Senin, 11 Mei 2015

36.000 Kaki

36.000 Kaki

Samuel Mulia ;  Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
KOMPAS, 10 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di atas ketinggian itu, ketika berada di dalam pesawat, saya dan Anda bisa melihat dengan jelas siapa diri kita sesungguhnya. Dari mana saya bisa mengetahui itu semua?

Indikator

Sudah pasti bukan dari kelas yang tersedia. Kelas ekonomi, kelas bisnis, atau kelas utama yang mampu menguras kocek sampai ratusan juta rupiah, sama sekali tak bisa digunakan sebagai tolok ukur.

Ada satu indikator yang saya gunakan untuk menilai. Dan indikator itu bukan perilaku manusianya. Kalau itu sudah terlalu basi digunakan sebagai bahan penilai. Anda dan saya sudah tahu pasti, bagaimana dan perilaku macam apa yang pernah dilihat, bahkan dari saat masih di depan check-in counter.

Dari soal pegawai yang diskriminatif sampai penumpang yang arogan. Dari crew yang galaknya seperti sipir penjara sampai penumpang yang mengumpat dan mampu melakukan kegiatan esek-esek di ruang yang bahkan tak tertutup itu.

Nah, indikator yang saya gunakan adalah buah yang dihasilkan dari perilaku yang dilakukan setelah sampai di tempat tujuan. Begini. Coba Anda perhatikan ketika pesawat sudah berhenti dengan benar di tempatnya, dan para penumpang dipersilakan turun. Perhatikan apa yang terjadi di setiap kursi dan kondisi di sekitar tempat duduk itu.

Yaa... benar. Anda dan saya bisa melihat dengan nyata dan kemudian mengerti apa yang dimaksud dengan kapal pecah. Apalagi kalau Anda duduk di kelas ekonomi dan mendapat tempat duduk yang sudah dekat ekor pesawat, perjalanan Anda ke pintu keluar akan melewati jalan panjang. Bahkan tak jarang, Anda dan saya diperintahkan untuk keluar melalui kabin kelas bisnis dan utama.

Pemandangan yang didapat akan sama, mau itu kabin kelas ekonomi atau kelas utama. Berantakan adalah benang merahnya. Anda bisa melihat ada selimut yang tertata rapi setelah digunakan, ada selimut yang berantakan dan dibiarkan begitu saja.

Ada koran yang terlipat secara acak-acakan dimasukkan ke dalam kantong kursi, bahkan gelas minum plastik juga masuk ke dalam kantung kursi, dan atau tergeletak di sekitar tempat duduk. Bantal untuk kepala, bisa tergeletak di lantai.

Ada yang mengembalikan fasilitas hiburan ke tempatnya dengan benar, ada penumpang yang membiarkan begitu saja. Belum lagi yang membawa anak kecil. Makanan, bekas permen dan kacang, tersebar di lantai sehingga bisa seperti keadaan yang Anda lihat di bak sampah. Tiba-tiba badan pesawat yang modern dan canggih itu berubah menjadi bak sampah terbesar di dunia. Saya sendiri juga tak tahu karena belum pernah bertanya kepada para penumpang, bagaimana kok bisa sampai seberantakan itu.

Penumpang terbaik di dunia

Maka setiap kali saya melihat keadaan seperti kapal pecah itu, saya melihat kembali kepada diri sendiri. Melihat bagaimana saya menata hidup, menata rencana masa depan, menata rumah, menata sebuah hubungan asmara, keluarga, sosial dan profesional.

Saya selalu kesetrum saat melihat kapal pecah itu. Setrum itu mengantar saya berpikir, apakah karena seseorang sudah membayar, maka ini adalah waktunya seseorang menerapkan konsep pembeli itu raja secara utuh? Sungguh saya tak tahu. Dan saya tak sedang mempermasalahkan itu.

Saya lebih berpikir setelah melihat kondisi acakadut itu, bagaimana saya bisa dipercaya oleh orang lain dalam mengelola kehidupan profesional, sosial, familial dan asmara, kalau hanya dalam penerbangan saja, yang sekian jam itu, saya bisa begitu joroknya dan begitu sembarangannya.

Bagaimana saya sebagai orangtua tak bisa mengelola kenakalan anak saya sehingga ia bisa berlari-lari di sepanjang penerbangan dan mengganggu sejuta umat lainnya, bagaimana saya bisa membuang kertas pembersih di lantai toilet sementara tempat sampah telah tersedia.

Bagaimana saya bisa begitu egoisnya, membuang air yang katanya seni itu tidak pada tempatnya sehingga tercecer di pinggir toilet, di lantai, dan tak berminat membersihkan, padahal sayalah yang memiliki air yang seni itu.

Bagaimana saya bisa mencuci tangan dan berludah, kemudian dengan tenang membiarkan orang lain melihat wastafel dengan genangan air kotor dan bekas sabun, padahal genangan kotor itu sejujurnya sangat mudah sekali dibuang hanya dengan menarik tombol yang telah tersedia.

Setiap kali saya keluar dari badan pesawat setelah melihat kondisi kapal pecah itu, saya melihat diri saya yang sesungguhnya. Kelas sosial akan membuat saya dikelompokkan. Kelas yang ditawarkan maskapai penerbangan akan memberi predikat kepada saya.

Saya mungkin senang dengan predikat dan pengelompokan itu. Tetapi apalah artinya sebuah predikat dan status sosial kalau perilaku saya saja seperti kapal pecah? Berarti kalau saya bisa begitu jorok dan berantakan di ruang publik, apakah yang akan dibayangkan orang lain yang terjadi di dalam rumah saya yang tertutup untuk umum?

La wong di tempat umum saja, saya bisa dengan tidak malu menunjukkan betapa joroknya saya, bayangkan di dalam rumah sendiri.

Mungkin predikat terbaik di dunia tak hanya untuk sebuah maskapai penerbangan semata, tetapi untuk penumpangnya. Dan predikat terbaik untuk penumpang tak perlu dinilai badan penilai khusus atau berdasarkan hasil angket, tetapi nuraninya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar