Aspek
Etis Kebijakan Ekonomi di Masa Pandemi Junanto Herdiawan ; Doktor Filsafat Lulusan STF
Driyarkara |
KOMPAS,
23 Februari
2021
Di tengah kondisi Covid-19 saat ini, kerap
muncul pertanyaan dilematis, ”Manakah yang harus didahulukan: masalah
kesehatan atau masalah ekonomi?” Pemerintah seolah harus memilih antara
menyelesaikan masalah kesehatan dan mengatasi masalah ekonomi. Dilema ini
semakin dipertajam dengan munculnya polemik di kalangan masyarakat soal
efektivitas program pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga
pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro. Membatasi kegiatan masyarakat dianggap
dapat mengganggu proses pemulihan ekonomi, sementara melonggarkan kegiatan
ekonomi dapat memicu risiko lonjakan pasien. Ekonomi Indonesia tahun 2020 terkontraksi
2,07 persen. Meskipun menunjukkan perbaikan dari triwulan ke triwulan,
peningkatan perbaikan tidak secepat yang dikira. Sementara itu, jumlah pasien
positif Covid-19 di Indonesia secara keseluruhan telah menembus angka 1 juta
orang dengan angka kematian lebih dari 30.000 orang. Kita bersyukur karena tingkat kesembuhan
pasien sudah semakin baik dari hari ke hari. Tentunya kita juga berharap
dengan kehadiran vaksin yang membawa optimisme dalam pemulihan ekonomi. Bank Indonesia dalam ”Laporan Perekonomian
2020” menyebutkan, kesuksesan program vaksinasi dan disiplin penerapan
protokol Covid-19 merupakan prasyarat bagi proses pemulihan ekonomi nasional. Aspek
etis ekonomi Pada akhir Januari 2021, Presiden Joko
Widodo telah membuat pernyataan tegas bahwa kesehatan dan ekonomi itu sama
penting dan harus diselesaikan secara bersamaan. Ungkapan Presiden ini tepat
sekali, terutama apabila kita menempatkan bangunan ilmu ekonomi dalam
kerangka kehidupan masyarakat sehari-hari. Hampir menjadi keyakinan banyak
orang, bahkan di kalangan ekonom sendiri, bahwa urusan ekonomi itu berada
dalam sebuah kompartemen terpisah. Akhirnya, ketika terjadi masalah seperti
krisis kesehatan atau lingkungan, muncul anggapan bahwa hal itu berada di
luar bangunan ekonomi. Padahal, aspek kesehatan merupakan bagian tak
terpisahkan dari aspek ekonomi, sosial, dan kehidupan seseorang. Dalam bukunya, The Great Transformation
(1944), Karl Polanyi mengangkat gagasan tentang ketertanaman ekonomi
(embedded economy) yang tidak memisahkan ekonomi dari kehidupan sosial dan
politik. Masih menurut Polanyi, ekonomi itu tertanam secara organik dalam
masyarakat dan alam. Upaya memisahkan ekonomi sebagai sistem
yang terpisah dengan hukumnya sendiri telah memutuskan kaitan organik dan
menyubordinatkan masyarakat dan alam ke dalam ekonomi. Tidak pernah dalam sejarah suatu sistem
sosial terpisah atau menjadi subordinat ekonomi. Ekonomi manusia selalu
tertanam dalam masyarakat dan alam. Ketertanaman berarti bahwa ekonomi tak
pernah otonom, malahan cenderung sebagai subordinat dari politik dan masalah
sosial lain. David Harvey, ekonom dan ilmuwan geografi,
berpandangan seperti Polanyi. Menurut dia, pembangunan yang digerakkan oleh
kinerja kapitalisme telah membawa aksi pelakunya untuk berlari cepat mengejar
keuntungan dan pertumbuhan yang berlipat ganda. Berkembangnya teknologi internet dan
transportasi kian mempercepat gerak arus modal ke berbagai penjuru dunia.
Akibatnya, dimensi etis kerap terpinggirkan dalam derap langkah arus modal,
bahkan dipisahkan keluar dari bangunan ekonomi. Hal ini menjadi semakin problematik di
tengah kondisi pandemi saat ini. Dalam kondisi yang berubah dengan cepat,
kemampuan masyarakat dalam melakukan penyesuaian atas berbagai perubahan
tersebut tidak setara akibat struktur sosial yang berbeda. Contoh sederhana yang dapat kita lihat,
misalnya, aturan ”menjaga jarak” untuk mengurangi risiko penularan Covid-19.
Aturan itu baik dan tak menjadi masalah untuk sebagian kelompok masyarakat,
tetapi menjadi sulit diterapkan pada masyarakat yang tinggal di wilayah padat
dan area miskin. Demikian pula kebijakan pendidikan melalui
daring yang harus ditempuh dalam kondisi pandemi. Namun, untuk sebagian
masyarakat, terutama di kalangan miskin, ketidaktersediaan perangkat
internet, fasilitas komputer, hingga ketiadaan telepon genggam menjadi sebuah
masalah besar. Kebijakan
ekonomi di masa pandemi Masalah kesehatan dan ekonomi harus saling
tertanam dalam satu jalinan tatanan masyarakat. Dengan demikian, pertimbangan
etis menjadi penting dalam memilih kebijakan di masa pandemi. Kebijakan ekonomi perlu menyeimbangkan
kepentingan dari kelompok masyarakat yang kaya, menengah, pengusaha, pekerja,
hingga masyarakat miskin. Upaya melindungi masyarakat yang berada di kelompok
kurang beruntung perlu menjadi prioritas karena dampak pandemi menyangkut
pada urusan hidup mati mereka. Kita tentu perlu mengapresiasi langkah
pemerintah untuk menyelamatkan kelompok masyarakat miskin yang terdampak
pandemi melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional. Di tahun 2021, pemerintah menganggarkan
biaya untuk pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 627,9 triliun yang
digunakan untuk memberikan perlindungan sosial, kesehatan, dukungan kepada
UMKM dan koperasi, insentif usaha dan pajak, serta beberapa program
prioritas. Peran pemerintah dengan daya regulasinya
adalah pilihan etis yang dibutuhkan di masa pandemi ini untuk melindungi
masyarakat yang tak beruntung. Dalam kondisi seperti ini, kita tak bisa
menyerahkan nasib pada kekuatan pasar semata. Sungai sejarah ekonomi, sebagaimana dapat
dilihat pada Capital and Ideology karya Thomas Piketty, selalu berayun di
antara dua pendulum, kebebasan berusaha dan daya regulasi. Ketika ekonomi didominasi oleh kebebasan
berusaha yang berlebihan atau bahkan sebaliknya, didominasi oleh daya
regulasi yang mencengkeram, tatanan masyarakat akan diwarnai oleh
dehumanisasi. Neoliberalisme yang memberikan ruang
kebebasan berusaha berlebihan sama berbahayanya dengan otoritarianisme,
fasisme, komunisme, dan ultrakanan yang memberikan ruang cengkeraman regulasi
berlebihan. Menyikapi hal ini, pengambil kebijakan
perlu mencari titik optimum untuk menyeimbangkan elemen ”kebebasan berusaha”
dan ”daya regulasi”. Langkah pemerintah untuk turun tangan dalam menempuh
kebijakan di masa pandemi ini sudah tepat. Namun, pemerintah juga jangan
sampai terjebak pada dorongan untuk menjadikan daya regulasi semakin
mencengkeram atau mengatur kehidupan secara berlebihan. Tingkat kebebasan berusaha juga harus
dijaga dengan tetap memberi ruang pada beberapa sektor yang dapat menjadi
motor penggerak perekonomian. Tentunya, dalam suasana seperti ini, dunia
usaha juga membutuhkan pemerintah untuk turun tangan mengurangi ketidakpastian. Pada akhirnya, keberadaan negara dengan
kualitas regulator yang memiliki integritas, profesionalisme, kepemimpinan,
yang mampu menanamkan etika dalam kebijakan publik, menjadi hal penting untuk
melindungi masyarakat. Regulator juga perlu didukung oleh
komunitas, kelompok masyarakat, yang memiliki kepedulian untuk menjadikan
etika tertanam kembali dalam ekonomi sehingga dapat menjaga titik optimum
kebijakan dalam menangani krisis saat ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar