SKB
Seragam Sekolah : Seragam,
Keberagaman, dan Keberagamaan Bagus Mustakim ; Pengawas Sekolah Pendidikan Agama
Islam pada Kantor Kemenag Kab. Ngawi, sedang menempuh tugas belajar di
Program Doktor Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta |
DETIKNEWS,
18 Februari
2021
Polemik kewajiban memakai jilbab bagi
peserta didik non muslim di SMKN 2 Padang diakhiri dengan penerbitan Surat
Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama. Penekanan pada SKB ini adalah
penggunaan seragam dengan atau tanpa kekhususan keagamaan merupakan hak tiap
individu. Sekolah maupun pemerintah daerah dilarang mewajibkan ataupun
melarangnya. Namun penerbitan SKB ini memantik munculnya
polemik baru. Sebagian masyarakat memiliki perspektif yang berbeda. Terbitnya
SKB tiga menteri dinilai bertentangan dengan hakikat pendidikan nasional yang
bertujuan untuk mengembangkan peserta didik sebagai manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam perspektif ini, negara dipahami
memiliki kewajiban konstitusional untuk mengajarkan keberagamaan kepada
peserta didik. Dalam konteks ini, atribut keagamaan dalam seragam sekolah
dipahami sebagai bagian dari pendidikan agama yang diamanahkan oleh
konstitusi. Tarik ulur tentang pendidikan agama dalam sistem
pendidikan nasional seperti ini merupakan persoalan klasik yang belum
menemukan titik temu secara stabil. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sissdiknas) yang mewajibkan pengajaran pendidikan agama
di semua jenjang dan diajarkan oleh guru yang seagama sementara memang bisa
menghentikan perdebatan yang berkepanjangan itu. Namun friksi-friksi kecil
terus saja terjadi sepanjang hampir dua dasawarsa sejak UU itu disahkan. Kasus di Padang yang mewajibkan jilbab
untuk peserta didik perempuan non Islam menjadi salah satu contoh friksi
tersebut. Demikian juga dengan beberapa kasus pelarangan mengenakan jilbab
bagi peserta didik muslim. Kasus yang tidak kalah peliknya adalah penyediaan
guru agama yang seagama di sekolah berbasis agama sebagai pemenuhan terhadap
amanah UU Sisdiknas. Beragam
atau Seragam Penggunaan atribut keagamaan pada seragam
sekolah memang permasalahan yang rumit. Bagaimana tidak, keberagamaan
masyarakat Indonesia sangat beragam, baik dalam kehidupan intern umat beragama
maupun antarumat beragama. Sementara sifat seragam sekolah menolak
keberagaman sebab semuanya harus seragam. Keduanya bersifat saling
kontradiktif. Keberagamaan tidak bisa diseragamkan. Sedangkan seragam sekolah
tidak bisa menerima keberagaman. Bahkan tidak jarang ada sekolah yang
mengatur seragam sekolahnya dengan ketentuan yang sangat rinci dan detil,
mulai dari jenis kain, ukuran jahitan, sampai tempat pembeliannya. Di sisi lain, tidak sedikit sekolah yang
menjadikan seragam sebagai iming-iming kepada calon peserta didik. Banyak
guru yang rela mengumpulkan sejumlah uang untuk menyediakan seragam sekolah
gratis bagi para calon peserta didik. Tujuannya adalah agar mendapatkan
sejumlah peserta didik demi mengamankan besaran dana Bantuan Operasional sekolah
(BOS) dari Kemendikbud. Artinya, sekolah tidak lagi mempromosikan mutu dan
kualitas pendidikan kepada masyarakat, melainkan seragam gratis yang tidak
berkaitan secara langsung dengan mutu dan kualitas pembelajaran di suatu
sekolah. Bisa jadi, munculnya kewajiban ataupun
larangan penggunaan atribut keagamaan pada seragam sekolah dikarenakan adanya
mindset seragam sekolah ini. Polemik itu bukan terjadi bukan karena faktor
intoleransi dalam beragama. Namun penyebabnya adalah cara pandang seragam
yang sifat dasarnya adalah memaksa dan tidak toleran terhadap keberagaman. Jika benar demikian, maka pelarangan jilbab
yang selama ini sebenarnya terjadi bukan karena Islam atau tidak Islam, tapi
semata-mata karena jilbab menyebabkan ketidakseragaman. Demikian juga ketika
ada sekolah yang mewajibkan mengenakan jilbab, bukan karena ada islamisasi
atau adanya ideologi radikal, tapi semata-mata karena mengenakan jilbab
dipandang sebagai indikator keseragaman. Persoalan mindset seragam ini perlu juga
dicermati oleh para pemangku kebijakan pendidikan, baik Kemendagri,
Kemendikbud, maupun Kemenag. Di tengah masyarakat yang majemuk dan
multikultur seragam sekolah sebenarnya bukan menjadi bagian pokok dalam
pencapaian tujuan pendidikan. Konon, sejarah seragam sekolah diadakan untuk
menunjukkan kesetaraan sosial. Kenyataannya, saat ini sekolah-sekolah sudah
terpetakan berdasarkan kelas-kelas sosial. Ada sekolah elit, ada sekolah
pinggiran. Dengan atau tanpa seragam, kelas sosial itu
tetap ada dan tampak secara kasat mata. Karenanya seragam sekolah sebenarnya
bukan unsur yang urgen dalam pendidikan. Sebaliknya, seragam sekolah justru
membangun mindset penyeragaman dalam segala hal. Sesuatu yang tidak seragam
dinilai menyimpang dan tidak sesuai aturan. Cara pandang seperti ini tentu
bertentangan dengan sifat masyarakat Indonesia yang beragam dan multikultur. Perlu infrastruktur sosial yang lebih bisa
memfasilitasi keberagaman. Dalam hal ini seragam sekolah tidak cukup mewakili
keberagamaan kultur dan tradisi masyarakat yang sangat majemuk, sebaliknya
justru mengerdilkan keragaman dan kemajemukan. Sekolah
Tanpa Seragam? Karena itu, keberadaan seragam di sekolah
tampaknya perlu dievaluasi. Bukan berarti seragam sekolah dihapuskan secara
keseluruhan. Mungkin saja, seragam hanya dipakai pada kegiatan khusus di
hari-hari tertentu sebagai identitas sekolah. Selebihnya peseta didik bebas
menggunakan pakaian sesuai dengan tradisi dan kultur masing-masing individu,
termasuk tradisi dan kultur keagamaan. Dengan demikian setiap peserta didik
akan terbiasa dengan keragaman. Mereka akan belajar untuk saling menghargai
dan memahami perbedaan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, tidak akan ada lagi polemik
tentang pemakaian jilbab di sekolah. Peserta didik bebas mengenakan pakaian
sesuai dengan keyakinan masing-masing. Dalam hal ini peserta didik perempuan
bisa mengenakan jilbab, hijab, jilbab syar'i, kerudung, atau apapun yang
terkait dengan keyakinan untuk menutup kepala bagi seorang perempuan muslim
sesuai dengan mazhab yang berbeda-beda. Dalam hal ini, sekolah negeri harus
memfasilitasi semua ragam perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang
batas-batas aurat perempuan dan cara menutup auratnya. Sebagai sekolah
negeri, layanan pendidikan agama yang diwajibkan oleh konstitusi harus
melayani semua tradisi keberagamaan yang ada pada peserta didik. Guru agama
tidak boleh mengajarkan hanya satu macam keberagamaan saja. Guru agama harus
memfasilitasi keberagamaan yang beragam pada diri peserta didik. Dalam konteks ini, SKB 3 menteri yang sudah
diterbitkan hanya akan menjadi solusi jangka pendek saja. Jika mindset
seragam masih terbangun dalam dunia pendidikan, penerimaan terhadap keragaman
akan menjadi perilaku yang cukup mahal. Sebab di dalam alam bawah sadar guru
dan peserta didik adalah keseragaman. Mindset inilah yang berpotensi
melahirkan intoleransi terhadap perbedaan dan keragaman. Bukan semata-mata
bersumber dari keberagamaan yang intoleran ataupun radikal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar