Rabu, 06 Mei 2015

Perdagangan Orang Kejahatan Serius

Perdagangan Orang Kejahatan Serius

Dominggus Elcid Li  ;  Sosiolog;
Peneliti  di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC);
Saat Ini Sedang Meneliti di Ash Center, Harvard Kennedy School, AS
KOMPAS, 04 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dua pernyataan terkait buruh migran pada akhir 2014 perlu menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Indonesia pada 2015. Pertama, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menegaskan bahwa pemerintah saat ini akan mengurusi 1,7 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal. Kedua, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menyatakan, pekerja asal Indonesia harus keluar dari situasi perbudakan.

Kedua pernyataan ini perlu dikontraskan. TKI ilegal berkaitan dengan penyelundupan orang (people smuggling), sedangkan perbudakan amat terkait dengan perdagangan orang (human trafficking).

Sejauh ini kacamata dominan yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia masih terkait penyelundupan orang, yang mewakili perspektif negara penerima TKI. Sementara aspek perdagangan orang belum dibuka secara saksama di Tanah Air. Praktik perdagangan orang tak mesti terkait urusan antarnegara karena migrasi internal tenaga kerja dalam wilayah RI pun marak dan korban perdagangan internal belum mendapatkan perhatian.

Meskipun di level menteri ataupun institusi lain di bawah Presiden, seperti Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), urusan tenaga kerja Indonesia makin diperhatikan, hingga kini masih ada beberapa kelemahan utama dalam mengontrol migrasi tenaga kerja. Pengawasan tahap perekrutan tenaga kerja seharusnya merupakan urusan vital sebagai upaya pencegahan perdagangan orang, tetapi hal ini belum dilihat sebagai kunci penyelesaian.

Kontrol di fase awal

Proses perekrutan tenaga kerja yang disertai penipuan, pemalsuan identitas, penculikan, intimidasi, dan paksaan di fase penyediaan tenaga kerja hingga kini belum dilihat sebagai kejahatan serius yang bisa dihukum dengan UU No 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).

Dalam beberapa hal, Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) rentan menjadi pelaku perdagangan orang di tahap perekrutan. Misalnya, uang rekrutmen yang diberikan PPTKIS kepada calon TKI dengan mudah sifatnya berubah menjadi ijon mencekik (debt bondage), dan PPTKIS yang menggunakan calo atau perekrut lapangan tanpa surat tugas dengan mudah lepas tangan jika diusut aparat penegak hukum.

UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri perlu direvisi untuk memasukkan proses perekrutan sebagai pra- syarat keselamatan dan perlindungan tenaga kerja.  Sederhananya, revisi UU No 39/2004 perlu memasukkan UU TPPO sebagai salah satu UU rujukan, khususnya terkait kontrak kerja di tahap perekrutan yang bisa dikontraskan dengan kondisi pasca penempatan.

Meskipun Indonesia telah memberlakukan UU TPPO sejak 2007, masih perlu sosialisasi UU ini kepada aparat penegak hukum dan aparat pemerintah hingga level terbawah: aparat desa. Adapun untuk upaya penegakan hukum, sosialisasi khusus perlu diberikan kepada kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.

Antisipasi lain perlu dilakukan untuk mencegah keterlibatan aparat pemerintah ataupun keamanan dalam proses perdagangan orang. Penyalahgunaan wewenang dalam perekrutan terjadi pada tiga tingkatan. Pertama, pembiaran praktik kriminal perdagangan orang. Kedua, keterlibatan langsung aparat dalam kejahatan terorganisasi. Ketiga, keterlibatan aparat melalui pemberian proteksi kepada pelaku/jaringan/lembaga yang melakukan kegiatan perdagangan orang.

Untuk keterlibatan aparat di level pertama, sosialisasi tentang UU TPPO merupakan sebuah keharusan agar elemen-elemen dasar dalam perdagangan orang di tahapan perekrutan bisa dibuka dan pembiaran bisa dihentikan. Sementara keterlibatan di level kedua, kejelian aparat kepolisian merupakan kunci. Di level ketiga, upaya membuka proteksi terhadap pelaku perdagangan orang dalam institusi keamanan nyaris tidak mungkin, kecuali ada bukti fisik yang mendukung. Munculnya pembuka aib (whistle blower) merupakan salah satu pendukung proses pembersihan institusi, seperti munculnya Brigadir Rudy Soik di tubuh Polri dalam kasus perdagangan orang di Nusa Tenggara Timur.

Kemampuan identifikasi

Di awal 2015, Menteri Tenaga Kerja mencabut izin operasi 26 PPTKIS dari total 518 PPTKIS yang masih beroperasi. Dua di antaranya merupakan PPTKIS yang diinspeksi mendadak. Sayangnya, pembekuan PPTKIS tidak diikuti hukuman terhadap para perekrut lapangan (PL) atau calo, bisa dipastikan tak akan berdampak karena para PL dengan mudah mengganti "bendera" (PPTKIS). Sudah menjadi hal biasa seorang PL memiliki beberapa bendera. Jika satu PPTKIS dilarang, dengan mudah PL mengirimkan kepada PPTKIS lainnya. Bagaimana mengunci jaringan perekrut yang berwatak kriminal perlu menjadi perhatian Menteri Tenaga Kerja dan DPR.

Upaya penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan orang tidak mungkin hanya diserahkan kepada Menteri Tenaga Kerja dan BNP2TKI. Sebab, dalam praktiknya institusi kepolisianlah yang melakukan tindak pengawasan secara langsung. Dengan demikian, koordinasi antara Departemen Ketenagakerjaan,  BNP2TKI, dan Polri (hingga tingkat polsek) merupakan salah satu cara efektif untuk mengontrol sisi penyediaan TKI.

Kapasitas pengawasan di tahap perekrutan sangat terkait dengan kemampuan identifikasi praktik dan korban perdagangan orang. Aspek-aspek dasar yang dapat dikategorikan sebagai perdagangan orang perlu dibuka, dipelajari, dan disosialisasikan.

Bagi PPTKIS yang jelas-jelas terlibat dalam perdagangan orang, sanksi skorsing tergolong ringan. Untuk itu, perubahan UU No 39/2004 perlu memasukkan sanksi berat terhadap PPTKIS yang terbukti melakukan tindak pidana perdagangan orang. Identifikasi tindak kriminal di dalamnya terkait eksploitasi terhadap para korban berupa penipuan kondisi kerja, penahanan gaji dan identitas, serta persentase komisi yang mencekik korban.

Dengan giatnya pengembangan "tol laut" yang dikerjakan pemerintahan Joko Widodo/Jusuf Kalla, migrasi internal jelas meningkat. Para perempuan penduduk usia produktif dari daerah miskin sering menjadi target perekrutan pekerja rumah tangga atau industri skala kecil, dan mereka pun menjadi target perdagangan orang.   Contohnya kasus migrasi internal adalah kasus perbudakan 20-an perempuan di industri sarang walet di Medan, Sumatera Utara, yang mengakibatkan dua perempuan asal pedalaman Timor Barat meninggal pada Februari 2014. Hingga kini BAP-nya pun gagal dihasilkan oleh Polresta Medan.

Sejauh ini kemampuan aparat keamanan dalam mengidentifikasi korban perdagangan orang terbatas pada pemalsuan identitas umur. Sementara aspek penipuan dan eksploitasi yang dilakukan individu atupun PPTKIS nyaris tidak menjadi obyek penyidikan perdagangan orang. Kontrol di fase perekrutan merupakan cara lain untuk memanusiakan para pencari kerja di era globalisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar