Sabtu, 16 Mei 2015

Tarik Ulur Novel Baswedan

Tarik Ulur Novel Baswedan

Andy Suryadi  ;  Dosen FIS Unnes; Pegiat pada Pusat Kajian Kepolisian FIS Unnes
SUARA MERDEKA, 15 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tampaknya perseteruan KPK-Polri masih jauh dari kata reda. Bak panggang jauh dari api, upaya konsolidasi para pimpinan untuk menyinergikan kinerja dua lembaga penegak hukum tersebut tidak selalu berjalan mulus karena dikangkangi berbagai kepentingan ataupun karena ulah bawahan yang sulit dikontrol.

Tarik ulur KPK-Polri kembali mencuat, ketika Novel Baswedan salah satu penyidik senior di KPK dicokok polisi di rumahnya. Ia ditangkap atas tuduhan penganiayaan terhadap salah seorang tersangka pencurian sarang burung walet hingga meninggal dunia pada 2004, saat itu Novel Baswedan menjabat sebagai Kasatreskrim Polres Bengkulu.

Ini adalah untuk ketiga kalinya tarik ulur KPK-Polri khusus untuk kasus Novel Baswedan terjadi. Kejadian pertama terjadi pada 2012 saat Novel mengusut kasus Simulator SIM dengan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo, kemudian awal 2015 saat KPK-Polri bersitegang terkait penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan korupsi oleh KPK.

Pola penanganan kasus para penggawa KPK yang nyaris selalu terjadi jika ada petinggi Polri yang dijadikan tersangka KPK inilah yang membuat publik sulit untuk percaya, bahwa hal ini adalah murni penegakan hukum.

Sungguh pun Bareskrim Polri melalui berbagai media telah menyampaikan bahwa penangkapan Novel Baswedan murni langkah hukum karena memperhitungkan batas kedaluwarsa kasus pada 2016, publik tetap apriori. Alasan bahwa hal ini guna memenuhi rasa keadilan keluarga korban sebagai pelapor, rasanya juga sulit diterima.

Ini didasari fakta bahwa dalam wawancara di berbagai televisi nasional, pihak keluarga korban yang disebut sebagai pelapor justru membantah telah melaporkan Novel Baswedan, mereka bahkan mengaku sudah memaafkan dan melupakan.

Jadi siapa yang sesungguhnya melaporkan, atas inisiatif dan motif apa, menjadi tanda tanya besar?. Tak ayal kasus ini pun menjadi pro-kontra dan menyisakan teka-teki di masyarakat sehingga menarik untuk diuraikan. Kasus ini makin memanas seiring pernyataan Kabareskrim yang menuding bahwa Novel Baswedan punya empat rumah yang tergolong mewah untuk ukuran pangkat Novel.

Tudingan ini sontak dibantah Novel Baswedan, ia mengaku hanya punya dua rumah. Para broker perumahan di Jakarta pun juga membantah jika rumah yang ditempati Novel Baswedan di Kelapa Gading Jakarta digolongkan rumah mewah. Tak ayal pernyataan Kabareskrim ini sontak memicu dugaan adanya upaya menyudutkan Novel melalui opini.

Lebih Malu

Repotnya, seandainya pun Novel terbukti bersalah sesungguhnya justru Polri-lah yang mestinya lebih malu dibandingkan KPK. Rasionalisasinya adalah, pertama, kasus tersebut terjadi saat Novel masih berstatus anggota Polri aktif sehingga justru menunjukkan lemahnya kinerja dan kontrol Polri terhadap tindakan melanggar hukum anggota, hingga harus membutuhkan waktu sebelas tahun lamanya untuk mengungkap kasus yang sebenarnya secara logika tidak terlalu rumit.

Kedua, jika benar Novel terlibat, justru kontradiktif dengan janji dan komitmen Polri untuk selalu mengirim penyidik terbaiknya. Hal ini, malah berpotensi menimbulkan kecurigaan bahwa penyidik Polri yang dikirim ke KPK justru orang-orang yang punya tabungan masalah yang sewaktu-waktu bisa dijadikan senjata ampuh jika mengusik lembaga asal. Ketiga, menurut berbagai sumber, Novel sudah menjalani sidang saat itu dan ia juga sudah dikenai hukuman berupa sanksi disiplin.

Itu artinya pengusutan kasus ini justru menjadi penanda tidak konsisten dan tidak clear-nya proses penanganan di internal Polri. Hal ini berbanding terbalik dibanding saat mereka membela Komjen Budi Gunawan dengan salah satu dalihnya adalah kasusnya sudah clear ditangani secara internal di Mabes Polri.

Secara pribadi sesungguhnya penulis berpandangan bahwa penanganan kasus Novel dan para penggawa KPK memang akan lebih baik dilakukan mengikuti prosedur hukum dan kalau bisa secepatnya. Hal ini didasari beberapa pertimbangan, pertama, posisi para penggawa KPK menjadi lebih jelas secara hukum daripada terus menerus digantung dan dijadikan senjata cadangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Menggantungnya kasus para pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto misalnya jelas sudah mempersempit kans mereka untuk kembali ke KPK periode ini ataupun ikut seleksi periode mendatang. Kedua, publik akan segera tahu apa yang sesungguhnya terjadi dan siapa yang salah dan benar berdasarkan hukum, sehingga langkah untuk menuntut yang ternyata salah akan lebih mudah.

Karena tidak fair juga selalu berprasangka menyalahkan polisi dan membenarkan KPK tanpa landasan hukum yang kuat. Ketiga, menjadi langkah positif untuk budaya taat pada prosedur hukum yang berlaku.

Akan lebih fair jika penanganan kasus Novel ini ditangani oleh tim independen sebagaimana layaknya Tim 8 bentukan SBY dalam kasus Bibit-Chandra dahulu. Jika pun tidak, kepolisian juga harus konsekuen, jika tetap meneruskan kasus Novel maka mereka juga harus siap menangani kasus penyiksaan dalam pemeriksaan para tersangka lainnya yang disinyalir bukanlah hal baru terjadi.

Contoh nyata dalam kasus para tersangka sodomi di JIS, kemudian kasus terpidana mati Zainal Abidin yang dieksekusi pekan lalu, juga mengaku disiksa saat diinterogasi. Beberapa pegiat HAM dan antikorupsi di berbagai daerah tampaknya sudah banyak yang bergerak untuk mendata kasus sejenis.

Jika hal ini tidak dilakukan maka jangan salahkan jika publik akan beranggapan ada standar ganda dalam penanganan kasus di kepolisian. Prestasi besar kepolisian dalam hal lain misalnya, pembongkaran jaringan narkoba dan keberhasilan menguak berbagai misteri pembunuhan yang rumit, sulit mengangkat kepercayaan publik karena hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar