Perempuan
Korban ’’Bisnis Lendir’’
Benni Setiawan ; Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY);
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
|
JAWA POS, 13 Mei 2015
HEBOH ’’bisnis
lendir’’ setelah penangkapan AA dan mucikarinya, RA, media massa merilis 17
artis yang bisa ’’dipakai’’ dengan harga Rp 20 juta–Rp 200 juta. Artis
berinisial TB menduduki peringkat pertama dengan bayaran termahal Rp 200
juta.
Mahalnya harga artis
itu seakan membenarkan gaya hidup mereka. Menikmati tubuh artis nan seksi
dengan perawatan harian pun seakan menjadi kebanggaan laki-laki hidung
belang. Mereka rela merogoh kocek dalam-dalam untuk menikmati sensasi
kenikmatan sesaat dan servis dari seorang figur publik.
Namun, maraknya
pemberitaan tentang laku mesum kalangan elite itu menyisakan persoalan bagi
perempuan. Artinya, perempuan senantiasa menjadi ’’korban utama’’ dalam
masalah ini.
Sindiran
Saya teringat tulisan
Sarlito Wirawan Sarwono, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
dalam menanggapi video porno yang melibatkan artis papan atas Ariel dan Luna
Maya beberapa tahun lalu. Dia menulis sebuah perbincangan menarik yang
dikutip dari sebuah obrolan di milis (mailing
list). Yaitu, obrolan antara si mirip Julia Perez (Jupe) dengan si mirip
Ariel. Mirip Jupe: Saya hanya tidur dengan tiga pria disebut berengsek. Kamu
tidur dengan 32 cewek disebut jantan. Mengapa? Mengapa?
Mirip Ariel: Itu kan
jelas. Kalau sebuah kunci bisa dibuka dengan berbagai anak kunci, pasti itu
kunci berengsek. Tapi, kalau satu anak kunci bisa untuk membuka 32 kunci,
orang Inggris menamakan master key!
Tulisan itu merupakan
sindiran terhadap realitas kehidupan masyarakat Indonesia. Tulisan tersebut
mengingatkan kepada masyarakat bahwa stigma negatif dan dosa besar senantiasa
melekat pada perempuan jika melakukan pornografi. Perempuan selalu
diasosiasikan negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka adalah
makhluk perusak tatanan bermasyarakat.
Kontras dengan kondisi
tersebut, laki-laki selalu diposisikan sebagai manusia perkasa dan jantan.
Mereka bahkan dipuja dan dilindungi sistem masyarakat. Padahal, mereka juga
melakukan pekerjaan yang tidak bermoral. Bahkan lebih menjijikkan jika
dibandingkan dengan yang dilakukan seorang perempuan.
Meminjam bahasa Sitti
Hikmawatty (2010), dalam masyarakat Indonesia, perempuan sering menjadi pihak
yang paling disalahkan ketika terjadi perselingkuhan atau perilaku seks di
luar nikah. Apalagi perselingkuhan tersebut dilakukan bersama laki-laki yang
berstatus suami orang. Perselingkuhan dan pelecehan tidak akan terjadi tanpa
peran aktif seorang laki-laki.
Mengapa perempuan
masih saja mendapat cap/stereotipe sebagai perusak tatanan bangsa dan
mendapat perlakuan diskriminatif?
Korban
Diskriminasi tersebut
muncul karena masih kuatnya budaya patriarki di Indonesia. Sistem patriarki
itu pun telah menjadi kredo. Karena itu, tidak aneh jika perempuan Indonesia
selalu dicap negatif. Dalam kasus prostitusi online, foto mesum, video porno,
atau perselingkuhan, misalnya, pihak pertama yang dipersalahkan adalah
perempuan.
Si istri tidak kuasa
menyalahkan laki-laki (suami) sendiri. Istri pun akan dengan mudah mengampuni
dosa suaminya. Hal itu tidak berlaku bagi perempuan yang diajak selingkuh oleh
suaminya. Dendam membara hingga mati akan terus dibawa. Padahal, si perempuan
dalam posisi yang sangat lemah.
Demikian pula
pandangan masyarakat terhadap perempuan yang melakukan seks di luar nikah.
Mereka sering menyatakan, ’’Perempuan kok kayak gitu, gampangan!’’
Lebih dari itu, dalam
benak masyarakat Indonesia pun, perempuan yang gonta-ganti pasangan secara
sah pun dianggap buruk. Perempuan yang muncul dalam foto dan video porno
serta menjual dirinya dengan harga mahal dianggap berengsek. Namun, jika
laki-laki yang melakukannya dengan banyak perempuan, mereka mendapat sebutan
jantan.
Paradigma perempuan
adalah makhluk yang harus selalu baik menjadi mantra untuk menyalahkan
perilaku yang mungkin dilakukan karena khilaf. Demikian pula pandangan bahwa
laki-laki nakal dan neko-neko adalah wajar masih kuat dalam ingatan
masyarakat Indonesia.
Sama-Sama Berengsek
Perilaku diskriminatif
itu tentu perlu segera diakhiri. Kesadaran masyarakat bahwa yang melakukan
kejahatan bukan hanya perempuan mutlak diperlukan. Dalam kasus pornografi,
laki-laki dan perempuan harus didudukkan dalam posisi yang sama. Mereka
berdua sama-sama ’’berengsek’’, jika itu dilakukan secara sadar dan
disengaja. Tidak ada yang lebih baik dari keduanya.
Dalam kasus prostitusi
yang melibatkan artis, selayaknya media juga merilis nama-nama laki-laki yang
menggunakan dan menikmati jasa mereka. Merilis laki-laki yang berkencan
dengan artis itu akan menjadi pelajaran berharga bagi semua bahwa seks di
luar nikah adalah perbuatan tercela. Perbuatan itu juga bukan ’’salah’’
perempuan, namun juga laki-laki.
Lebih dari itu,
perempuan Indonesia harus terus didorong untuk belajar dan menempuh
pendidikan. Jika banyak perempuan yang melek aksara, mereka tidak akan mudah
menerima bujuk rayu laki-laki tunasusila.
Pada akhirnya,
pemberitaan prostitusi online dengan harga fantastis yang dilakukan artis
jangan sampai digunakan sebagai alasan untuk terus mendiskreditkan kaum
perempuan. Sudah saatnya semua pihak sadar bahwa seks bebas telah menjadi
penyakit kronis bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar