Bencana
dan Politik Lingkungan Hidup PC Siswantoko ; Pemerhati Masalah Sosial Politik,
tinggal di Jakarta |
KOMPAS,
25 Februari
2021
Tergolong sebagai bangsa rawan bencana,
Indonesia hampir setiap tahun mengalami bencana alam seperti banjir, tanah
longsor, gunung meletus, tsunami, dan gempa bumi. Pada awal tahun ini saja
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mencatat bahwa sejak
tanggal 1-23 Januari 2021 sudah terjadi 197 bencana alam, dan kemungkinan
jumlah ini akan terus bertambah. Pada tahun lalu, sepanjang bulan Januari
tercatat ada 207 peristiwa bencana alam yang meliputi angin puting beliung,
banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan gelombang pasang. Dari data itu
maka, setiap hari rata-rata terjadi 6-7 peristiwa bencana. Indonesia yang berada dalam lingkaran
cincin api pasifik, membuat kita semua selalu berada dalam ancaman gempa
bumi, gunung meletus, tsunami dan bencana alam lainnya. Oleh karena itu,
upaya penanggulangan bencana, pelestarian alam, dan pemulihan lingkungan
hidup yang telah rusak harusnya menjadi prioritas pemerintah. Masih
ada pengabaian Bencana alam memang bisa disebabkan oleh
alam sendiri tetapi sebagian besar bencana disebabkan oleh ulah manusia dan
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Mereka sering menempatkan dirinya
sebagai subyek dan memandang alam sebagai obyek sehingga dengan keserakahan
dan kerakusannya menguras, mencemari, dan merusak lingkungan hidup. Banjir bandang yang melanda Kalimantan
Selatan baru-baru ini menurut Guru Besar Manajemen Lingkungan Universitas
Diponegoro, Sudharto P Hadi, salah satunya disebabkan oleh curah hujan yang
tinggi, tetapi juga oleh penurunan daya serap permukaan tanah yang disebabkan
oleh alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Meskipun curah hujan tinggi, banjir tidak
akan separah sekarang ini jika tutupan hutan di Kalsel itu masih luas (
Kompas,25/1). Kebijakan alih fungsi hutan yang membabi buta merupakan salah
satu contoh keterlibatan pemerintah dalam kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam
telah lama menjadi masalah besar di negeri ini. Namun hal tersebut sering
kurang mendapat perhatian dalam dialektika politik nasional maupun daerah. Dalam kondisi aman, tanpa bencana, para
elite politik lebih sibuk menggarap agenda-agenda politik jangka pendek dalam
rangka memenuhi janji-janji politiknya daripada memikirkan dan membuat
kebijakan yang mampu meminimalisir terjadinya bencana alam. Pengabaian ini membuat kerusakan lingkungan
hidup semakin parah dan melebar ke sektor yang lain seperti pertambangan,
perkebunan, perubahan iklim, pencemaran tanah, air, dan udara. Kondisi semacam ini jelas membuat resiko
terjadinya bencana alam sangat besar dan ketika bencana itu datang rakyat
kecil yang harus menanggung penderitaan karena kehilangan harta, bahkan
nyawa. Disamping masih kuatnya sikap abai,
pandangan bahwa alam menyediakan berbagai sumber daya alam yang tidak
terbatas dan memiliki kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri dari aneka
ragam kerusakan, membuat manusia semakin semena-mena terhadap alam. Pandangan-pandangan yang kurang tepat ini
masih banyak dijumpai ditengah masyarakat sehingga mereka juga banyak yang
kurang peduli terhadap kerusakan alam yang ada. Komitmen
politik Komitmen dan kehendak politik pemerintah
untuk melindungi dan melestarikan lingkungan hidup dalam rangka menjamin
kelangsungan hidup masyarakat dan mengurangi terjadinya bencana, sangalah
penting. Isu lingkungan hidup tidak hanya menjadi
jargon politik dan tema kampanye tetapi harus digarap secara serius lewat
kebijakan-kebijakan yang nyata. Pemerintah perlu menata ulang politik
lingkungan hidupnya. Kebijakan pemanfaatan sumber daya alam harus dipastikan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan manusia dan lingkungan hidup. Pemanfaatan sumber daya alam yang cenderung
eksploitatif dan destruktif harus ditinjau ulang, bahkan jika perlu
dihentikan. Pihak-pihak yang telah terbukti melanggar ketentuan usaha yang
ramah lingkungan dan turut menimbulkan bencana harus ditindak secara tegas
dan mendapatkan sanksi hukum yang adil. Pengajuan ijin usaha yang berdasarkan
pertimbangan yuridis dan analisa akademis akan berdampak pada kerusakan
lingkungan hidup serta berpotensi membahayakan hidup masyarakat, harus
ditolak. Paradigma bahwa pembangunan sektor ekonomi
tidak boleh mengorbankan lingkungan hidup harus benar-benar dipegang teguh.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga harus berbasis pada keselamatan hidup
masyarakat. Politik lingkungan hidup juga perlu
membangkitan kesadaran masyarakat untuk membangun relasi yang harmonis dengan
alam sekitarnya. Lingkungan hidup menyediakan berbagai kebutuhan hidup,
mempengaruhi kepribadian, model kehidupan, dan budaya mereka. Sebaliknya juga mempunyai kemampuan dan
kewajiban untuk mempengaruhi alam secara positif yaitu membentuk, menata, dan
mengelola alam sebaik-baiknya sehingga hidup mereka akan terjamin dan
terhindar dari beragam bencana. Penataan dan penguatan politik lingkungan
hidup juga sebuah proses penanaman nilai bagi masyarakat. Oleh karena itu,
berbagai pihak seperti para akademisi, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat,
perlu diajak berdiskusi dan bekerjasama sehingga kebijakan-kebijakan dan
regulasi yang terkait dengan lingkungan hidup benar-benar integral,
menyeluruh, berkesinambungan, membumi, dan mampu menjaga keutuhan seluruh
ciptaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar