Dilema
Mobil Listrik Rinaldy Dalimi ; Guru Besar UI, Anggota Dewan Energi
Nasional 2009-2014 dan 2014-2019 |
KOMPAS,
25 Februari
2021
Perpres No 55/2019 tentang Percepatan
Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBL BB) telah
dikeluarkan Agustus 2019. Setahun setelah itu, Kementerian ESDM mengeluarkan
Permen No 13/2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk KBL
BB. Kemudian beberapa kementerian terkait
merancang kebijakan. Kemenkeu menyusun Kebijakan Pengalihan Subsidi kepada
Pembeli KBL BB. Kementerian Perindustrian menyusun peta jalan transportasi
kendaraan menjadi KBL BB, dan kebijakan terkait impor KBL BB dan Tingkat
Komponen Dalam Negeri (TKDN). Kemendagri menyusun kebijakan insentif dari
pemda. Namun, semua kebijakan itu belum cukup untuk pelaksanaan Program
Kendaraan Listrik (PKL). Keberhasilan PKL akan menghasilkan dampak
positif. Di antaranya: (1) mengurangi /menghilangkan impor BBM sehingga hemat
devisa negara; (2) mengurangi secara signifikan polusi udara, (3) memicu
munculnya industri dalam negeri kendaraan listrik dan suku cadang sehingga
ketergantungan ke negara lain berkurang. Namun,
ada dua konsekuensi logis yang harus diperhatikan. Pertama,
berkurangnya kebutuhan BBM dengan cepat. Kedua, meningkatnya kebutuhan
listrik dalam jumlah besar. Artinya akan ada dampak signifikan pada sektor
perminyakan dan perlistrikan nasional. Di sektor perminyakan, pertumbuhan
kendaraan listrik yang berdampak pada pengurangan kebutuhan BBM sebaiknya
dibatasi, tak baik terlalu cepat. Ekstremnya, jika semua sudah menggunakan
mobil listrik, BBM di SPBU tak diperlukan lagi, dan produksi kilang domestik
tak akan terserap. Jika saat ini kebutuhan BBM nasional 1,5
juta barel per hari (bph), sedangkan kapasitas produksi kilang dalam negeri 1
juta bph, berarti kita perlu impor BBM sekitar 500.000 bph. Jika produksi
minyak mentah sekitar 700.000 bph dan kapasitas kilang sekitar 1 juta bph,
impor minyak mentah 300.000 bph. Jadi total impor minyak mentah dan BBM
sekitar 800.000 bph. Kesiapan Melihat rencana program percepatan
penggunaan kendaraan listrik, hal yang harus diantisipasi pemerintah adalah
penggunaan kendaraan listrik jangan sampai mengurangi penggunaan BBM yang
lebih besar dari impor BBM 500.000 bph agar produksi kilang bisa terserap
kebutuhan domestik. Di sektor perlistrikan, penggunaan mobil
listrik akan meningkatkan penjualan energi listrik PLN. Siapkah sistem
perlistrikan melayani pertumbuhan permintaan listrik yang begitu besar?
Pengalaman beberapa negara, peningkatan penggunaan kendaraan listrik
meningkatkan penggunaan listrik di malam hari yang cukup tinggi karena
umumnya pengisian baterai dilakukan malam hari. Ini bisa menimbulkan permasalahan bagi
perusahaan listrik. Apalagi jika banyak konsumen yang menggunakan sel surya
atap (rooftop) sehingga kebutuhan listrik konsumen berkurang di siang hari.
Meningkatnya kebutuhan listrik di malam hari dan berkurangnya kebutuhan
listrik di siang hari disebut dengan fenomena duck curve (kurva berbentuk
bebek). Kondisi ini akan lebih parah jika terjadi
di Indonesia karena beban puncak kita memang sudah terjadi pada malam hari
sehingga akan merugikan perusahaan listrik secara teknis dan ekonomis. Keberhasilan PKL bukan diukur dari
banyaknya kebijakan yang sudah dikeluarkan. Yang lebih penting, terciptanya
koordinasi dan kerja sama yang ”terukur dan pasti” di antara pemangku
kepentingan, terutama antara Kementerian ESDM dan Kemenperin. Pemberian insentif, subsidi, dan
pengurangan pajak impor mobil listrik, akan berdampak ke pertumbuhan pesat
penggunaan mobil listrik, tapi Pertamina dan PLN belum siap. Pelaksanaan PKL
jangan mengakibatkan rusaknya ”aset nasional” yang sudah dimiliki. ● |
Terimakasih sharingnya, sangat bermanfaat
BalasHapusmungkin link berikut bisa menjadi tambahan referensi:
https://www.krishandsoftware.com/blog/997/pajak-mobil-listrik/