Membaca
Femisida Rainy MP Hutabarat ; Komisioner Komnas Perempuan |
KOMPAS,
23 Februari
2021
Diperkosa, dibunuh, ditelanjangi; demikian
beberapa kasus femisida yang diberitakan beberapa situs berita daring. Setiap
tahun, kasus femisida meningkat seiring dengan kasus kekerasan seksual
terhadap perempuan. Kasus femisida nyaris tak pernah dilaporkan
kepada organisasi penyedia layanan atau rumah aman sebab keluarga korban
menganggap femisida sebagai kasus kriminalitas umum seperti halnya
perampokan, penipuan, atau pembobolan ATM. Setelah perempuan korban tewas, kasusnya
dipandang sebagai urusan aparat penegak hukum. Media massa umumnya melaporkan
kasus femisida sebagai tindak kriminalitas biasa. Karena tak dilaporkan
kepada organisasi penyedia layanan, pemantauan terhadap kasus femisida
dilakukan berbasis pemberitaan media massa. Sidang Umum Dewan HAM PBB mendefinisikan
femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena ia perempuan. Femisida
merupakan pembunuhan yang didorong hasrat dominasi, penaklukan, agresi, dan
penikmatan sebab perempuan dipandang sebagai properti. Karena itu, femisida merupakan pembunuhan
berbasis jender, bukan pembunuhan bersifat umum. Femisida juga dipakai
sebagai kode perang dalam konteks konflik sosial dan perang. Tujuannya
menyatakan diri sebagai pihak yang lebih berkuasa dengan menjadikan perempuan
sebagai sasaran antara. Bagaimanakah membaca femisida dengan
kekerasan berlapis: tak hanya diperkosa, tetapi juga dibunuh dan
ditelanjangi? Saya tak akan langsung menjawab, melainkan menjelaskan lebih
dulu konteks luas femisida, yakni
kultur patriarki dan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang
menyertainya. Catatan Tahunan Komisi Nasional
Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat peningkatan ajek
kekerasan seksual terhadap perempuan (lihat www.komnas.perempuan). Kekerasan seksual terhadap perempuan tak
hanya bertambah jumlahnya, tetapi juga bentuknya sehingga hukum pun
tertinggal, pasal-pasalnya tak lagi mampu
mengenali ragamnya. Seorang perempuan korban kekerasan seksual tak
hanya mengalami satu jenis kekerasan, tetapi berlapis. Selain diperkosa,
misalnya, juga dilecehkan secara verbal atau diancam. Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), seperti kekerasan terhadap istri, ada anggapan bahwa perceraian akan
memutus rantai kekerasan. Setelah bercerai, KDRT lenyap. Namun, faktanya,
terjadi KDRT berlanjut. Catatan Tahunan 2020 mencatat, 43 kasus kekerasan terhadap mantan istri yang
diadukan langsung kepada Komnas Perempuan, Januari-Oktober 2020, tercatat 31
kasus. Kekerasan terhadap perempuan, apa pun
bentuknya, harus dibaca sebagai bagian dari wujud ketimpangan relasi
kekuasaan dalam narasi kultural patriaki. Kekerasan merupakan bentuk penaklukan, kontrol, dan
agresi dari kekuasaan. Itu sebabnya, perceraian tak menjamin
putusnya KDRT sebab mantan suami merasa dalam posisi lebih berkuasa sekaligus
memiliki dibandingkan dengan perempuan korban. Itu juga sebabnya, penambahan pidana kebiri
kimia dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik,
Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak
tak akan menjerakan pelaku kekerasan seksual sebab kekerasan seksual tak
melulu didorong libido, tetapi penaklukan, agresi, atau kontrol. Kekerasan
seksual juga bisa dilakukan nirpenis, misalnya, dengan alat, buah-buahan,
atau bagian tubuh lainnya. Dalam konteks femisida, kekejian
berlapis—memerkosa, membunuh, menelanjangi—perlu dibaca sebagai puncak penaklukan atau agresi laki-laki terhadap
perempuan. Sebagai kode kultural patriarki,
penelanjangan menunjukkan penghancuran martabat perempuan korban sebab
pakaian dipandang sebagai bagian dari kehormatan, sebagaimana pemerkosaan
menghancurkan martabat korban dan membunuh melenyapkan nyawa korban. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar