Dua
Kerinduan Ganjil Reza A.A Wattimena ; Peneliti di bidang Filsafat Politik
dan Kebijaksanaan Timur, Lulus doktor filsafat dari Hochschule fur
Philosophie Munchen, Jerman |
KOMPAS,
20 Februari
2021
Ide tulisan ini saya peroleh, setelah
bercakap-cakap dengan F. Budi Hardiman, dosen saya di STF Driyarkara dulu, di
media sosial Whatsapp. Ia mengajukan tesis menarik, bahwa manusia dicengkeram
oleh dua kerinduan ganjil sekarang ini. Yang pertama adalah kerinduan untuk
dikuasai. Yang kedua adalah kerinduan untuk ditipu. Orang menyerahkan dirinya untuk dijajah
oleh orang lain. Tubuh dan pikirannya lalu tidak lagi menjadi miliknya. Orang
juga dengan sadar ditipu oleh orang lain dengan janji-janji palsu. Harta, dan
bahkan nyawanya, siap jadi persembahan. Dua tesis ini lalu jadi bahan permenungan
saya. Saya mulai melihat pola serupa di berbagai keadaan. Gejala dunia
mengarah pada dua tesis ini. Salah satu yang paling jelas adalah memikatnya
tawaran untuk menjadi bagian dari kelompok radikal agamis yang menyebarkan
kerusakan, seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) di Timur Tengah. Agama
dan Kekerasan Di 2016 lalu, ketika ISIS sedang berada di
puncaknya, ada 30.000 orang dari 85 negara yang terlibat di dalamnya.
(Benmelech, 2016) Mayoritas berasal dari Timur Tengah. Namun, Eropa Barat
juga banyak menyumbangkan anggota disana. Belakangan, orang-orang dari
Indonesia, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan New Zealand juga bergabung.
ISIS pun menjadi sebuah fenomena global. Dengan 6000 orang, Tunisia menjadi
penyumbang utama. Lalu diikuti oleh Arab Saudi (2500 orang), Turki (2100) dan
Yordania (2000). Dari Eropa Barat, Prancis menjadi penyumbang terbanyak
dengan 1700 orang. Ini diikuti oleh Jerman (760), Inggris (760) dan Belgia
(470). Dari Asia, Indonesia menyumbang 699 orang (Kompas.com, 2020). Benmelech, peneliti radikalisme dari Kellog
School of Management, sampai pada kesimpulan yang mengejutkan. Unsur
kemiskinan berperan kecil dalam radikalisme ISIS. Yang lebih kuat adalah
unsur isolasi. Orang-orang menjadi radikal, karena mereka dikucilkan dari
lingkungannya. Mereka dilihat dengan penuh kecurigaan, sehingga tidak
mendapatkan penghargaan selayaknya sebagai manusia. Gejala „kerinduan untuk dikuasai“ dan
„kerinduan untuk ditipu“ tampak jelas di sini. Orang mengikuti sebuah ajaran,
tanpa nalar sehat dan hati nurani. Orang menyerahkan dirinya pada penipuan,
dan merasa diselamatkan olehnya. Mereka menjadi gelap mata dengan sukarela,
dan jahat pada perbedaan. Di dalam sejarah, agama banyak menjalankan
peran ini. Atas nama Tuhan dan surga, orang menyerahkan nalar sehat dan
nuraninya untuk dikuasai dan ditipu. Kebencian dan prasangka terhadap
perbedaan lalu tercipta. Perang dan konflik berdarah pun tak terhindarkan. Sebagaimana dicatat oleh Encyclopedia of
Wars, dari 1763 perang yang tercatat di dalam sejarah, 123 diantaranya
membawa agama sebagai alasan utama. Ini berarti sekitar 7 %. Dari 100 konflik
yang menciptakan banyak korban jiwa, 11 diantaranya menggunakan alasan-alasan
religius. Data ini hanya memberikan gambaran umum, dan tentu harus dibaca
dengan kritis. Artis
dan Pendangkalan Hal kedua yang tampak adalah pemujaan artis
di berbagai belahan dunia. Artis dianggap setengah dewa. Mereka dianggap
manusia sempurna yang patut menjadi teladan. Padahal, gaya hidup mereka
cenderung mewah, suka pamer dan penuh dengan kenikmatan-kenikmatan material
yang dangkal. Tidak ada nalar sehat yang diajarkan. Tidak
ada sikap kritis yang dikembangkan. Hiburan semata menjadi tujuan. Tak heran,
di abad penuh dengan informasi, dunia justru semakin gampang lupa, dangkal
serta merusak. Misalnya Christiano Ronaldo, pemain sepak
bola ternama di dunia sekarang ini. Sampai 25 Januari 2021, pengikutnya di
media sosial Instagram sudah mencapai 256 juta orang. Dengan pengikut
sebanyak itu, Ronaldo bisa memperoleh banyak pemasukan dari iklan. Sekali
unggahan di media sosialnya tersebut, Ronaldo bisa mendapatkan 17,6 Milliar
Rupiah. (Kompas.com, 2020) Kyline Jenner, seorang artis asal Amerika
Serikat, juga punya pola serupa. Saat ini, di Instagram, ia memiliki 211 juta
pengikut. Untuk itu, setiap unggahan iklan, ia mendapatkan lebih dari 1 Juta
Dollar AS, atau atau sekitar 14 Milliar Rupiah. Media sosial ini juga
digunakan untuk menjual barang-barang produksinya sendiri. Ini jelas peluang pemasaran yang
menggiurkan. Semakin banyak barang dijual, semakin kaya semua orang. Orang
digoda terus menerus untuk membeli barang yang sebenarnya tak ia butuhkan
atau dikendalikan oleh kebutuhan-kebutuhan palsu (falsche Bedürfnisse). Polanya serupa. Orang rindu untuk dirayu
dan ditipu untuk membeli tanpa henti. Nalar sehat dan nalar kritis redup. Tak
heran, kapitalisme turbo semacam ini menjadi ancaman terbesar bagi demokrasi
di abad 21. Apa
akibatnya? Ada empat akibat yang kiranya muncul.
Pertama, kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin akan semakin
besar. Dunia terbelah antara orang kaya dan orang miskin. Sebenarnya, dunia
memang selalu mengandung kesenjangan. Namun, ketika kesenjangan tersebut
sudah begitu besar, ditambah dengan kesombongan gaya hidup yang ditampilkan
dari kumpulan orang kaya, kebencian tak lagi bisa terhindarkan. (Sandel,
2020) Dua, kebencian inilah yang memberi isi bagi
populisme politik di abad 21. Populisme adalah politik yang berpura-pura
membela kepentingan kaum tertentu yang dirugikan oleh sistem. Yang menjadi
sasaran kebencian adalah kelompok elit. Agama dan identitas budaya lalu
dimainkan untuk memanaskan keadaan. Tiga, orang yang rindu untuk dijajah dan
ditipu gampang dipermainkan. Mereka gampang diadu domba satu sama lain.
Dengan fitnah, yang kerap kali berbau agama, kebencian dan konflik pun bisa
dikobarkan. Indonesia sudah lama menjadi korban adu domba ini, terutama sejak
masa Kolonial Belanda dahulu. Di abad 21 ini, pola yang sama, sayangnya,
belum juga berubah. Empat, dari semua ini, perdamaian yang
berkelanjutan jelas sulit diciptakan. Orang-orang yang terus rindu untuk
dikuasai dan ditipu akan terus menciptakan ketegangan sosial. Masyarakat
terus akan terbelah oleh kubu-kubu yang saling membenci. Perdamaian tak akan
mampu menjadi kenyataan. Mutu pendidikan yang rendah jelas memainkan
peranan. Prasangka dan kebencian terhadap suatu kelompok lahir dari sempitnya
cara berpikir. Kerinduan untuk dijajah dan ditipu, dibarengi dengan
kedangkalan refleksi, pun serupa. Ketika berbicara pendidikan, orang tak
boleh hanya berbicara soal seragam agamis ataupun gedung belaka, tetapi isi
dan filsafat pendidikan yang diajarkan. Di berbagai negara, terutama
Indonesia, ini menjadi masalah yang mendesak. Miskinnya keteladanan juga berperan besar.
Ketika masyarakat mendewakan artis dan kelompok agamis yang sempit, maka
pesan yang tersampaikan adalah: jadilah radikal dan dangkal, maka kamu akan
berhasil dalam hidup. Ketika para pemimpin negara diisi para koruptor dan
penjilat, maka pesan yang diajarkan adalah: jadilah maling dan penjilat
atasan, maka kamu juga akan dianggap berhasil dalam hidup. Budaya beracun
(toxic culture) inilah yang kini tersebar di dunia. ‘Kerinduan untuk dikuasai’ dan ‘Kerinduan
untuk ditipu‘ jelas kini menjadi gejala global. Namun, ia bukanlah sesuatu
yang mutlak. Ia bisa dicegah dengan kesadaran sederhana, bahwa kebebasan jauh
lebih berharga daripada janji-janji surga yang palsu. Dan kesadaran, bahwa
nalar sehat serta sikap kritis jauh lebih berharga daripada barang-barang
yang segera menciptakan kekosongan, setelah masa pakainya habis. Dua kesadaran sederhana yang tidak hanya
bisa menyelamatkan hidup kita, tetapi juga umat manusia, dari kehancuran. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar