Perdagangan
Orang Kejahatan Serius
Dominggus Elcid Li ; Sosiolog;
Peneliti di
Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC);
Saat Ini Sedang Meneliti di Ash Center, Harvard
Kennedy School, AS
|
KOMPAS, 04 Mei 2015
Dua pernyataan terkait
buruh migran pada akhir 2014 perlu menjadi perhatian serius bagi Pemerintah
Indonesia pada 2015. Pertama, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa
menegaskan bahwa pemerintah saat ini akan mengurusi 1,7 juta tenaga kerja
Indonesia (TKI) ilegal. Kedua, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menyatakan,
pekerja asal Indonesia harus keluar dari situasi perbudakan.
Kedua pernyataan ini
perlu dikontraskan. TKI ilegal berkaitan dengan penyelundupan orang (people smuggling), sedangkan
perbudakan amat terkait dengan perdagangan orang (human trafficking).
Sejauh ini kacamata
dominan yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia masih terkait penyelundupan
orang, yang mewakili perspektif negara penerima TKI. Sementara aspek
perdagangan orang belum dibuka secara saksama di Tanah Air. Praktik
perdagangan orang tak mesti terkait urusan antarnegara karena migrasi
internal tenaga kerja dalam wilayah RI pun marak dan korban perdagangan
internal belum mendapatkan perhatian.
Meskipun di level
menteri ataupun institusi lain di bawah Presiden, seperti Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), urusan tenaga
kerja Indonesia makin diperhatikan, hingga kini masih ada beberapa kelemahan
utama dalam mengontrol migrasi tenaga kerja. Pengawasan tahap perekrutan
tenaga kerja seharusnya merupakan urusan vital sebagai upaya pencegahan
perdagangan orang, tetapi hal ini belum dilihat sebagai kunci penyelesaian.
Kontrol di fase awal
Proses perekrutan
tenaga kerja yang disertai penipuan, pemalsuan identitas, penculikan,
intimidasi, dan paksaan di fase penyediaan tenaga kerja hingga kini belum
dilihat sebagai kejahatan serius yang bisa dihukum dengan UU No 21/2007
tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).
Dalam beberapa hal,
Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) rentan menjadi
pelaku perdagangan orang di tahap perekrutan. Misalnya, uang rekrutmen yang
diberikan PPTKIS kepada calon TKI dengan mudah sifatnya berubah menjadi ijon
mencekik (debt bondage), dan PPTKIS yang menggunakan calo atau perekrut
lapangan tanpa surat tugas dengan mudah lepas tangan jika diusut aparat
penegak hukum.
UU No 39/2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri perlu direvisi untuk
memasukkan proses perekrutan sebagai pra- syarat keselamatan dan perlindungan
tenaga kerja. Sederhananya, revisi UU
No 39/2004 perlu memasukkan UU TPPO sebagai salah satu UU rujukan, khususnya
terkait kontrak kerja di tahap perekrutan yang bisa dikontraskan dengan
kondisi pasca penempatan.
Meskipun Indonesia
telah memberlakukan UU TPPO sejak 2007, masih perlu sosialisasi UU ini kepada
aparat penegak hukum dan aparat pemerintah hingga level terbawah: aparat
desa. Adapun untuk upaya penegakan hukum, sosialisasi khusus perlu diberikan
kepada kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
Antisipasi lain perlu
dilakukan untuk mencegah keterlibatan aparat pemerintah ataupun keamanan
dalam proses perdagangan orang. Penyalahgunaan wewenang dalam perekrutan
terjadi pada tiga tingkatan. Pertama, pembiaran praktik kriminal perdagangan
orang. Kedua, keterlibatan langsung aparat dalam kejahatan terorganisasi.
Ketiga, keterlibatan aparat melalui pemberian proteksi kepada
pelaku/jaringan/lembaga yang melakukan kegiatan perdagangan orang.
Untuk keterlibatan
aparat di level pertama, sosialisasi tentang UU TPPO merupakan sebuah
keharusan agar elemen-elemen dasar dalam perdagangan orang di tahapan
perekrutan bisa dibuka dan pembiaran bisa dihentikan. Sementara keterlibatan
di level kedua, kejelian aparat kepolisian merupakan kunci. Di level ketiga,
upaya membuka proteksi terhadap pelaku perdagangan orang dalam institusi
keamanan nyaris tidak mungkin, kecuali ada bukti fisik yang mendukung.
Munculnya pembuka aib (whistle blower) merupakan salah satu pendukung proses
pembersihan institusi, seperti munculnya Brigadir Rudy Soik di tubuh Polri
dalam kasus perdagangan orang di Nusa Tenggara Timur.
Kemampuan identifikasi
Di awal 2015, Menteri
Tenaga Kerja mencabut izin operasi 26 PPTKIS dari total 518 PPTKIS yang masih
beroperasi. Dua di antaranya merupakan PPTKIS yang diinspeksi mendadak.
Sayangnya, pembekuan PPTKIS tidak diikuti hukuman terhadap para perekrut
lapangan (PL) atau calo, bisa dipastikan tak akan berdampak karena para PL
dengan mudah mengganti "bendera" (PPTKIS). Sudah menjadi hal biasa
seorang PL memiliki beberapa bendera. Jika satu PPTKIS dilarang, dengan mudah
PL mengirimkan kepada PPTKIS lainnya. Bagaimana mengunci jaringan perekrut
yang berwatak kriminal perlu menjadi perhatian Menteri Tenaga Kerja dan DPR.
Upaya penegakan hukum
terhadap pelaku perdagangan orang tidak mungkin hanya diserahkan kepada
Menteri Tenaga Kerja dan BNP2TKI. Sebab, dalam praktiknya institusi
kepolisianlah yang melakukan tindak pengawasan secara langsung. Dengan
demikian, koordinasi antara Departemen Ketenagakerjaan, BNP2TKI, dan Polri (hingga tingkat polsek)
merupakan salah satu cara efektif untuk mengontrol sisi penyediaan TKI.
Kapasitas pengawasan
di tahap perekrutan sangat terkait dengan kemampuan identifikasi praktik dan
korban perdagangan orang. Aspek-aspek dasar yang dapat dikategorikan sebagai
perdagangan orang perlu dibuka, dipelajari, dan disosialisasikan.
Bagi PPTKIS yang
jelas-jelas terlibat dalam perdagangan orang, sanksi skorsing tergolong
ringan. Untuk itu, perubahan UU No 39/2004 perlu memasukkan sanksi berat
terhadap PPTKIS yang terbukti melakukan tindak pidana perdagangan orang.
Identifikasi tindak kriminal di dalamnya terkait eksploitasi terhadap para
korban berupa penipuan kondisi kerja, penahanan gaji dan identitas, serta
persentase komisi yang mencekik korban.
Dengan giatnya
pengembangan "tol laut" yang dikerjakan pemerintahan Joko
Widodo/Jusuf Kalla, migrasi internal jelas meningkat. Para perempuan penduduk
usia produktif dari daerah miskin sering menjadi target perekrutan pekerja
rumah tangga atau industri skala kecil, dan mereka pun menjadi target
perdagangan orang. Contohnya kasus
migrasi internal adalah kasus perbudakan 20-an perempuan di industri sarang
walet di Medan, Sumatera Utara, yang mengakibatkan dua perempuan asal
pedalaman Timor Barat meninggal pada Februari 2014. Hingga kini BAP-nya pun
gagal dihasilkan oleh Polresta Medan.
Sejauh ini kemampuan
aparat keamanan dalam mengidentifikasi korban perdagangan orang terbatas pada
pemalsuan identitas umur. Sementara aspek penipuan dan eksploitasi yang
dilakukan individu atupun PPTKIS nyaris tidak menjadi obyek penyidikan
perdagangan orang. Kontrol di fase perekrutan merupakan cara lain untuk
memanusiakan para pencari kerja di era globalisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar