Inovasi
dan Investasi Bambang PS Brodjonegoro ; Menteri Riset dan Teknologi/Kepala
BRIN |
KOMPAS,
24 Februari
2021
”Economic
growth springs from better recipes, not just from more cooking”. Paul
Romer, 2018 Nobel Laureate in Economics Setiap negara punya mimpi membuat
masyarakatnya sejahtera. Itu sebabnya, mereka selalu berupaya untuk memacu
laju pertumbuhan ekonominya, sebagai salah satu cara yang mesti ditempuh agar
mimpi itu jadi kenyataan. Indonesia tak terkecuali. Atas prakarsa Presiden Joko Widodo, pada
Mei 2019 kami yang saat itu di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
(PPN)/Bappenas telah menyusun Visi Indonesia 2045. Di dalam visi tersebut
diproyeksikan bahwa setelah seratus tahun merdeka, Indonesia akan menjadi
negara maju sebagai kekuatan ekonomi nomor lima di dunia, dengan kualitas
manusia yang unggul menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Visi ini tidak hanya memberikan gambaran
mengenai Indonesia pada tahun 2045, tetapi juga peta jalan yang mesti
ditempuh untuk mewujudkannya. Dalam visi tersebut ditargetkan bahwa Indonesia
akan berhasil keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap)
pada tahun 2035, dan pada tahun 2045 sudah termasuk negara yang berpendapatan
tinggi. Adapun upaya pencapaian dilakukan lewat
empat pilar pembangunan, yaitu 1) pembangunan manusia serta penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi; 2) pembangunan ekonomi berkelanjutan; 3)
pemerataan pembangunan; dan 4) pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola
pemerintahan. Kemudian, ada tiga fase pembangunan yang
dirancang untuk menuju negara maju di 2045. Fase pertama (2016-2025),
bertujuan memperkuat struktur ekonomi, yang diharapkan terjadi pertumbuhan
ekonomi rata-rata 6 persen per tahun. Fase kedua (2026-2035), mempercepat
pertumbuhan berbasis inovasi dengan target rata-rata 7 persen per tahun. Lalu, fase ketiga (2036-2045), melakukan
modernisasi ekonomi berbasis kualitas dan berkelanjutan dengan pertumbuhan
ekonomi rata-rata 6,3 persen per tahun. Kunci dari pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan tersebut adalah 1) peningkatan investasi; 2) peningkatan
produktivitas; 3) perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM); dan 4)
perbaikan pasar tenaga kerja. Semua ini dengan asumsi bahwa ada perubahan
paradigma dari ekonomi berbasis sumber daya alam (SDA) menjadi ekonomi
berbasis inovasi. Namun, artikel ini bukan tentang
keseluruhan Visi 2045, melainkan ihwal dua dari sekian banyak hal penting
untuk mewujudkan visi tersebut, yakni investasi dan inovasi. Investasi
dorong pertumbuhan Peran investasi dalam memacu pertumbuhan
ekonomi sudah sama kita ketahui. Teori tentang kaitan investasi dan
pertumbuhan pun tidak sedikit. Itulah sebabnya, kita selalu berupaya
menggenjot nilai investasi. Selain dari pemerintah dan badan usaha milik negara
(BUMN), sumbernya juga yang terutama adalah swasta dan luar negeri. Estimasi terakhir dari Bappenas
menunjukkan, kita butuh dana Rp 5.900 triliun untuk bisa tumbuh 5 persen dan
keluar dari resesi akibat pandemi. Upaya yang selama ini dilakukan dengan mengundang
investasi dari luar negeri sangat baik untuk mendorong laju pertumbuhan
ekonomi sekaligus juga menciptakan lapangan kerja. Namun, sebagaimana
dirumuskan dalam fase pertama Visi 2045, yakni memperkuat struktur ekonomi
dengan pertumbuhan ekonomi 6 persen, untuk itu kita akan butuh dana jauh
lebih besar dari Rp 5.900 triliun. Diterbitkannya Undang-Undang (UU) Cipta
Kerja tahun 2020 sangat sejalan dengan upaya tersebut. Kita tahu bahwa salah
satu tujuan UU Cipta Kerja adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Harapannya, ini akan meningkatkan daya tarik investasi agar
sebanyak-banyaknya pelaku bisnis datang menanamkan modalnya di Indonesia. Namun, pertanyaannya adalah apakah arus
investasi dan laju pertumbuhan itu akan berkesinambungan? Pertumbuhan seperti
apa yang kita inginkan? Apakah itu akan bisa membantu mewujudkan mimpi
Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045? Untuk bisa menjawab pertanyaan
itu, ada baiknya kita belajar dari pengalaman Korea Selatan. Ekonomi
berbasis inovasi Mengapa Korea Selatan? Negeri ini memang
sering dijadikan contoh ”lompatan ekonomi”. Seperti Indonesia, Korea Selatan
juga secara resmi merdeka pada bulan Agustus 1945. Namun, mereka baru bebas
seutuhnya setelah perang saudara usai pada tahun 1953. Saat itu produk domestik bruto (PDB) per
kapita mereka kurang lebih sama dengan Indonesia, bahkan sedikit lebih
rendah, alias sedikit lebih miskin dari kita. Dan, tidak seperti Indonesia,
mereka tidak punya sumber daya alam. Akan tetapi, pada tahun 2020, PDB per
kapita mereka sudah di atas 30.000 dollar AS. Tujuh kali lipat dari PDB per
kapita kita! Bahkan mereka sudah masuk kategori negara maju menjelang
pergantian milenium. Sementara Indonesia sejak tahun 1990-an sampai saat ini
masih berkutat di kategori negara menengah bawah. Apa pasal? Jawaban singkatnya adalah SDM yang pekerja
keras. Itu sudah menjadi ciri khas orang Korea yang ingin meniru—bahkan
melebihi—orang Jepang. Tapi, tentu bukan sekadar itu. Mereka juga sangat
inovatif. Korea Selatan merupakan langganan peringkat atas dunia dalam Indeks
Inovasi yang disusun Bloomberg atau lembaga lainnya. Ekonomi mereka berbasis
pada inovasi yang ditunjang oleh riset yang intensif. Pada tahap awal pembangunan di tahun
1950-an dan 1960-an, mereka banyak mengundang/mengimpor modal dan teknologi.
Dua hal yang memang tidak mereka miliki saat itu. Sambil bekerja keras memacu
laju ekonomi, mereka juga mempelajari dan bertekad menguasai teknologi yang
dibawa oleh penanam modal. Mereka berupaya untuk meminimalkan
kesenjangan teknologi dengan negara-negara lain. Mereka menjadikan
peningkatan kualitas SDM sebagai prioritas. Hal ini menjadi semakin intensif
dan terkoordinasi baik dengan dibentuknya Kementerian Sains dan Teknologi
pada tahun 1969. Melalui kementerian ini (sekarang bernama
Kementerian Sains, Teknologi Informasi dan Komunikasi) mereka mulai
berinvestasi dalam teknologi dengan mengubah fokus dari impor teknologi
menjadi penelitian dan pengembangan (R&D) untuk teknologi yang lebih
kompleks. Kebijakan perihal sains, teknologi, dan inovasi (STI) pun mulai
dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Ekonomi Lima Tahunan. Jika dalam dua dekade pertama kementerian
tersebut (1970-an dan 1980-an) R&D cenderung dibiayai oleh pemerintah,
begitu memasuki dekade 1990-an, swasta mulai banyak terlibat. Kebijakan STI
pada periode 1990-an mulai mendorong sistem inovasi teknologi oleh sektor
swasta yang keterlibatannya terus meningkat pesat. Tidak heran jika dewasa ini sekitar 80
persen biaya R&D di Korea Selatan didanai oleh sektor swasta. Mereka pun
selalu masuk ke dalam kelompok negara dengan rasio R&D terhadap PDB yang
tertinggi di dunia. Bersaing dengan Israel di angka lebih dari 4 persen. Perlahan namun pasti mereka mulai
mengembangkan ekosistem riset, yang belakangan terbukti sangat bermanfaat dan
menjadi ladang subur untuk menghasilkan ide-ide dan kreativitas yang
berkontribusi besar kepada nilai tambah ekonomi. Walaupun pada awalnya banyak meniru dan
hanya merakit produk-produk yang menjadi fokus, seperti otomotif dan
barang-barang elektronik, mereka sejak dini sudah berusaha untuk
mengembangkan produk dengan menggunakan merek (brand name) sendiri. Seiring dengan penguasaan teknologi yang
makin canggih dan kemampuan inovasi tinggi yang sangat didukung oleh R&D
yang intensif, perlahan merek-merek Korea Selatan semakin dikenal. Bahkan
sudah menjadi sangat unggul di dunia dewasa ini. Siapakah yang tidak mengenal
Samsung, LG, KIA, atau Hyundai? Jadi, mengapa kita perlu mencontoh Korea
Selatan? Pertama, karena mereka tidak mengandalkan SDA (yang memang tidak
mereka miliki), tetapi fokus kepada pengembangan kualitas SDM. Kedua, seiring
dengan itu, mereka juga banyak berinvestasi pada R&D yang ujungnya
menghasilkan inovasi. Ketiga, terkait dengan dua poin sebelumnya,
mereka sukses memanfaatkan kelas menengah yang berlimpah. Artinya, lolos dari
perangkap pendapatan menengah. Keberhasilan dari investasi yang mereka
undang untuk masuk pada periode awal pembangunan ekonominya tidak hanya
dilihat dari besarnya modal masuk serta seberapa banyak lapangan kerja yang
tercipta, tetapi juga bagaimana menyerap teknologi yang mengiringi penanaman
modal tersebut. Institusi
pendorong ekosistem riset Jadi, menggapai pertumbuhan ekonomi yang
tinggi memang harus kita upayakan dalam menuju masyarakat sejahtera. Untuk
itu, kita harus bekerja keras mengundang investasi sebesar-besarnya karena perannya
yang krusial dalam mendorong perekonomian. Namun, kita harus berpikir lebih jauh.
Investasi saja tanpa adanya inovasi yang berbasis riset dan iptek akan
riskan, apalagi kalau investasi tersebut masih banyak yang dikaitkan dengan
SDA. Akan ada persoalan kesinambungan dan bahkan yang lebih serius: masuk ke
dalam perangkap pendapatan menengah. Ini yang ingin kita hindari. Tentu bukan pertumbuhan seperti itu yang
kita inginkan. Paul Romer, peraih Nobel Ekonomi tahun 2018, menyatakan
”pertumbuhan ekonomi itu bukan hanya soal lebih banyak yang dimasak,
melainkan juga soal resep-resep baru yang lebih baik. Resep yang memberi
nilai ekonomis lebih untuk setiap unit bahan bakunya”. Belajar dari Korea Selatan, kita seyogianya
menjadikan inovasi berbasis riset ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai arus
utama roda perekonomian sehingga investasi pun mesti dikaitkan dengan
inovasi. Artinya, investasi yang masuk seyogianya diiringi dengan
perkembangan riset yang menghasilkan inovasi. Inilah resep baru kita. Harapannya tentu agar SDM kita bisa segera
mengatasi ketertinggalannya dalam iptek sehingga, ke depan, kita bisa menjadi
bangsa yang inovatif, mandiri, dan berdaya saing global. Pengalaman Korea Selatan juga mencontohkan
bahwa seyogianya ada institusi khusus yang menangani itu semua. Institusi
yang berperan sebagai dirigen yang mengorkestrasi pengalihan dari ekonomi
berbasis SDA kepada ekonomi berbasis inovasi. Institusi yang bisa menjadi pendorong utama
terciptanya ekosistem riset. Ekosistem yang tidak hanya berisikan badan-badan
litbang pemerintah dan BUMN, tetapi juga perguruan tinggi dan badan usaha
milik swasta (BUMS). Dalam konteks ini saya ingin
menggarisbawahi peran Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi
Nasional (BRIN) sebagai satu-satunya lembaga riset dan inovasi yang
terintegrasi milik pemerintah. Ini sesuai dengan UU No 11 Tahun 2019. Namun,
peran tersebut belum sepenuhnya bisa dijalankan, apalagi untuk menjadi
seperti yang di Korea Selatan. Dukungan dari para pemangku kepentingan
terkait sangat dibutuhkan di sini, selain tentunya masalah klasik: dana riset
yang sangat terbatas. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar