Jumat, 11 November 2016

Ancaman Kedaulatan Rakyat untuk Berekspresi

Ancaman Kedaulatan Rakyat untuk Berekspresi
Sabam Leo Batubara  ;   Mantan Wakil Ketua Dewan Pers
                                                  TEMPO.CO, 09 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya tertarik membandingkan perkembangan kedaulatan rakyat Indonesia untuk mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan dengan rakyat Belanda, negeri bekas penjajah Indonesia. Pada era penjajahan Belanda, penguasa memperlakukan penghuni bumi Nusantara sebagai rakyat terjajah dan kumpulan penjahat potensial. Penjajah memberlakukan peraturan bahwa barang siapa menyuarakan pendapat atau kritik yang dinilai mencemarkan nama baik aparat, pelakunya akan dianggap sebagai penjahat. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)—waktu itu disebut Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie—sang pelaku terancam pidana 1 tahun 4 bulan penjara atau denda maksimal Rp 4.500. Dengan satu KUHP itu, Belanda mampu mengendalikan Indonesia selama 350 tahun.

Di negerinya, pemerintah Belanda memperlakukan rakyatnya sebagai warga negara merdeka, berdaulat, dan bermartabat. Ekspresi dan pendapat rakyat yang dinilai mencemarkan nama baik tidak dianggap sebagai kejahatan. Pelakunya hanya dapat diproses dalam perkara perdata dengan denda proporsional.

Setelah Indonesia merdeka, ketika Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto berkuasa, kedaulatan berada di tangan penguasa rezim, meski UUD 1945 menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat. Rakyat diposisikan sebagai burung beo. Setelah rakyat mendelegasikan kedaulatannya kepada MPR, selanjutnya MPR menggadaikan kedaulatan itu kepada penguasa. Kemudian penguasa menjadi pemegang kedaulatan tertinggi. Demi memenuhi kehendaknya, Sukarno diangkat oleh MPR menjadi presiden seumur hidup. Soeharto tidak mau menjadi presiden seumur hidup. Ia hanya mau dipilih oleh MPR sebanyak tujuh kali. Dan, dalam pemilihan, calon presiden yang harus dipilih hanya boleh satu, yakni Soeharto sendiri.

Pers yang berani memberitakan ekspresi ketidakpuasan dan kritik rakyat bukan hanya dicabut izin penerbitannya, wartawannya pun terancam dikriminalkan.

Bagaimana kedaulatan berekspresi rakyat pada era reformasi ini? Fakta-fakta menunjukkan pola pikir penyelenggara negara terkesan cenderung paradoksal. Pertama, penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung, menunjukkan kebijakan melindungi kebebasan pers berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Adapun DPR dan pemerintah, dalam kewenangannya membuat undang-undang, justru semakin mengancam kebebasan pers. Hasil survei Indeks Kebebasan Pers Indonesia 2015 oleh Dewan Pers menunjukkan, meski secara umum kebebasan pers pada 2015 dikategorikan masih "agak bebas", paling tidak penegak hukum dinilai tidak lagi gemar mengkriminalkan pers.

Paradoksnya, kecenderungan DPR dan pemerintah untuk mengkriminalkan kedaulatan berekspresi rakyat semakin lebih represif ketimbang kecenderungan penjajah Belanda. Saat ini, revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), revisi KUHP, serta revisi Undang-Undang Penyiaran sedang diagendakan dan dibahas di DPR. Rancangan revisi UU ITE dan rancangan revisi KUHP masih menilai pencemaran nama baik sebagai tindak kejahatan.

Salah satu pasal rancangan UU Penyiaran mendesain agar siaran wajib disensor oleh lembaga sensor sebelum disiarkan. Tidakkah draf ketentuan itu bermakna bahwa DPR dan pemerintah sama sekali tidak mempercayai kedaulatan rakyatnya yang bergiat di bidang pers penyiaran? Padahal penjajah Belanda saja masih menaruh kepercayaan kepada rakyat Indonesia, sehingga media pers tidak perlu disensor terlebih dulu. Semua rancangan tersebut bertujuan mengebiri hak-hak dasar rakyat.

DPR dan pemerintah hasil Pemilihan Umum 1997, yang tidak demokratis, pada akhir masa baktinya menerbitkan UU Pers. Selain diberi fungsi untuk mengekspresikan kontrol rakyat, Pers diberi peran untuk mengawasi, mengkritik, dan mengoreksi hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Amendemen konstitusi semakin melindungi fungsi dan peran pers tersebut. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Namun DPR dan pemerintah, yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang demokratis, masih menghasilkan revisi UU ITE yang isinya tidak mengubah ancaman sanksi pidana bagi pelaku pencemaran nama baik menjadi perkara perdata dengan sanksi proporsional, seperti yang lazim diberlakukan di negara-negara demokratis. Hasil revisi UU ITE itu ternyata masih mengkriminalkan rakyat pelaku pencemaran nama baik dengan ancaman pidana sampai 4 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 750 juta.

Persoalannya, mengapa UU ITE masih mengancam rakyat dengan hukuman yang jauh lebih berat dibanding ancaman hukum kolonial? Apakah karena DPR dan pemerintah masih menilai rakyat cenderung sebagai penjahat potensial yang dapat mengancam kedaulatan DPR dan pemerintah? Poin dari tulisan ini, DPR dan pemerintah terkesan masih berpola pikir bahwa kedaulatan rakyat negeri ini harus di bawah kendali DPR dan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar