Pilkada
Minus Konflik Parpol
Veri Junaidi ; Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe)
Inisiatif
|
KOMPAS, 04 Mei 2015
Dewan Perwakilan
Rakyat melalui Komisi II
merekomendasikan agar Komisi Pemilihan Umum menggunakan putusan pengadilan
untuk memverifikasi pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun,
jika belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, disarankan menggunakan
putusan terakhir sebelum proses pendaftaran bakal calon pada 26-28 Juli 2015
(Kompas, 27/4).
Rekomendasi ini
berlaku untuk Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang
sengketanya tengah ditangani pengadilan. Dengan begitu, kubu mana pun yang
gugatannya dikabulkan bisa ditetapkan sebagai pihak yang berhak mengajukan
pencalonan dalam pilkada serentak gelombang pertama, 9 Desember 2015.
Namun, cukup amankah
mengikuti rekomendasi itu? Sebab, putusan pengadilan yang dijadikan acuan
bisa jadi bukan putusan yang berkekuatan hukum tetap (final). Putusan ini
masih sangat mungkin diajukan banding sehingga putusannya bisa berubah. Oleh
karena itu, putusan ini secara hukum dianggap berisiko, juga secara politik
bisa menimbulkan polemik dan konflik yang berkepanjangan.
Sengketa partai
Komisi pemilihan
sebaiknya tetap berpedoman pada putusan akhir sehingga tidak ada lagi upaya
hukum yang digunakan pihak bersengketa. Dalam sengketa partai politik, jalur
sengketa sendiri sudah ditentukan, sekaligus dengan limitasi waktunya.
Seperti yang sudah dijalankan Golkar dan PPP, Mahkamah Partai menjadi pilihan
pertama sebelum masuk lembaga peradilan. Langkah ini seperti mekanisme
arbitrase sehingga jika belum diupayakan mekanisme internal, gugatan yang
diajukan bisa dinyatakan prematur atau paling tidak diperintahkan kembali ke
mekanisme Mahkamah Partai, seperti yang terjadi pada Golkar dan PPP.
Putusan Mahkamah
Partai ini sifatnya final dan mengikat, kecuali jika perselisihan masih terus
berlangsung. Oleh karena itu, masing-masing bisa menggugatnya ke pengadilan
negeri. Tidak berhenti di situ, putusan pengadilan negeri pun bisa diajukan
kasasi ke Mahkamah Agung yang putusannya final dan mengikat. Agar proses
penyelesaian tidak berkepanjangan dan memenuhi kepastian proses,
Undang-Undang Partai Politik memberikan batasan waktu, yakni 60 hari di
pengadilan negeri dan 30 hari di Mahkamah Agung.
Jalur ini yang
mestinya ditempuh Golkar dan PPP dalam penyelesaian sengketa partai. UU
Partai Politik juga tidak menyebut sama sekali soal Pengadilan Tata Usaha
Negara sebagai mekanisme penyelesaian sengketa kepengurusan. Namun, dalam konteks
Golkar dan PPP, memang Menteri Hukum dan HAM tidak cukup bijaksana mengambil
keputusan menggunakan kewenangannya dalam Pasal 23 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun
2011, yakni menetapkan keputusan menteri dalam waktu 7 hari.
Mestinya Menteri Hukum
dan HAM tidak mengambil langkah politis, tetapi menunggu putusan hukum
terlebih dulu. Bahwa, penetapan kepengurusan melalui keputusan menteri
diambil dalam kondisi normal, saat tidak ada sengketa kepengurusan. Kalaupun
ada sengketa, Menteri Hukum dan HAM harus menunggu selesainya mekanisme hukum
dalam penyelesaian sengketa partai politik, yakni menunggu putusan pengadilan
negeri dan Mahkamah Agung terlebih dulu.
Oleh karena itu,
gugatan administrasi memang tidak bisa dihindarkan akibat keputusan politik
Menteri Hukum dan HAM. Jadi, mekanismenya tidak lagi penyelesaian sengketa
partai, tetapi sengketa administrasi.
Dalam konteks sengketa
Golkar, misalnya, Hakim Tata Usaha Negara sebaiknya mengembalikan pada
mekanisme dan jalur penyelesaian sengketa partai politik. Keputusan
administrasi pengesahan partainya bisa dibatalkan karena terburu-buru diambil
sebelum mekanisme sengketa partai diselesaikan. Hakim juga bisa memerintahkan
untuk menerbitkan keputusan baru setelah semua proses sengketa usai. Sebab,
sesungguhnya, keputusan Menteri Hukum dan HAM sebatas administrasi
pengesahan.
Pelajaran KPU
Keputusan politik
Menteri Hukum dan HAM mestinya menjadi pelajaran bagi Komisi Pemilihan Umum
dalam menentukan kepesertaan partai dalam pilkada serentak. Komisi pemilihan
hendaknya tidak masuk dalam konflik partai politik. Oleh karena itu, Komisi
Pemilihan Umum sebaiknya bersandar pada mekanisme hukum yang berlaku.
Artinya, sepanjang belum ada putusan akhir (final) terkait kepengurusan
partai politik, belum bisa dikatakan bahwa PPP dan Golkar memiliki
kepengurusan yang sah. Oleh karena itu, tidak bisa diikutkan sebagai peserta
dalam pilkada nanti.
Sebab, jika Komisi
Pemilihan Umum memberlakukan putusan pengadilan yang belum final, ibarat
menyiramkan minyak dalam api sehingga sengketa bisa semakin memanas dan tak
kunjung reda. Putusan pencalonan oleh Komisi Pemilihan Umum sangat mudah
dipersoalkan karena putusan yang dijadikan dasar dipersoalkan di tingkat yang
lebih tinggi.
Kalaupun dipaksakan,
ada risiko hukum yang harus ditanggung Komisi Pemilihan Umum. Peraturan
Komisi Pemilihan Umum itu sangat mungkin dipersoalkan di Mahkamah Agung dalam
ruang pengujian peraturan di bawah undang-undang sehingga prosesnya akan
panjang dan konflik semakin memanas. Bahkan, seperti kasus-kasus pemilu lalu,
materi ini juga yang dibawa ke hadapan Mahkamah Konstitusi dalam ruang
perselisihan hasil pemilu.
Belum lagi risiko
konflik yang akan muncul di pencalonan yang akan dihadapi Komisi Pemilihan
Umum provinsi dan kabupaten/kota. Setiap kubu, dengan dalil kebenarannya
sendiri, bisa mengajukan calon yang berujung pada sengketa berkepanjangan.
Kalaupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum dianggap sah sampai ada pembatalan
oleh Mahkamah Agung, toh, aturan ini tidak bisa meredam sengketa dalam
pencalonan.
Oleh karena itu,
lagi-lagi Komisi Pemilihan Umum harus mempertimbangkan untuk tidak
melaksanakan rekomendasi DPR dalam kasus ini. Komisi Pemilihan Umum bisa
menimbang, kebijakan mana yang bisa mengambil dua manfaat sekaligus, konflik
internal partai bisa diredam, juga aman bagi pelaksanaan tahapan pilkada
serentak.
Oleh karena itu,
Komisi Pemilihan Umum hendaknya menunggu sampai ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap sebagai dasar pendaftaran bakal calon kepala daerah.
Jadi, sepanjang belum ada putusan berkekuatan hukum tetap, Komisi Pemilihan
Umum tidak mengikutkan partai berkepengurusan ganda sebagai peserta pilkada.
Dengan begitu, kedua
kubu tidak ada pilihan lain selain mengambil jalan damai. Jika keduanya ingin
menjadi peserta pilkada, pilihan islah kedua kubu tidak bisa ditolak. Jalan
tengah bisa diambil dan partai diurus oleh semua kelompok dan kubu yang ada.
Kedua kubu memang harus menahan diri hingga proses pilkada usai. Sebab,
urusan politik sebaiknya diselesaikan secara politik, bukan melalui jalur
hukum yang mungkin berkepanjangan. Bak pepatah Minang, Kusuik bulu paruah manyalasaikan, kusuik banang dicari
ujuang jo pangka. Jadi, kembali saja pada pangkal persoalan dari konflik yang
ada.
Bagi Komisi Pemilihan
Umum, untuk kali ini memang harus belajar dari sikap Menteri Hukum dan HAM
yang telah mengambil sikap politis dalam kasus ini. Satu keputusan,
menimbulkan kegaduhan panjang. Bukannya menyelesaikan persoalan, justru
semakin memanaskan situasi dan konflik internal partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar