Gonjang-ganjing
Istimewa Keraton Jogja
Erwan Widyarto ; GM dan Pemred Radar Jogja 2000–2002;
Pegiat Komunitas Akal Sehat Jogjakarta
|
JAWA POS, 08 Mei 2015
’’Tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta
oleh Jamiatul Khair, yang berdiri tahun 1903, sultan Turki mengirimkan utusan
Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi muslim
tunduk pada penguasa Belanda.’’
BEGITULAH sepenggal
sambutan Sultan Hamengku Buwono X pada pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia
VI di Jogjakarta, 9 Februari 2015. Dalam kesempatan itu, raja Keraton
Jogjakarta itu juga menyatakan bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
adalah wakil dari kekhalifahan di Turki.
Namun, tidak lama
setelah itu, tepatnya 30 April 2015, raja Keraton Jogja itu seakan menihilkan
pernyataannya tersebut. Pada tanggal itu, melalui sebuah acara adat yang
dikenal dengan Sabda Raja, Sultan HB X menyatakan menanggalkan gelar
khalifatullah.
Bertempat di Bangsal
Sitihinggil, Sultan HB X menyampaikan sabda raja berisi sejumlah hal. Mulai
pengubahan penyebutan Buwono menjadi Bawono, tidak lagi menggunakan gelar
khalifatullah, mengganti penyebutan kaping
sedasa menjadi kaping sepuluh,
mengubah perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dan Ki Ageng
Pemanahan, serta menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng
Kiai Ageng Joko Piturun.
Sontak, sabda raja itu
pun menimbulkan gonjang-ganjing di dalam kerajaan. Para pangeran, putra
Sultan HB IX, yang tidak lain adalah adik Sultan HB X yang sedang bertakhta,
menilai sang raja khilaf. Sekadar menuruti kehendak atau ambisi dan melanggar
aturan kerajaan yang telah lama ada.
’’Gelar khalifatullah tidak sepantasnya ditanggalkan seorang
sultan Jogja. Sebab, HB X memimpin kerajaan penerus dinasti Mataram Islam,’’ nilai GBPH
Prabukusuma. Prabukusuma dengan para pangeran yang lain, yakni BPH
Yudhaningrat, GBPH Condrodiningrat, GBPH Cakraningrat, dan GBPH Prabukusuma,
tidak menghadiri acara Sabda Raja.
Putra sulung HB IX
dengan Garwa Dalem Kanjeng Raden Ayu (KRAy) Hastungkara itu juga menilai,
dengan menanggalkan gelar khalifatullah, itu jelas mencederai umat Islam. Dia
mengingatkan Sultan HB X agar njejegne paugeran (menegakkan peraturan), bukan
nuruti kekarepan (mengikuti ambisi).
Sebagai penerus
Kerajaan Mataram Islam, raja Keraton Jogjakarta memiliki gelar Sampeyan Dalem Ngarsa Dalem Ingkang
Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman
Sayidin Pantagama Khalifatullah.
Kendati para pangeran
menentang langkahnya, Sultan HB X seakan tidak peduli. Dia bahkan langsung
menindaklanjuti sabda raja dengan dhawuh raja. Dhawuh raja pada 5 Mei 2015
ini menunjuk putri sulungnya, GKR Pembayun, menjadi putri mahkota. Putri
pertama Sultan HB X dengan GKR Hemas tersebut mendapat nama baru GKR Mangkubumi
sekaligus sebagai calon pengganti Sultan HB X. Nama lengkapnya, GKR
Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Nama yang sudah
menggunakan Bawono sebagaimana isi sabda raja.
Gonjang-ganjing
Keraton Jogjakarta yang selama ini dikenal adem ayem tentu saja mengagetkan
masyarakat. Kegaduhan itu –untuk tidak menyebut kekisruhan– melengkapi
gonjang-ganjing keraton penerus dinasti Mataram yang berakhir dengan dualisme
raja. Keraton Solo sudah lebih dulu sehingga muncul Paku Buwono XIII Hangabehi
dan saudaranya, KGPH PA Tedjowulan.
Pura Pakualaman juga
pernah dilanda gonjang-ganjing suksesi itu. Paku Alam IX (Ambarkusumo) yang
saat ini juga menjabat wakil gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta ditandingi
dengan pengukuhan Kanjeng Pangeran Haryo Anglingkusumo sebagai Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam IX. (Radar Jogja, 16/4/12)
Kendati belum mengarah
kepada dualisme raja Keraton Jogjakarta, pengangkatan GKR Pembayun sebagai
calon pengganti Sultan HB X yang sekarang bertahta sudah membuat panas
situasi keraton.
Yang menarik,
mengaitkan sabda raja Sultan HB X itu dengan konteks Pemerintahan Provinsi
Daerah Istimewa Jogjakarta. Sebagaimana kita ketahui, UU No 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Jogjakarta menetapkan gubernur DIJ
adalah Sultan yang bertakhta. Dalam UU tersebut, banyak disebutkan nama
Sultan Hamengku Buwono. Itu berarti jika kemudian nama diubah menjadi Bawono,
tidak sesuai dengan isi UU Keistimewaan.
Begitu pula halnya
dalam Peraturan Daerah Keistimewaan (Perdais) No 1 Tahun 2013 tentang
Kewenangan dalam Urusan Keistimewaan. Gelar khalifatullah juga disebut dalam
pasal 1 poin 15. Bunyinya, ’’Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat selanjutnya disebut Kasultanan adalah warisan
budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati
Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya
disebut Sultan Hamengku Buwono.’’ Jika kemudian Sultan HB X menanggalkan
gelar tersebut, itu berarti berbeda dengan –untuk tidak menyebut melanggar–
ketentuan perundangan tersebut.
Seperti apa kelanjutan
gonjang-ganjing istimewa tersebut, masih menarik dinanti. Apalagi, para
pangeran berniat untuk menempuh jalur hukum dengan mengubungi Yusril Ihza
Mahendra sebagai penasihat hukumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar