Jalaluddin
Rakhmat dan Islam Mazhab Cinta Ahmad Najib Burhani ; Wakil Ketua Majelis Pustaka dan
Informasi PP Muhammadiyah dan Profesor Riset di LIPI |
KOMPAS,
19 Februari
2021
Islam Cinta atau Mazhab Cinta merupakan
tagline dan slogan yang sering dipakai Haidar Bagir, tokoh Islam dan pendiri
penerbit Mizan, dalam Twitter dan dakwah keislamannya belakangan ini. Islam Mazhab Cinta juga telah menjadi judul
dari buku karya Mukti Ali, Islam Mazhab Cinta: Cara Sufi Memandang Dunia
(2015) dan buku Gugun el-Guyanie, Islam Mazhab Cinta: Dari Dogma Menuju
Paradigma (2008). Islam jenis ini pula yang merupakan model
keislaman yang selalu dipromosikan Jalaluddin Rakhmat atau Kang Jalal,
aktivis dan pemikir Muslim yang meninggal di Bandung, Jawa Barat, Senin
(15/2/2021). Makna dari Islam Cinta atau Mazhab Cinta
adalah sebuah corak keislaman yang bersahabat dengan seluruh umat manusia,
yang mencari titik temu bukan hanya dengan berbagai kelompok dalam Islam yang
kadang berseberangan, melainkan juga antaragama. Islam Cinta adalah Islam
yang menekankan pada dimensi-dimensi rohaniah, spiritualitas, dan kasih
sayang (rahman dan rahim). Dari mana ajaran ini digali? Dari
mutiara-mutiara ajaran tasawuf atau spiritualitas Islam, seperti dari Ibn
’Arabi, Suhrawardi, Rabi’a al-’Adawiyya, Mansur al-Hallaj, Mulla Sadra, dan
Al-Ghazali. Jika fikih (hukum Islam) lebih banyak berbicara tentang perbedaan
(khilafiyah), ketidaksepakatan, dan pertentangan, maka tasawuf lebih
menekankan pada hubb (cinta), ’isyq (rindu), ittihad (persatuan), hulul
(penyatuan), dan sejenisnya. Kang Jalal berdakwah tentang Islam Mazhab
Cinta ini sejak 1980-an, baik melalui buku-buku keislaman yang ditulisnya
maupun melalui aktivitas dakwah di masjid dan forum-forum lain. Di antara
buku yang ditulisnya adalah Islam Aktual (1994), Islam Alternatif (1995),
Kuliah-kuliah Tasawuf (2000), Dahulukan Akhlak di atas Fiqh (2003), Islam dan
Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan (2006), dan Meraih Cinta Ilahi
(2008). Latar belakang dari penekanan pada tasawuf
dan cinta ini tentu saja berangkat dari perselisihan antarumat Islam dan
kebencian sebagian dari mereka terhadap perbedaan. Ini terutama terkait
perbedaan antarmazhab dan golongan, seperti antara Sunni dan Syiah atau Sunni
dan Ahmadiyah. Bahkan, dulu, perselisihan itu sangat tajam, terutama di akar
rumput, termasuk antara ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dalam
hal-hal ritual yang sebetulnya tak terlalu prinsipiil (furu’iyah). Kang Jalal, yang berangkat dari tradisi NU
dan kemudian pernah menjadi aktivis Muhammadiyah, melihat adanya berbagai
kesalahpahaman dari sebagian umat Islam terhadap Syiah. Padahal, mereka ini
adalah saudara seagama yang dalam sejarah bisa hidup berdampingan selama
ratusan tahun, seperti yang terjadi di Mesir dan Irak. Namun, perbedaan kedua
kelompok ini kadang dibesar-besarkan untuk kepentingan politik tertentu. Dalam karya dan dakwahnya, Kang Jalal
mencoba mengoreksi kesalahpahaman tentang Syiah dan menjembatani kedua
kelompok itu melalui jalur tasawuf, Islam Mazhab Cinta. Ia di antaranya
mendirikan Pusat Kajian Tasawuf Tazkiya Sejati bersama keluarga Wakil
Presiden Sudharmono. Apa yang dilakukan Kang Jalal dengan Islam
Cinta-nya itu menjadi semakin relevan saat ini ketika kaum takfiri (kelompok
yang mudah mengafirkan orang lain) dan kelompok mutathorrifin (radikal) yang
dengan entengnya menuduh orang lain radikal, merajalela di masyarakat,
termasuk di kampus-kampus ternama. Berkembangnya kelompok-kelompok keras
seperti itu membuat dialog menjadi mampat dan alternatif-alternatif pemikiran
baru menjadi tersumbat. Ketika seseorang yang memiliki pemikiran berbeda
lantas dituduh sesat atau kafir, maka akan terjadi kemandekan ijtihad dan
terhambatnya pemikiran kritis. Seperti yang dilakukan Kang Jalal, upaya
menjembatani perbedaan antara Sunni dan Syiah serta mengikis kelompok takfiri
ini juga telah menjadi keputusan Muktamar Muhammadiyah di Makassar tahun
2015. Dalam rekomendasi terkait isu-isu keumatan
nomor dua, ”Membangun Dialog Sunni- Syiah” disebutkan bahwa ”Akar konflik
Sunni-Syiah sangat kompleks, antara lain karena masalah kesenjangan ekonomi,
imbas konflik politik di Irak, Suriah, dan Yaman, serta persaingan pengaruh
politik-keagamaan antara Iran dan Arab Saudi di negara-negara Muslim,
termasuk di Indonesia. Pertentangan semakin tajam ketika ditarik
ke ranah teologis dan sejarah pertumpahan darah di antara pengikut
Sunni-Syiah di masa silam (Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-47,
halaman 113). Pentingnya
dialog Untuk mengatasi perbedaan antara Sunni dan
Syiah ini, lantas Muhammadiyah menekankan peran dialog. Dialog ini penting demi ”meningkatkan
saling memahami persamaan dan perbedaan, komitmen untuk persamaan dan
menghormati perbedaan, serta membangun kesadaran historis bahwa selain
konflik, kaum Sunni dan Syiah memiliki sejarah kohabitasi dan kerja sama yang
konstruktif dalam membangun peradaban Islam” (halaman 113-114). Selain mempromosikan Islam Cinta dan Syiah
di Indonesia, Kang Jalal juga berperan ”meng-Indonesia-kan” atau
”me-Nusantara-kan” Syiah itu sendiri. Karena penekanannya pada tasawuf dan
persatuan, Kang Jalal berusaha menghindari konflik dengan umat Islam lain. Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi)
yang didirikan tahun 2000 sebagai wadah bagi komunitas Syiah Indonesia atau
komunitas pencinta ahlulbait (keluarga Nabi Muhammad), misalnya, sengaja tak
memiliki masjid khusus Syiah dan mereka melakukan shalat berjemaah dengan
umat Islam lain. Mereka juga diminta tak beribadah dengan cara yang berbeda
dari yang dilakukan masyarakat pada umumnya. Sikap ini kadang dilihat oleh mereka yang
membenci sebagai taqiyyah (kepura-puraan). Namun, bagi Kang Jalal, seperti
dalam laporan BBC (20/8/2013), taqiyyah seperti ini penting untuk menghindari
konflik dan mencoba beradaptasi dengan masyarakat. Sama seperti kelompok Islam lain, ataupun
agama lain, memang ada kelompok keras dan eksklusif dalam Syiah. Mereka yang
suka serudak-seruduk ini, dalam bahasa Kang Jalal, adalah kelompok greenhorn,
belum berpengalaman atau masih hijau. Jika tanduknya sudah grey (abu-abu),
mereka akan bisa menahan diri. Kelompok greenhorn ini yang kadang mencipta
citra buruk bagi Syiah secara umum atau menimbulkan Syiah-fobia. Meminjam
bahasa Olivier Roy, kelompok-kelompok radikal itu telah melakukan apa yang
disebutnya ”islamisation de la radicalisation” atau Islamization of
radicalism. Dalam konteks tulisan ini, mereka melakukan
Syiah-isasi radikalisme atau menjadikan ajaran Syiah sebagai dalih dari
radikalisme. Fenomena seperti ini merupakan pekerjaan kita bersama, bukan
hanya Kang Jalal. Kang Jalal telah melaksanakan perannya dan
tugasnya sudah purna. Kita yang perlu melanjutkan. Selamat kembali ke haribaan Allah, Kang
Jalal! Engkau pasti sangat berbahagia sekarang ini karena telah berjumpa
dengan Kanjeng Nabi Muhammad dan keluarganya yang sangat engkau cintai. Adalah
tugas kami untuk melanjutkan misimu dalam mendakwahkan ”Islam Cinta”, ”Islam
Alternatif”, Islam yang menghargai perbedaan dan mengasihi umat manusia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar