Republik
Pejabat Tanpa Mandat Rakyat BUDIMAN TANUREDJO ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS,
20 Februari
2021
Polemik soal revisi UU Pemilu dan revisi UU
Pilkada akhirnya ditutup. Minimal sementara. Menteri Sekretaris Negara
Pratikno mengakhiri polemik itu. ”Pemerintah tidak ingin merevisi dua
undang-undang tersebut,” kata Pratikno di harian Kompas, 17 Februari 2021.
”Prinsipnya jangan sedikit-sedikit undang-undang diubah,” tambahnya. Sebagai orang dekat Presiden Joko Widodo,
pernyataan Praktino tentunya representasi sikap pemerintah. Pernyataan
Pratikno jadi pamungkas. Sebelumnya, Komisi II DPR menegaskan tidak akan
melanjutkan pembahasan revisi UU Pemilu. Padahal, gagasan merevisi UU Pemilu
dan UU Pilkada berasal dari DPR. Sejumlah partai politik yang awalnya
mengusung revisi UU Pemilu dan revisi UU Pilkada balik badan ketika Istana
mengirim sinyal tidak menghendaki revisi. Pandemi dan penanganan krisis
ekonomi jadi alasan. Posisi politik pemerintahan Presiden Jokowi
sangat kuat. Mayoritas kursi parlemen dikuasai. Hanya tinggal Partai Keadilan
Sejahtera dan Partai Demokrat yang berada di luar kekuasaan. Keputusan politik tahun 2016 memang
menyepakati pelaksanaan pilkada serentak digelar November 2024. Dalam UU
Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 201 Ayat 8 ditulis, ”Pemungutan suara serentak
nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dilaksanakan pada November 2024”. Konsekuensi dari putusan politik itu bakal
terjadi kekosongan kepala daerah secara definitif dalam kurun waktu panjang.
Pada tahun 2022, tujuh gubernur—DKI Jakarta, Banten, Aceh, Gorontalo, Bangka
Belitung, Sulawesi Barat, dan Papua Barat—berakhir masa jabatannya. Mereka
diganti pejabat gubernur. Selain kekosongan gubernur, juga terjadi kekosongan
posisi 18 wali kota dan 76 bupati. Pejabat gubernur yang ditunjuk pemerintah
pusat akan memimpin provinsi sekitar dua tahun. Masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies
Baswedan berakhir 16 Oktober 2022. Dengan kesepakatan elite politik, Jakarta
akan dipimpin pejabat gubernur sampai terpilihnya gubernur baru hasil pilkada
serentak November 2024. Siapa yang bakal ditunjuk sebagai pejabat Gubernur
DKI Jakarta tergantung Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan tentunya
sepersetujuan Presiden Jokowi. Begitu juga dengan Gubernur Banten Wahidin
Halim akan berakhir 12 Mei 2022 dan akan digantikan pejabat gubernur. Pada tahun 2023 terjadi kekosongan 17
posisi gubernur. Semua provinsi di Jawa—kecuali DIY—diisi pejabat gubernur.
Di Pulau Jawa terjadi kekosongan gubernur definitif di Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Begitu juga Sumatera Utara dan Bali. Kekosongan juga
akan terjadi di 39 kota dan 115 kabupaten. Ketua KPU Provinsi DKI Jakarta Sumarno menunjukan
surat suara dan alat bantu surat suara bagi pemilih tuna netra saat
peluncuran model surat suara yang akan digunakan dalam Pemilihan Kepala
Daerah DKI Jakarta 2017 di Kantor KPU DKI Jakarta, Rabu (11/1). KPU DKI
Jakarta juga akan menggelar debat terbuka yang pertama bagi pasangan calon
gubernur dan calon wakil gubernur di Jakarta pada Jumat (13/1). Membayangkan kondisi 2022-2023, sebanyak 24
provinsi dari 34 provinsi di Indonesia akan dipimpin pejabat gubernur. Di
tingkat kabupaten/kota terjadi kekosongan kepala daerah definitif tanpa
mandat demokrasi dari rakyat. Sejumlah 77 kota dan 191 kabupaten dijabat
pejabat wali kota/bupati tanpa mandat rakyat. Pada periode 2022-2024, separuh
dari pemimpin daerah akan dijabat seorang pejabat yang ditunjuk. Situasi itu tentunya sudah dibayangkan
ketika UU Pilkada disusun. Langkah politik itu sebuah eksperimen demokrasi.
Jika semua itu bisa dilalui dengan sukses, bangsa ini bakal tercatat dalam
sejarah bisa melalui eksperimen demokrasi menggelar pemilu serentak yang
begitu rumit. Pengalaman panitia pemungutan suara di Pemilu 2019 memberikan
gambaran betapa beratnya panitia pemungutan suara pekerja. Ibarat dari subuh
ketemu subuh. Pemerintahan Presiden Jokowi berakhir 20
Oktober 2024. Secara konstitusional, masa jabatan presiden hanya dua periode
meskipun mulai terdengar godaan politik untuk mengubah konstitusi. Dibutuhkan
imajinasi membayangkan kompleksitas persoalan politik dalam negeri tahun
2022, 2023, dan 2024. Semua risiko sosial politik harus dimitigasi. Pilkada
serentak ibarat menumpuk potensi konflik secara bersamaan. Peta jalan
konstitusional perlu dibuat untuk menuju pemilu borongan 2024. Pada saat
pilkada serentak digelar November 2024, kekuasaan Presiden Jokowi sudah
berakhir. Pilkada serentak akan dilangsungkan di bawah tanggung jawab
presiden baru yang baru menjabat satu bulan sebagai presiden. Kehendak elite kadang memang berbeda dengan
suara rakyat meski parpol sejatinya mewakili rakyat. Pembenaran sosial,
politik, dan hukum selalu bisa dicari untuk memenuhi kehendak elite. Ketika
demokrasi dimaknai sebagai mendengar suara rakyat, mungkin survei Kompas
perlu dibaca. Survei Kompas 15 Februari 2021 mengatakan, 50,6 persen
menghendaki pilpres, pileg, dan pilkada digelar terpisah. Sebanyak 29,2
persen dilaksanakan secara bersamaan. Sementara survei Indikator Politik
menyebut 54,3 persen menghendaki pilpres dan pileg dilakukan terpisah. Masih adakah tempat bagi suara rakyat
dibandingkan suara partai politik? Sejarah mencatatnya. Saya teringat buku
Etika Politik dan Kekuasaan yang ditulis Haryatmoko. Dalam buku itu ditulis
nasihat Thrasymachus, ”Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang
berkuasa. Sedang bagi mereka yang lemah, hukum tidak berdaya membela mereka.” Elite politik seharusnya terikat pada code
of honor. Bangsa ini seperti kekurangan negarawan, tetapi kebanyakan
politisi. Politisi, dalam bahasa James Clarke, intelektual Amerika Serikat,
berpikir tentang pemilihan ketika negarawan memikirkan masa depan bangsanya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar