Lebih
Realistis di Hadapan Pasangan
Sawitri Supardi Sadarjoen ; Penulis
kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 10 Mei 2015
Jika kita hanya selalu
mendengar dan selalu mencoba memberikan bantuan kepada orang lain, dan kita
tidak pernah mengungkapkan keterbatasan kemampuan dan kecemasan-kecemasan
yang sebenarnya juga kita alami kepada pasangan kita, tanpa disadari kita
akan membuat pasangan kita sebagai seseorang yang tidak berguna.
Perlu diketahui, jika
kita memperlakukan orang lain sehingga mereka merasa memiliki kemampuan untuk
menolong, walaupun kompetensi yang mereka miliki sebetulnya belum diketahui,
tanpa kita sadari kita telah menghargai keberadaan mereka.
Dalam hal ini, Goethe
pernah menuliskan ungkapan (saat lelaki masih dinilai sebagai manusia lebih
super daripada perempuan): ”Bila kita
memperlakukan seorang lelaki seperti apa yang mampu ia tampilkan, lelaki
tersebut akan merasa lebih buruk daripada sebenarnya, sedangkan bila kita
memperlakukan lelaki tersebut sebagai sosok yang bisa berbuat lebih, kita
berarti memberi peluang baginya untuk bisa berbuat lebih dari apa yang sudah
dia tampilkan sebelumnya.”
Potensi
Sebenarnya kita tidak
pernah mengetahui dan mampu memperkirakan kapasitas total dan potensi
seutuhnya dari orang lain walaupun kita sudah bertahun hidup bersama
dengannya. Bisa juga karena pasangan kita mungkin belum pernah mendapatkan
kesempatan untuk menunjukkan kemampuan lebih mereka.
Melalui cara kita
menjalin percakapan, pembicaraan, dan perlakuan kita bisa membuat pasangan
kita menjadi merasa lebih besar dan memiliki kompetensi yang luar biasa, atau
justru membuat pasangan kita merasa ”memble” tidak memiliki kemampuan apa
pun, kecuali mengeluh.
Kondisi seperti ini
akhirnya bisa membuat diri kita ”sebel” karena pasangan hidup yang kita
harapkan bisa saling berbagi dan saling menunjang saat keluarga bermasalah
hanya bisa mengeluh, merengek, dan bahkan mencucurkan air mata tanpa penyebab
yang jelas.
Salah seorang klien
saya mengatakan, ”Saya tidak akan
memberi tahu suami saya bahwa saya sebenarnya sedang merasa depresi berat
karena suami saya sebenarnya juga sedang bermasalah.”
Bisa saja kita
berpikir bahwa kita sebaiknya mempertimbangkan kondisi suami kita yang
kehidupannya sedang dilanda banyak persoalan. Namun, bisa saja perkiraan kita
itu salah. Suami kita sebenarnya dalam keadaan baik-baik saja. Jadi, jangan
terlampau cepat meyakini bahwa keadaan depresi yang kita rasakan akan
menambah beban suami kita.
Dalam kasus seperti
ini, hal terbaik yang seyogianya kita lakukan adalah mencoba memusatkan
perhatian pada persoalan yang dirasakan bersama, dan berupaya menolong suami
kita, sambil sekaligus berbagi masalah emosi negatif (depresi) yang saat ini
kita rasakan.
Ketahuilah, tak
seorang pun benar-benar merasa tertolong bila kita menampilkan sikap yang
selalu terkesan berlawanan, yaitu ”sikap
seolah kita selalu dalam kondisi baik-baik saja”. Tanpa kita sadari
dengan sikap seperti itu sebenarnya kita merendahkan diri mereka (bahkan
pasangan kita sendiri) karena mereka (pasangan kita) merasa tidak memiliki
peluang untuk menolong diri kita.
Lebih dari yang
terungkap di atas, pada dasarnya kemampuan kita untuk menghargai diri kita
sendiri pun akan terluka bila kita tidak mampu menampilkan kompetensi kita
yang sebenarnya sekaligus kelemahan-kelemahan yang kita miliki secara terbuka
di hadapan pasangan perkawinan kita.
Pasangan kita adalah
orang yang paling bermakna dalam kehidupan kita. Seyogianya kita menampilkan
diri dengan cara dan sikap yang berimbang antara kemampuan dan kelemahan
kita.
Kebiasaan untuk tampil
realistis, apa adanya dengan pasangan hidup, justru akan membuat diri kita
tampil wajar, nyaman, serta sehat saat dihadapkan pada lingkungan pergaulan
keluarga maupun pergaulan sosial yang lebih luas. Semoga…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar