Melawan
Gerontokrasi
Raja J Antoni ; Direktur Eksekutif The Indonesian Institute
(TII);
Meraih Doktor dari School of Political Science and
International Studies,
the University of Queensland, Australia
|
KORAN SINDO, 06 Mei 2015
Dunia politik kita
didominasi oleh para politisi sepuh yang kian enggan lengser ke prabon.
Mereka enggan memberikan kesempatan regenerasi politik. Kita terjangkit
penyakit politik bernama gerontokrasi yang dulu pernah menyerang Prancis pada
abad ke-19. Secara sederhana gerontokrasi
(Inggris: gerontocracy; Prancis: gerontrocatie) dapat diartikan sebagai
kekuasaan politik yang didominasi dan dikontrol oleh orang-orang lanjut usia. Gerontokrasi baru
muncul sebagai kosakata dalam ilmu sosial politik setelah Jean-Jacques Fazy
menerbitkan artikel pada sebuah pamflet politik pada 1828.
Tulisan Fazy yang terbit
di Paris tersebut berjudul “On
Gerontocracy, or the Abuse of the Wisdom of Old Men in French Government”.
Artikel Fazy secara spesifik mengkritisi dinamika politik Prancis yang memicu
“Revolusi Juli” pada 1830. Ketika itu, demi stabilitas politik, orang tua
mengontrol pemerintahan secara legal dengan menerapkan ambang usia untuk
menjadi pejabat publik.
Misalkan, seorang yang
akan menjadi deputy minimal harus berusia 40 tahun. Bahkan, hak pilih hanya
dimiliki secara eksklusif bagi “orang dewasa” berusia di atas 30 tahun.
Walhasil, kekuasaan politik dikangkangi oleh para manula yang pada
gilirannya, menurut Fazy, menjadi sumber segala kesusahan dan komplikasi
kehidupan di Prancis. Meski kosakata gerontokrasi baru muncul pada abad ke-
19, jauh-jauh hari Plato (427- 347 SM) telah mengamati gejala penuaan dalam
proses perpolitikan di zamannya.
Sparta diatur oleh
sebuah institusi politik yang disebut gerusia. Anggotanya adalah para manula
yang telah menginjak usia 60 tahun dengan masa jabatan seumur hidup. Plato
kemudian datang dengan gagasan peremajaan usia anggota gerusia serta
pembatasan masa jabat untuk mencegah keterpurukan yang lebih dalam di negeri
Sparta.
Politisi Manula
Gerontokrasi yang
tinggal menjadisejarahbagi Prancisdan Yunani kuno justru sekarang menjadi
fenomena (relatif) baru di Tanah Air. Lihatlah usia tokoh-tokoh partai
politik paling penting. Wiranto (68 tahun) secara aklamasi terpilih menjadi
ketua umum Hanura untuk kesekian kalinya. Megawati Soekarnoputri (68 tahun)
baru saja terpilih menjadi ketua umum PDIP untuk keempat kalinya.
Aburizal Bakrie (69
tahun) terpilih kembali menjadi ketua umum Partai Golkar. Begitu pula,
Prabowo Soebianto (64 tahun) yang dulu “hanya” menjadi ketua Dewan Pembina
sekarang merangkap menjadi ketua umum Partai Gerindra. Surya Paloh (64 tahun)
hampir dapat dipastikan kembali memimpin Partai NasDem. Susilo Bambang
Yudhoyono (66 tahun) yang pernah menjadi orang nomor satu di republik ini
telah menyatakan kesediaan dirinya didapuk menjadi ketua umum Partai
Demokrat.
Artinya, empat tahun
lagi, pada Pemilu 2019, hitam-putih politik kita akan sangat ditentukan oleh
politisi gaek yang berusia sekitar 70 tahun. Ini tentu saja berbeda dengan
“generasi perdana” Indonesia. Dulu, Indonesia pernah dipimpin oleh anak-anak
muda—meminjam istilah Buya Syafii Maarif yang penuh dedikasi dan mencintai
Indonesia dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Tanpa para pemuda belia
tersebut, hampir mustahil rasanya Indonesia merdeka.
Soekarno dan Hatta
masing-masing masih berusia 44 dan 43 tahun ketika menjadi presiden dan wakil
presiden Indonesia. Jauh hari sebelum kemerdekaan, Soekarno menjadi ketua
Partai Nasional Indonesia ketika berusia 26 tahun. Mohammad Hatta menjadi
ketua Perhimpunan Indonesia ketika berusia 24 tahun. Begitu pula Sutan
Sjahrir berusia 36 tahun ketika diangkat menjadi perdana menteri.
Mohammad Natsir
menduduki posisi perdana menteri ketika berusia 42 tahun, setelah sebelumnya
menjadi menteri penerangan pada usia 38 tahun. Soeharto bahkan mulai berkuasa
di negeri ini ketika ia masih berusia 46 tahun. Sejak saat itulah regenerasi
politik mulai stagnan. Apa yang dikhawatirkan Lord Acton (1834- 1902) “power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely” benar-benar terjadi.
Celakanya, pada era
reformasi ini, kebiasaan buruk mengawetkan kekuasaan politik masih saja
dicontoh dan dipraktikkan oleh para politisi sepuh yang masih memiliki
syahwat berkelindan dengan kekuasaan. Kebalikan dari Indonesia, pemimpin
negara-negara sahabat cenderung memberikan ruang kepada generasi yang lebih
muda. Partai Buruh di Inggris yang dipimpin oleh Gordon Brown (49)
ditumbangkan Partai Konservatif yang diketuai oleh David Cameron (44).
Pada2008, Barrack Obama (47) dari Partai Demokrat mengalahkan John McCain
(72), politisi senior Partai Republik.
Empat tahun kemudian
Obama mengungguli Mitt Romney yang berusia 15 tahun lebih tua. Beberapa tahun
lalu Partai Liberal Australia yang dipimpin John Howard (70) terjungkal oleh
pemimpin Partai Buruh Kevin Rudd (50), sebelum akhirnya Tony Abbott (50)
menggantikan posisi Kevin Rudd hingga saat ini.
Pembeliaan Politik
Pembeliaan usia dalam
dunia politik memang tidak serta-merta menjamin kualitas kepemimpinan politik
yang lebih baik. Namun, dalam konteks transisi demokrasi, usia dapat berarti
demarkasi antara “yang lama” atau “yang baru”. Acap masalah interpersonal
antarpolitisi tua pada masa lalu memengaruhi kepentingan khalayak banyak saat
sekarang ini. Apalagi terlihat jelas akhir-akhir ini bahwa politik gerontokrasi
berkelindan dengan pola oligarki di mana hanya segelintir elite di pucuk
pimpinan partai yang mengambil keputusan penting bagi rakyat.
Partai politik juga
tidak lebih dari sebuah perusahaan terbatas. Pemegang saham mayoritas menjadi
komisaris utama yang menentukan arah tujuan dan keputusan partai. Tak ayal,
anak, keponakan, dan keluarga besar mendapat jatah sesuai dengan kepemilikan
saham di partai. Pembeliaan politik Indonesia bukan sekadar mengganti yang
tua dengan yang muda. Pembeliaan juga mensyaratkan lahirnya gagasan dan
terobosan baru dalam tatanan politik kita.
Di mata publik, saat
ini politik telah telanjur menjadi profesi yang menjengkelkan untuk tidak
mengatakan menjijikkan. Otto von Bismarck mungkin benar bahwa politik
merupakan the art of possibilities,
namun bukan berarti segala tipu daya yang merugikan kepentingan publik absah
dilakukan guna meraih target-target politik jangka pendek. Benar pula bahwa
tujuan utama politik adalah kekuasaan (power),
tapi politisi muda patut terus mempertanyakan kekuasaan tersebut untuk apa
dan siapa?
Benarkah kebijakan dan
keputusan politik yang ditelurkan untuk kepentingan rakyat? Sejatinya politik
adalah profesi yang mulia. Partai politik, sepertiyangdiungkapkanLipset
(1996), merupakan institusi inti (core
institution) dalam demokrasi. Lebih jauh Robertson (1970) mengatakan,
tidak ada pembicaraan tentang demokrasi saat ini kecuali berbicara tentang
(kompetisi) partai politik. Dalam demokrasi modern, melalui partai politiklah
aspirasi rakyat diagregasikan, ditawarkan di pemilu, serta diperjuangkan
untuk diimplementasikan baik di eksekutif maupun legislatif.
Di ruang-ruang rapat
partai politiklah kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak (public policy) diputuskan. Di sinilah
pembeliaan politik mesti dimaknai sebagai rekonstruksi moral politik baru
yaitu kemampuan partai politik menyerap aspirasi rakyat, mengagregasikan,
serta merumuskannya menjadi kebijakan publik yang memihak kepentingan orang
banyak.
Kita perlu moral
politik baru yang melahirkan kepemimpinan politik yang kukuh dan teguh dalam
memperjuangkan aspirasi rakyat yang telah lama menderita. Hanya dengan cara
inilah politik yang telanjur dianggap kumuh dapat berubah menjadi misi mulia
untuk kebajikan dan kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar