Jumat, 08 Mei 2015

Melawan Gerontokrasi

Melawan Gerontokrasi

Raja J Antoni  ;  Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII);
Meraih Doktor dari School of Political Science and International Studies,
the University of Queensland, Australia
KORAN SINDO, 06 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dunia politik kita didominasi oleh para politisi sepuh yang kian enggan lengser ke prabon. Mereka enggan memberikan kesempatan regenerasi politik. Kita terjangkit penyakit politik bernama gerontokrasi yang dulu pernah menyerang Prancis pada abad ke-19. Secara sederhana gerontokrasi (Inggris: gerontocracy; Prancis: gerontrocatie) dapat diartikan sebagai kekuasaan politik yang didominasi dan dikontrol oleh orang-orang lanjut usia. Gerontokrasi baru muncul sebagai kosakata dalam ilmu sosial politik setelah Jean-Jacques Fazy menerbitkan artikel pada sebuah pamflet politik pada 1828.

Tulisan Fazy yang terbit di Paris tersebut berjudul “On Gerontocracy, or the Abuse of the Wisdom of Old Men in French Government”. Artikel Fazy secara spesifik mengkritisi dinamika politik Prancis yang memicu “Revolusi Juli” pada 1830. Ketika itu, demi stabilitas politik, orang tua mengontrol pemerintahan secara legal dengan menerapkan ambang usia untuk menjadi pejabat publik.

Misalkan, seorang yang akan menjadi deputy minimal harus berusia 40 tahun. Bahkan, hak pilih hanya dimiliki secara eksklusif bagi “orang dewasa” berusia di atas 30 tahun. Walhasil, kekuasaan politik dikangkangi oleh para manula yang pada gilirannya, menurut Fazy, menjadi sumber segala kesusahan dan komplikasi kehidupan di Prancis. Meski kosakata gerontokrasi baru muncul pada abad ke- 19, jauh-jauh hari Plato (427- 347 SM) telah mengamati gejala penuaan dalam proses perpolitikan di zamannya.

Sparta diatur oleh sebuah institusi politik yang disebut gerusia. Anggotanya adalah para manula yang telah menginjak usia 60 tahun dengan masa jabatan seumur hidup. Plato kemudian datang dengan gagasan peremajaan usia anggota gerusia serta pembatasan masa jabat untuk mencegah keterpurukan yang lebih dalam di negeri Sparta.

Politisi Manula

Gerontokrasi yang tinggal menjadisejarahbagi Prancisdan Yunani kuno justru sekarang menjadi fenomena (relatif) baru di Tanah Air. Lihatlah usia tokoh-tokoh partai politik paling penting. Wiranto (68 tahun) secara aklamasi terpilih menjadi ketua umum Hanura untuk kesekian kalinya. Megawati Soekarnoputri (68 tahun) baru saja terpilih menjadi ketua umum PDIP untuk keempat kalinya.

Aburizal Bakrie (69 tahun) terpilih kembali menjadi ketua umum Partai Golkar. Begitu pula, Prabowo Soebianto (64 tahun) yang dulu “hanya” menjadi ketua Dewan Pembina sekarang merangkap menjadi ketua umum Partai Gerindra. Surya Paloh (64 tahun) hampir dapat dipastikan kembali memimpin Partai NasDem. Susilo Bambang Yudhoyono (66 tahun) yang pernah menjadi orang nomor satu di republik ini telah menyatakan kesediaan dirinya didapuk menjadi ketua umum Partai Demokrat.

Artinya, empat tahun lagi, pada Pemilu 2019, hitam-putih politik kita akan sangat ditentukan oleh politisi gaek yang berusia sekitar 70 tahun. Ini tentu saja berbeda dengan “generasi perdana” Indonesia. Dulu, Indonesia pernah dipimpin oleh anak-anak muda—meminjam istilah Buya Syafii Maarif yang penuh dedikasi dan mencintai Indonesia dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Tanpa para pemuda belia tersebut, hampir mustahil rasanya Indonesia merdeka.

Soekarno dan Hatta masing-masing masih berusia 44 dan 43 tahun ketika menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia. Jauh hari sebelum kemerdekaan, Soekarno menjadi ketua Partai Nasional Indonesia ketika berusia 26 tahun. Mohammad Hatta menjadi ketua Perhimpunan Indonesia ketika berusia 24 tahun. Begitu pula Sutan Sjahrir berusia 36 tahun ketika diangkat menjadi perdana menteri.

Mohammad Natsir menduduki posisi perdana menteri ketika berusia 42 tahun, setelah sebelumnya menjadi menteri penerangan pada usia 38 tahun. Soeharto bahkan mulai berkuasa di negeri ini ketika ia masih berusia 46 tahun. Sejak saat itulah regenerasi politik mulai stagnan. Apa yang dikhawatirkan Lord Acton (1834- 1902) “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” benar-benar terjadi.

Celakanya, pada era reformasi ini, kebiasaan buruk mengawetkan kekuasaan politik masih saja dicontoh dan dipraktikkan oleh para politisi sepuh yang masih memiliki syahwat berkelindan dengan kekuasaan. Kebalikan dari Indonesia, pemimpin negara-negara sahabat cenderung memberikan ruang kepada generasi yang lebih muda. Partai Buruh di Inggris yang dipimpin oleh Gordon Brown (49) ditumbangkan Partai Konservatif yang diketuai oleh David Cameron (44). Pada2008, Barrack Obama (47) dari Partai Demokrat mengalahkan John McCain (72), politisi senior Partai Republik.

Empat tahun kemudian Obama mengungguli Mitt Romney yang berusia 15 tahun lebih tua. Beberapa tahun lalu Partai Liberal Australia yang dipimpin John Howard (70) terjungkal oleh pemimpin Partai Buruh Kevin Rudd (50), sebelum akhirnya Tony Abbott (50) menggantikan posisi Kevin Rudd hingga saat ini.

Pembeliaan Politik

Pembeliaan usia dalam dunia politik memang tidak serta-merta menjamin kualitas kepemimpinan politik yang lebih baik. Namun, dalam konteks transisi demokrasi, usia dapat berarti demarkasi antara “yang lama” atau “yang baru”. Acap masalah interpersonal antarpolitisi tua pada masa lalu memengaruhi kepentingan khalayak banyak saat sekarang ini. Apalagi terlihat jelas akhir-akhir ini bahwa politik gerontokrasi berkelindan dengan pola oligarki di mana hanya segelintir elite di pucuk pimpinan partai yang mengambil keputusan penting bagi rakyat.

Partai politik juga tidak lebih dari sebuah perusahaan terbatas. Pemegang saham mayoritas menjadi komisaris utama yang menentukan arah tujuan dan keputusan partai. Tak ayal, anak, keponakan, dan keluarga besar mendapat jatah sesuai dengan kepemilikan saham di partai. Pembeliaan politik Indonesia bukan sekadar mengganti yang tua dengan yang muda. Pembeliaan juga mensyaratkan lahirnya gagasan dan terobosan baru dalam tatanan politik kita.

Di mata publik, saat ini politik telah telanjur menjadi profesi yang menjengkelkan untuk tidak mengatakan menjijikkan. Otto von Bismarck mungkin benar bahwa politik merupakan the art of possibilities, namun bukan berarti segala tipu daya yang merugikan kepentingan publik absah dilakukan guna meraih target-target politik jangka pendek. Benar pula bahwa tujuan utama politik adalah kekuasaan (power), tapi politisi muda patut terus mempertanyakan kekuasaan tersebut untuk apa dan siapa?

Benarkah kebijakan dan keputusan politik yang ditelurkan untuk kepentingan rakyat? Sejatinya politik adalah profesi yang mulia. Partai politik, sepertiyangdiungkapkanLipset (1996), merupakan institusi inti (core institution) dalam demokrasi. Lebih jauh Robertson (1970) mengatakan, tidak ada pembicaraan tentang demokrasi saat ini kecuali berbicara tentang (kompetisi) partai politik. Dalam demokrasi modern, melalui partai politiklah aspirasi rakyat diagregasikan, ditawarkan di pemilu, serta diperjuangkan untuk diimplementasikan baik di eksekutif maupun legislatif.

Di ruang-ruang rapat partai politiklah kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak (public policy) diputuskan. Di sinilah pembeliaan politik mesti dimaknai sebagai rekonstruksi moral politik baru yaitu kemampuan partai politik menyerap aspirasi rakyat, mengagregasikan, serta merumuskannya menjadi kebijakan publik yang memihak kepentingan orang banyak.

Kita perlu moral politik baru yang melahirkan kepemimpinan politik yang kukuh dan teguh dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang telah lama menderita. Hanya dengan cara inilah politik yang telanjur dianggap kumuh dapat berubah menjadi misi mulia untuk kebajikan dan kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar