Menjaga Integritas Pilkada
Khairul Fahmi ;
Dosen
Hukum Tata Negara, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas Andalas
|
KOMPAS,
04 April 2015
Walaupun tersangka belum tentu bersalah, tetapi status tersebut
sesungguhnya menjadi tembok penghalang bagi seorang kepala daerah terpilih
untuk mengucapkan sumpah jabatan, ”…saya
bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya… menjalankan segala undang-undang
dan peraturannya dengan selurus-lurusnya,...”
Bagaimana mungkin lafal itu tetap diucapkan seseorang dalam
posisi sedang diduga melanggar undang-undang tindak pidana korupsi? Dengan
alasan itu, sangat logis ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan
penundaan pelantikan bagi yang menyandang status tersangka korupsi. KPU tidak
saja diminta menyelenggarakan pemilihan secara profesional, tetapi dituntut
menjaga integritas hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Dengan tuntutan
itu, sudah pada tempatnya KPU mengintroduksi gagasan tersebut ke dalam
rancangan peraturan KPU tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan
Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota
dan Wakil Wali Kota.
Ada pilihan
Hanya saja,ide cemerlang tersebut tidaklah sesederhana yang
dibayangkan publik. Sebab berbagai dimensi dan rezim hukum haruslah
dipertimbangkan secara komprehensif. Tanpa itu, norma yang sesungguhnya
ditujukan memihak kepada semangat pemberantasan korupsi justru akan menimbulkan
komplikasi hukum serius. Alih-alih berguna dalam merawat integritas pilkada,
justru dapat memicu terjadinya kekacauan baru dalam jagat hukum pilkada.
Jika dibandingkan regulasi sebelumnya, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 dapat dikatakan lebih maju dalam hal mengawal proses pilkada
berintegritas. Sebab, dalam UU ini termuat norma yang menegaskan sanksi berat
berupa pembatalan sebagai calon terpilih bagi calon kepala daerah yang
terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan, menjanjikan atau memberikan
uang/materi lain saat kampanye, dan melanggar larangan sumber dana kampanye.
Namun, UU ini dinilai belum cukup mampu mengawal hasil pilkada yang jujur dan
adil. Sebab, peraturan ini sama sekali belum menyinggung bagaimana perlakuan
terhadap kepala daerah terpilih berstatus tersangka korupsi, sehingga dengan
status itu seorang kepala daerah terpilih tetap saja dapat dilantik.
Tidak dimuatnya norma tersebut barangkali lebih karena pembentuk
UU menempatkan status tersangka sebagai keadaan yang tidak dapat dijadikan
alasan membatasi hak seorang untuk tetap dilantik. Dalam konteks menghormati
hak seseorang karena penerapan asas praduga tak bersalah, pilihan kebijakan
demikian tentu mendapat alasan pembenar. Sebab, bagaimana mungkin seseorang
yang belum tentu bersalah justru telah dihukum dengan menunda pelantikannya?
Lagi pula, bukankah mengatur hal itu sebagai salah satu alasan
menunda pelantikan berpotensi disalahgunakan untuk menghalangi pelantikan
seseorang? Apalagi jika penundaan tersebut dilakukan sampai adanya putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap yang tidak pasti berapa lama waktunya.
Tidakkah hal itu justru akan menimbulkan ketakpastian hukum pelaksanaan
pelantikan sebagai tahapan terakhir pilkada? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
tentu akan memperkuat jatuhnya pilihan kepada posisi tidak memasukkan klausul
penundaan pelantikan bagi kepala daerah terpilih berstatus tersangka ke dalam
UU pilkada.
Walaupun demikian, pilihan kebijakan tersebut pada dasarnya
masih dapat diubah jika pembentuk UU menyadari betapa pentingnya sinergitas
agenda pemberantasan korupsi dengan keperluan menjaga integritas pilkada.
Lagi pula, berbagai alasan yang mendasari pilihan di atas tidak lagi cukup
memadai guna menjawab perkembangan yang terjadi. Bagaimanapun, perkembangan hukum
masyarakat menghendaki agar status tersangka korupsi diberi perlakuan hukum
yang tegas. Dalam konteks itu, sudah saatnya UU pilkada mengatur secara
khusus bagaimana perlakuan hukum bagi seorang kepala daerah terpilih
tersangka menggunakan perspektif pemajuan agenda pemberantasan korupsi.
Lalu, bagaimana mungkin hal itu tidak disalahgunakan untuk
menghalangi seseorang dilantik menjadi kepala daerah? Jika kebijakan
penundaan pelantikan diterapkan, peraturan perundang-undangan harus
menentukan batas waktu penundaan secara tegas, misalnya, enam bulan.
Pembatasan ini amat diperlukan guna menghormati hak seorang kepala daerah
terpilih untuk tetap dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap.
Pada saat yang sama, pembatasan tersebut dibutuhkan untuk
menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh penegak hukum. Dengan
pembatasan, aparat penegak hukum dituntut segera mengajukan tersangka ke
pengadilan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dengan begitu tak akan ada calon
kepala daerah terpilih yang kasusnya menggantung hingga batas waktu yang tak
ditentukan. Selain itu, pembatasan waktu diperlukan guna menjawab
kekhawatiran munculnya ketakpastian hukum terkait pelaksanaan semua tahapan
pilkada yang ditetapkan KPU akibat proses hukum yang mungkin memakan waktu
lama.
Bentuk hukum
Sekalipun memiliki alasan kuat untuk menunda pelantikan kepala
daerah terpilih tersangka korupsi, pilihan bentuk hukum yang akan mengaturnya
pun suatu saat dapat dipersoalkan pihak-pihak berkepentingan. Sebab, materi
muatan seperti itu idealnya dimuat dalam UU, bukan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah. Hanya saja, UU saat ini belum mengatur
itu. Diubahnya UU dalam waktu dekat untuk mengakomodir norma tersebut hampir
mustahil, sehingga alternatifnya pun jatuh kepada peraturan KPU.
Sekalipun akan memancing perdebatan, sesungguhnya KPU memiliki
alasan kuat memasukkan norma tersebut ke dalam peraturan KPU. Setidaknya, ada
dua alas yuridis yang dapat membenarkannya. Pertama, peraturan KPU merupakan
salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang diakui sesuai UU No
12/2011. Sebagai penyelenggara pemilihan yang bertanggung jawab mewujudkan
pilkada yang jujur dan adil, adalah kewenangan KPU mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan keperluan menjaga integritas pilkada melalui peraturan
KPU.
Kedua, peraturan KPU memiliki karakter khusus, di mana ia baru
bisa ditetapkan setelah berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR. Dengan
demikian, sesungguhnya terdapat campur tangan pembentuk UU dalam proses terbentuknya
peraturan KPU. Apabila norma penundaan dimuat dalam peraturan KPU dan
disetujui pembentuk UU melalui proses konsultasi, tentunya tingkat
keabsahannya lebih dari hanya peraturan pelaksana biasa.
Bentangan argumentasi di atas sesungguhnya hendak mengukuhkan
betapa proposal penundaan pelantikan kepala daerah terpilih berstatus
tersangka korupsi tak layak ditolak. Ia harus diterima sebagai suatu hukum
baru yang akan mengisi legal gap antara kebutuhan hukum masyarakat dengan
hukum positifyang belum memadai. Lagi pula, hal itu langkah berani sekaligus
pilihan kebijakan yang amat tepat guna menjaga dan memastikan hasil pemilihan
kepala daerah yang berintegritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar