Jumat, 01 Mei 2015

Pertobatan dan Rekonsiliasi Nasional

Pertobatan dan Rekonsiliasi Nasional

Freddy Numberi  ;  Tokoh Masyarakat Papua
KORAN SINDO, 30 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sudah 52 tahun (sejak 1 Mei 1963), Papua ada dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, hingga kini, seperti yang terjadi di Paniai, Desember tahun lalu, betapa masih saja terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Bart Spruit dalam bukunya, Leviathan (2000), mengatakan: ”Zonden uit het verleden geven geestelijke machten een bruggenhoofd om in het heden hun doeleinden af te dwingen. Pas wanneer verzoening is gedaan over de zonden uit het verleden krijgt God de kans het verleden te doen medewerken ten goede”.

Artinya, dosa-dosa masa lalu memberikan penguasa-penguasa rohani suatu kekuatan untuk memaksakan kehendak mereka. Bilamana pengampunan terjadi terhadap dosa-dosa di masa lalu, barulah Tuhan mendapat kesempatan membuat masa silam itu bekerja sama dan bermakna bagi kebaikan masa kini.

Dalam tulisan tersebut, Spruit mengisahkan tentang pembunuhan yang terjadi di Banda (Maluku) antara rakyat Banda melawan Belanda yang dimulai pada 1609, kemudian pada 1621 di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memancung 40 orang Banda yang disebut sebagai ”orang kaya” oleh prajurit Jepang yang disewa Belanda.

Dendam yang terus membara ini, menurut Spruit, perlu ada pertobatan melalui doa demi penyembuhan bersama sehingga Tuhan dapat membantu pihak- pihak yang bersengketa membangun masa depannya. Itu pula yang hakikatnya terjadi di Papua hingga kini. Maka itu, merefleksikan kembali sejarah bagaimana proses integrasi Papua ke NKRI menjadi penting.

Proses dekolonisasi yang berlarut-larut mencapai puncaknya saat penandatanganan pengakuan kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 27 Desember 1949. Saat itu masalah Papua ditunda satu tahun. Artinya, status Papua akan dibahas lagi pada 27 Desember 1950. Setelah perjanjian 27 Desember 1949, Belanda mulai serius memperhatikan Nederlands Nieuw Guinea.

Sebelum Perang Dunia II, Pemerintah Belanda hanya menggunakan daerah Nederlands Nieuw Guinea di Digul (Merauke) sebagai tempat pembuangan bagi para komunis dan nasionalis Indonesia yang melawan Belanda. Namun, daerah itu hanya menjadi anak tiri yang dilupakan, dikenal sebagai daerah buangan bagi mereka yang dianggap membangkang terhadap Pemerintah Belanda.

Baru kemudian setelah Belanda mengakui Indonesia sebagai negara merdeka, masalah Papua yang pembahasannya ditunda satu tahun menjadi isu sensitif antara Belanda dan Indonesia. Puncaknya terjadi pada Agustus 1960 sebelum John F Kennedy terpilih sebagai presiden Amerika Serikat (AS) yang ke-35, Presiden Soekarno memutuskan hubungan diplomatik Indonesia dengan Belanda.

Sikap tegas Soekarno itu tentu saja mengundang kekhawatiran Amerika Serikat. Negara adidaya itu khawatir Indonesia menjadi negara komunis karena pengaruh Uni Soviet dan China waktu itu. Karena itulah, AS akhirnya menekan Belanda untuk segera menyerahkan Papua kepada Indonesia.

Ironisnya, proses awal internasionalisasi masalah Papua oleh Belanda, Indonesia dan Amerika Serikat melalui PBB tidak melibatkan rakyat Papua. Saat itu, berdasarkan New York Agreement pada 15 Mei 1962, Belanda menyerahkan Papua kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962.

Selanjutnya, 1 Mei 1963, PBB melalui UNTEA secara resmi menyerahkan Papua kepada Indonesia. Namun, peristiwa bergabungnya (integrasi) Papua ke pangkuan Indonesia tak dimeriahkan secara besar-besaran. Sebaliknya, atas nama kedaulatan negara untuk mengatasi konflik yang ada digelar operasi militer secara besar-besaran.

Operasi itu antara lain Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Barathayuda (1967- 1969), dan Operasi Wibawa (1969). Operasi ini digelar dalam rangka menghadapi rencana Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969. Yang jelas, ekses kekerasan akibat operasi-operasi militer itu tak dapat diceritakan secara bebas, dibungkam oleh sistem pemerintahan yang otoriter serta ”mati rasio” karena moncong senjata.

Preseden buruk masa lalu itu menjadi ingatan kolektif rakyat Papua yang mendalam sehingga perlupenyembuhan. Ituberlangsung setelah Reformasi 1998. Indonesia memasuki suatu pemerintahan yang demokratis.

Pemerintahan demokratis sejatinya didukung oleh suatu ”civilian supremacy” yang kuat dan solid. Di antaranya dapat mengontrol institusi yang dipercayai untuk memegang senjata agar tidak disalahgunakan terhadap rakyatnya sendiri sehingga tak berakhir pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Pertobatan Nasional

Sejarah masa lalu harus menjadi pedoman (kompas) dalam membuat peta jalan (roadmap) bagi solusi Papua secara tuntas, berkeadilan, dan bermartabat. Rasa curiga terhadap rakyat Papua harus dihilangkan. Program-program pemerintah yang diturunkan harus melibatkan mereka serta mendengar suara mereka tentang apa yang mereka butuhkan.

Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Natal Nasional di Jayapura, 27 Desember 2014 : ”Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara. Kita ingin akhiri konflik. Jangan ada lagi kekerasan.” Indonesia jangan mengulang pengalaman masa lalu (Hindia Belanda), di mana Papua sebagai bagian dari NKRI hanya menjadi anak tiri yang dilupakan.

Selain itu, Papua juga jangan hanya digunakan untuk memperkaya kelompok tertentu dalam rezim pemerintahan yang terus berganti. Kekayaan alam Papua justru harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran orang Papua sebagai warga negara Indonesia yang terhormat dalam rangka memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua serta menyembuhkan (healing) luka-luka masa lalu.

Tanggal 1 Mei 1963 merupakan suatu momen sejarah yang patut diperingati secara nasional, sebagai Hari Integrasi Nasional (HIN). HIN harus kita maknai sebagai momentum untuk Pertobatan Nasional karena perjalanan waktu yang begitu panjang dan telah banyak menelan korban. Kita selalu berbeda pendapat dan tidak saling percaya.

Ini berlaku tidak hanya untuk Papua, tetapi juga seluruh Indonesia, terutama korban akibat pelanggaran hak asasi manusia (Tragedi Trisakti-12 Mei 1998, Theys Eluay-10 November 2001, Munir-7 September 2004, Kelly Kwalik-16 Desember 2009). Kita perlu pertobatan dan rekonsiliasi nasional agar bangsa Indonesia terhindar dari konflik internal yang terus berlanjut dan entah kapan berakhirnya.

Maka itu, peringatan 1 Mei sebagai HIN harus diisi dengan doa bersama untuk pemulihan bangsa dan dengan ”civic mission” prajurit TNI dan Polri secara besar-besaran di Papua, baik itu bakti kesehatan, bakti sosial (perbaikan sekolah, gereja), maupun lainnya. Hal ini tidak lain untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar