Minggu, 10 Mei 2015

Gonjang-ganjing Istimewa Keraton Jogja

Gonjang-ganjing Istimewa Keraton Jogja

Erwan Widyarto  ;  GM dan Pemred Radar Jogja 2000–2002;
Pegiat Komunitas Akal Sehat Jogjakarta
JAWA POS, 08 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

’’Tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri tahun 1903, sultan Turki mengirimkan utusan Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi muslim tunduk pada penguasa Belanda.’’

BEGITULAH sepenggal sambutan Sultan Hamengku Buwono X pada pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia VI di Jogjakarta, 9 Februari 2015. Dalam kesempatan itu, raja Keraton Jogjakarta itu juga menyatakan bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah wakil dari kekhalifahan di Turki.

Namun, tidak lama setelah itu, tepatnya 30 April 2015, raja Keraton Jogja itu seakan menihilkan pernyataannya tersebut. Pada tanggal itu, melalui sebuah acara adat yang dikenal dengan Sabda Raja, Sultan HB X menyatakan menanggalkan gelar khalifatullah.

Bertempat di Bangsal Sitihinggil, Sultan HB X menyampaikan sabda raja berisi sejumlah hal. Mulai pengubahan penyebutan Buwono menjadi Bawono, tidak lagi menggunakan gelar khalifatullah, mengganti penyebutan kaping sedasa menjadi kaping sepuluh, mengubah perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, serta menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kiai Ageng Joko Piturun.

Sontak, sabda raja itu pun menimbulkan gonjang-ganjing di dalam kerajaan. Para pangeran, putra Sultan HB IX, yang tidak lain adalah adik Sultan HB X yang sedang bertakhta, menilai sang raja khilaf. Sekadar menuruti kehendak atau ambisi dan melanggar aturan kerajaan yang telah lama ada.

’’Gelar khalifatullah tidak sepantasnya ditanggalkan seorang sultan Jogja. Sebab, HB X memimpin kerajaan penerus dinasti Mataram Islam,’’ nilai GBPH Prabukusuma. Prabukusuma dengan para pangeran yang lain, yakni BPH Yudhaningrat, GBPH Condrodiningrat, GBPH Cakraningrat, dan GBPH Prabukusuma, tidak menghadiri acara Sabda Raja.

Putra sulung HB IX dengan Garwa Dalem Kanjeng Raden Ayu (KRAy) Hastungkara itu juga menilai, dengan menanggalkan gelar khalifatullah, itu jelas mencederai umat Islam. Dia mengingatkan Sultan HB X agar njejegne paugeran (menegakkan peraturan), bukan nuruti kekarepan (mengikuti ambisi).

Sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam, raja Keraton Jogjakarta memiliki gelar Sampeyan Dalem Ngarsa Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Pantagama Khalifatullah.

Kendati para pangeran menentang langkahnya, Sultan HB X seakan tidak peduli. Dia bahkan langsung menindaklanjuti sabda raja dengan dhawuh raja. Dhawuh raja pada 5 Mei 2015 ini menunjuk putri sulungnya, GKR Pembayun, menjadi putri mahkota. Putri pertama Sultan HB X dengan GKR Hemas tersebut mendapat nama baru GKR Mangkubumi sekaligus sebagai calon pengganti Sultan HB X. Nama lengkapnya, GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Nama yang sudah menggunakan Bawono sebagaimana isi sabda raja.

Gonjang-ganjing Keraton Jogjakarta yang selama ini dikenal adem ayem tentu saja mengagetkan masyarakat. Kegaduhan itu –untuk tidak menyebut kekisruhan– melengkapi gonjang-ganjing keraton penerus dinasti Mataram yang berakhir dengan dualisme raja. Keraton Solo sudah lebih dulu sehingga muncul Paku Buwono XIII Hangabehi dan saudaranya, KGPH PA Tedjowulan.

Pura Pakualaman juga pernah dilanda gonjang-ganjing suksesi itu. Paku Alam IX (Ambarkusumo) yang saat ini juga menjabat wakil gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta ditandingi dengan pengukuhan Kanjeng Pangeran Haryo Anglingkusumo sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam IX. (Radar Jogja, 16/4/12)

Kendati belum mengarah kepada dualisme raja Keraton Jogjakarta, pengangkatan GKR Pembayun sebagai calon pengganti Sultan HB X yang sekarang bertahta sudah membuat panas situasi keraton.

Yang menarik, mengaitkan sabda raja Sultan HB X itu dengan konteks Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta. Sebagaimana kita ketahui, UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Jogjakarta menetapkan gubernur DIJ adalah Sultan yang bertakhta. Dalam UU tersebut, banyak disebutkan nama Sultan Hamengku Buwono. Itu berarti jika kemudian nama diubah menjadi Bawono, tidak sesuai dengan isi UU Keistimewaan.

Begitu pula halnya dalam Peraturan Daerah Keistimewaan (Perdais) No 1 Tahun 2013 tentang Kewenangan dalam Urusan Keistimewaan. Gelar khalifatullah juga disebut dalam pasal 1 poin 15. Bunyinya, ’’Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat selanjutnya disebut Kasultanan adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono.’’ Jika kemudian Sultan HB X menanggalkan gelar tersebut, itu berarti berbeda dengan –untuk tidak menyebut melanggar– ketentuan perundangan tersebut.

Seperti apa kelanjutan gonjang-ganjing istimewa tersebut, masih menarik dinanti. Apalagi, para pangeran berniat untuk menempuh jalur hukum dengan mengubungi Yusril Ihza Mahendra sebagai penasihat hukumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar