Partai
Demokrat dan Jebakan Kultus Politik
Joko Wahyono ; Analis studi politik
di Lembaga Pengkajian Teknologi dan Informasi
(LPTI) Pelataran Mataram Yogyakarta
|
JAWA POS, 13 Mei 2015
PARTAI Demokrat sedang
punya hajat. Yakni, kongres IV mereka di Surabaya, 11–13 Mei 2015, dengan
agenda utama pemilihan ketua umum periode 2015–2020. Memilih ketua umum
berarti mempersiapkan pemimpin masa depan. Bukan hanya untuk partai, tetapi
juga Indonesia. Partai merupakan rumah bagi supplier pemimpin. Partai sangat
berperan dalam menyuplai calon-calon pemimpin di tingkat lokal maupun
nasional. Korelasi partai dengan visi kepemimpinan Indonesia masa depan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Namun, persoalan
kepemimpinan tersebut justru sering melahirkan bibit-bibit perpecahan karena
konflik antarelite di internal partai sendiri. Kisruh berlarut-larut di tubuh
PPP dan Golkar bisa menjadi contoh. Karena itu, tidak akan ada yang
mengejutkan dalam kongres partai berlambang segi tiga Mercy tersebut. Suksesi
ketua umum bisa dipastikan berakhir dengan jalan aklamasi, yakni SBY kembali
meneruskan tradisi kepemimpinan politiknya.
Sinyalemen itu semakin
terlihat dari geliat suara kader di akar rumput dan jajaran di tingkat elite
partai yang mayoritas masih menggadang-gadang SBY sebagai ketua umum.
Apalagi, pada 2015 ini akan digelar pilkada serentak. Untuk menghadapi agenda
politik itu, tentu dibutuhkan pemimpin yang kuat dan solid untuk merawat
basis politik lokal.
Kultus Personal
Sejarah berpartai
politik memang rentan konflik. Benjamin Reilly dan Per Nordlund (2008)
melihat, setelah rentan terhadap konflik masyarakat (state of conflict-prone societies) – antarsuku, etnis, atau
agama–, Indonesia saat ini rentan terhadap konflik politik (states of conflict-prone politics).
Karena itu, SBY dipercaya mampu menjaga soliditas partai untuk menghindari
konflik politik seperti di PPP dan Golkar. Dia dinilai bisa mengembalikan
dominasi partai, baik di kancah politik lokal maupun nasional.
Keberhasilan memenangi
pemilu presiden dua periode (2014 dan 2009) meyakinkan kader bahwa posisi SBY
masih kuat menjadi ikon politik partai yang bisa mendongkrak elektabilitas
Demokrat pada Pemilu 2019. Selain SBY, sebenarnya ada dua nama, yakni Marzuki
Alie dan I Gede Pasek Suardika, yang mengaku siap berkompetisi di kongres.
Tetapi, dua nama tersebut tidak cukup mampu menandingi kebesaran nama SBY.
Setelah Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi
Hambalang, belum ada kader kuat yang melampaui figur SBY.
Bisa dibilang, nama
SBY sulit dibendung. Politik aklamasi boleh jadi menjadi langkah strategis
untuk menyelamatkan Demokrat dari ancaman tarikan konflik antarelite. Memang,
ketokohan politik terkadang masih relevan sebagai simbol personifikasi
gagasan partai yang akan ditawarkan kepada konstituen. Namun, sebagai
catatan, kebiasaan mengidentifikasikan partai kepada figur pimpinan yang
kebetulan tingkat elektabilitasnya lebih tinggi dari partainya justru akan
mengakibatkan terjadinya personalisasi politik partai.
Sikap dan perilaku
politik terkooptasi oleh kecenderungan kultus personal (cult of personality) melalui figur ideal ketokohan. Kultus
politik itu tampak dari kegemaran melakukan analogi simbol partai dengan nama
pribadi pucuk pimpinan. Segala atribut partai disejajarkan dengan citra
personal pimpinan, seolah-olah yang keluar darinya mencerminkan suara dan
sikap partai. Bahkan, biasanya kader merasa lebih aman (secure) secara politis di bawah figur pimpinan. Sebab, perbedaan
pandangan politik bisa dituduh sebagai ’’pembangkangan’’.
Di tengah
kecenderungan politik yang demikian, pimpinan partai akan tampil dalam
pribadi introverse yang kuat dan jauh dari koreksi serta kritik. Partai
tumbuh dengan figur pimpinan, simbol utama partai yang nyaris tak
tergantikan. Proses demokrasi dijalankan sebatas kamuflase pembungkus status
quo. Itu bisa menjadi awal pembuka bagi akses kediktatoran (dictatorship) di tubuh partai seperti
pada zaman politik Orde Baru.
Pseudo Demokrasi
Padahal, demokrasi
adalah kerja jangka panjang. Demokrasi bukan sekadar perkara politik periodik
lima tahunan (pemilu/pilkada). Demokrasi menyoal nilai-nilai keadilan,
persamaan hak, kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkompetisi secara
sehat. Untuk mewujudkan itu, dibutuhkan stamina lintas generasi. Tampilnya
generasi baru akan membawa terobosan baru dalam mencipta ruang-ruang bagi
pertarungan gagasan dan program. Sejauh partai ditafsirkan sebagai pilar
demokrasi, kultus politik pimpinan adalah pseudo demokrasi.
Proses sirkulasi
kekuasaan partai hanyalah pemenuhan skenario demokrasi yang mengekalkan
status quo, tetapi mematikan potensi generasi di bawah untuk tampil sebagai
calon pemimpin masa depan. Mohammad Hatta pernah berujar, berpartai politik
adalah menghimpun beragam potensi dan kecerdasan politik anak bangsa atas
nama Indonesia, bekerja untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi
kemaslahatan bersama.
Kemampuan partai dalam
menjalankan fungsinya itu tidak hanya bergantung pada figur sentral pimpinan,
tapi –merujuk Herbert Kitschelt (2004)– juga suasana internal yang menekankan
proses regenerasi politik sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas kader
sebagai penentu konsolidasi agenda publik. Kini, harus terbangun kesadaran
bahwa kultus politik adalah momok utama bagi perkembangan demokrasi. Kultus
politik yang eksis di tubuh partai akan merusak sistem politik, menciptakan
ribuan anomali dan patologi.
Budaya kultus politik
adalah sesat pikir politisi dalam berdemokrasi. Demokrasi hanya akan
berproses dari elite, oleh elite, dan untuk elite. Dan itulah reduksi
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar