avengers:
Age of Ultron. Si Captain tersenyum bahagia, "dagangan"-nya sukses
besar. Lalu kami berpotret. Setelah berbasa-basi beberapa detik, saling
mengadu kepalan tangan, kami menuruni panggung.
Tak saya duga, di bawah panggung, anak saya
berkomentar, "Pak, kita antre dua jam lebih ternyata hanya untuk ketemu
jagoan KW." Saya terperangah. Apa maksudnya? Mereka bukan pemeran
Avengers orisinal. Mereka bukanlah Chris Hemsworth (pemeran Thor), Chris
Evans (Captain America), atau Scarlett Johansson (Black Widow). Anak saya
terlihat kecewa. Saya cepat menenangkannya, "Sudahlah, yang penting
kostumnya asli."
Soal KW tadi ternyata benar. Ketika kami
keliling mal, terlihat tiga pemeran hero tadi--dengan T-shirt
seadanya--agaknya sedang mencari-cari tempat makan. Benar saja, mereka bukan
pemeran asli. Tanpa baju "kebesaran"-nya, tak seorang pun berusaha
berfoto bersama mereka atau sekadar menyapa mereka. Rupanya "trik
pemasaran" film Avengers ini diketahui banyak orang. Toh, orang ramai
tak peduli. Berfoto bersama kostum Captain America cs saja sudah cukup
menggembirakan, tak peduli siapa di balik kostum itu.
Di sini saya merasa sedih. Anak saya, juga
anak-anak sebayanya, harus memilih pahlawan impor ketimbang pahlawan lokal.
Ini bukan salah mereka. Buat mereka, Diponegoro, Bung Tomo, atau Rudy
Hartono, itu masa lalu. Sedangkan yang mereka pelajari dari masa kini adalah
keriuhan, ribut politik, hujat-menghujat, gugat-menggugat, yang seakan tiada
henti. Jangankan pahlawan, mencari negarawan saja sudah hampir mustahil di
negeri ini. Keributan Kepolisian vs KPK, gontok-gontokan PSSI, ricuh partai
politik, hanya mendorong anak-anak kita mencari idola impor.
Dalam perjalanan pulang, anak saya berkata,
"Pak, saya tak lagi mengidolakan Avengers KW itu." Saya tersenyum,
mengira dia sudah menemukan pahlawan dalam negerinya. Ternyata, katanya
serius, "Kita mesti menemui Avengers yang asli di Amerika." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar