Politik
Labelisasi Lawan Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti di Pusat Penelitian
Politik–LIPI ,lulus S-2 Ilmu Politik di The Australian National University
(ANU), minat riset politik kelas menengah, perilaku memilih, dan gerakan
politik |
KOMPAS,
24 Februari
2021
Permasalahan kritik menjadi hal mutakhir
dalam tema diskusi perkembangan demokrasi Indonesia di era pandemi ini.
Kritik kini bukan hanya dimaknai apa substansinya, melainkan juga siapa
pengkritik tersebut. Permasalahan labelisasi ini sebenarnya
merupakan efek residu dari segmentasi politik yang belum usai pasca-Pemilu
2019. Hal ini kemudian berdampak pada pola perilaku ketika melihat dan
membaca kritikan tersebut. Publik secara tidak langsung akan menautkan
afiliasi politik sebelumnya. Kondisi inilah yang menjadi garis dasar untuk
membungkam sikap antikritik. Penanganan pandemi sekarang ini seolah
memberi legitimasi kuat bagi negara untuk tampil menjadi aktor terdepan.
Publik pun harus bersiap pula dengan konsekuensi yang ditimbulkan dari
sentralisasi peran negara di masa pandemi ini. Alih-alih pandemi ini bisa menghasilkan
ruang deliberatif melalui kritik, hal yang terjadi justru kritik malah
dimaknai sebagai upaya untuk delegitimisasi negara. Hal inilah yang
menjadikan sikap antikritik ini menjadi ekspresi demokrasi stagnan yang ada
di Indonesia saat ini. Oleh karena itulah, labelisasi menjadi kacamata
penting untuk melihat kawan dan lawan negara. Potret demokrasi Indonesia yang stagnan
sebenarnya sudah terbaca dalam rilis indeks demokrasi terbaru. Adanya sikap
represif aparat dan juga perundungan di dunia maya menjadi upaya lumrah untuk
melabelisasi publik yang resisten. Adanya pandemi ini justru mengonsolidasikan
peran sentral negara di atas masyarakat. Alhasil, labelisasi kawan negara
menjadi penting untuk memperlihatkan mereka yang setuju dengan langkah negara
dan mereka yang kontra dengan negara. Kondisi ini kemudian memungkinkan bagi
negara untuk menciptakan loyalitas terikat melalui vaksinasi. Dalam studi global, vaksinasi dan
labelisasi politik merupakan dua kutub yang berbeda. Istilah pertama lebih
condong pada upaya membentuk sistem antibodi agar menjadi imun terhadap
virus, sedangkan istilah kedua lebih condong pada upaya untuk identifikasi
diri terhadap afiliasi politik. Meskipun vaksinasi ini ranah netral, negara
bisa mendapatkan keuntungan politik untuk merangkul semua negara. Maka, bagi
yang mereka menolak divaksin, secara otomatis akan dicap oposisi negara.
Istilah ini yang kemudian berpotensi menyulitkan mereka berkarier politik
setidaknya menunggu setelah 2024. Labelisasi lawan politik di masa sekarang
setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama istilah ini menjadi stigma negatif
terutama bagi mereka yang secara terang-terangan berada di kubu seberang
pemerintah. Hal ini berdampak pada semakin mengendurnya
daya kritikan mereka terhadap pemerintah manakala semua informasi kini sudah
disentralkan. Hal ini yang menjadikan daya tawar politik para oposisi ini
kurang begitu menarik di masa sekarang. Terlebih lagi para oposisi pemerintah
masih kerap memutar politik identitas yang tentunya kini momentumnya sudah
lewat. Kedua, istilah oposisi menyimbolkan bagi
mereka yang idealis daripada memainkan peran identitas. Namun, manakala para
oposisi pemerintah ini belum pernah menduduki pemerintahan atau mengikuti
proses partisipasi kebijakan publik, hal inilah yang menjadikan sasaran
kritik mereka tidak pernah menyentuh persoalan mendasar. Labelisasi kawan dan lawan ini semakin
memuncak manakala pandemi sekarang ini. Bagi mereka yang tetap memegang
posisi kawan, kritikan mereka tentu akan tidak setajam lawan. Namun, mereka
berupaya berpikir pragmatis untuk tetap mendapat akses ke negara. Bagi mereka yang masih menjadi oposisi, hal
ini jelas menyulitkan mereka untuk bisa merangkul banyak kawan untuk bisa
menjadi satu barisan. Adanya efek stigma negatif bagi mereka yang masih
berupaya lawan pemerintah dalam kondisi sekarang. Pada akhirnya, labelisasi politik ini
membawa dampak luar biasa pada daya kritikan dan daya kontrol publik terhadap
pemerintah. Manakala labelisasi ini dilahirkan dari adanya dukungan terhadap
populisme tokoh, hal ini berdampak pada penerimaan kritik yang akhirnya
bersifat bias. Terlebih lagi kita bisa melihat kalau
pandemi sekarang ini justru makin memperkuat posisi pendukung pemerintah
daripada penantang pemerintah. Maka, labelisasi politik yang kini dibebani
dengan adanya ketergantungan terhadap sumber negara justru berdampak pada
orang-orang menjadi sedemikian antikritik. Sikap antikritik yang dihasilkan dari hasil
labelisasi ini malah justru menjadikan perjalanan demokrasi Indonesia menjadi
sedemikian stagnan. Hal ini yang menjadi banyak kekhawatiran bagi banyak
kalangan, terutama akademisi, dalam melihat kondisi sekarang. Labelisasi terlebih lagi menciptakan adanya
sikap permisif dan pengultusan bagi individu yang mereka dukung. Meskipun
kita belum bisa bilang kalau labelisasi politik ini mengarah pada terbentuk
segregasi sosial dan politik, dampaknya kini bisa terbaca kalau publik makin
terbelenggu ketika menggunakan akun media sosial mereka masing-masing. Pada akhirnya, sikap kritik dan labelisasi
ini berdampak kurang begitu baik bagi perjalanan demokrasi Indonesia ke
depan. Kegelisahan akan ruang ekspresi yang terkontrol tentu membuat publik
makin apolitis dan apatis. Kedua sikap inilah yang mesti dihindari karena
sama saja kita mengesahkan bahwa pandemi berdampak ”baik” bagi demokrasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar