Kamis, 07 Mei 2015

Belajar dari Konflik Rasial di AS

Belajar dari Konflik Rasial di AS

Nadia Egalita  ;  Mahasiswi Faculty of Art, Monash University Australia, belajar tentang Media Studies and Social Behaviour
JAWA POS, 06 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BARA api konflik rasial di Amerika Serikat (AS) tampaknya tak pernah benar-benar padam. Negara adidaya yang sering mengklaim diri sebagai negara paling demokratis itu kembali diguncang aksi unjuk rasa yang melibatkan ribuan orang di berbagai kota besar di AS. Kali ini unjuk rasa pecah di Baltimore, New York, Washington, dan Boston karena dipicu tindakan polisi yang dianggap diskriminatif terhadap warga kulit hitam (Jawa Pos, 1 Mei 2015). Sebelumnya unjuk rasa serupa terjadi akhir tahun lalu di Ferguson, Missouri, AS, karena dipicu ketidakpuasan warga terhadap grand jury yang memutuskan tidak melanjutkan kasus hukum atas polisi yang dituduh membunuh warga kulit hitam.

Unjuk rasa yang berlangsung di sejumlah kota kali ini berlangsung damai –meski ada laporan sempat terjadi bentrokan kecil di New York. Dalam kasus kematian warga kulit hitam di Ferguson Desember 2014, warga kulit hitam yang kecewa dan merasa diperlakukan tidak adil atas keputusan juri yang membebaskan polisi kulit putih melampiaskan ketidakpuasan dengan menggelar aksi unjuk rasa dan aksi anarkistis. Sejumlah toko, restoran, dan mobil polisi di Kota Ferguson dibakar dan dijarah massa yang telanjur kalap. Aparat kepolisian juga tidak luput menjadi sasaran kemarahan warga.

Akar Masalah

Aksi unjuk rasa di Baltimore, New York, Washington, Boston, dan kerusuhan rasial seperti yang terjadi Kota Ferguson sebetulnya bukan hal baru. Sebelum kasus konflik rasial itu meletup di Baltimore dan Ferguson, di berbagai kota lain di AS, di sejumlah negara di Eropa, dan di kota-kota lain di dunia, tercatat sudah sering terjadi berbagai kasus kerusuhan rasial serupa. Posisi warga kulit putih yang dianggap terlalu superior dan mendominasi warga kulit hitam, ditambah lagi adanya masalah kesenjangan sosial ekonomi yang terasa mencolok mata, mengakibatkan kapan potensi atau bara api konflik rasial yang laten itu berubah menjadi konflik yang manifes hanyalah soal waktu.

Di AS, aksi kerusuhan rasial yang awalnya terjadi di Baltimore dan Ferguson beberapa waktu lalu dengan cepat merambah ke kota-kota lain. Sebab, di era digital seperti sekarang, sebuah kejadian yang muncul di suatu tempat dalam detik yang sama bisa diketahui orang-orang di kota atau bahkan benua lain. Mereka pun dengan cepat akan dapat melihat dan terstimulasi untuk melakukan hal yang sama sebagai ekspresi dari rasa solidaritas di antara mereka yang merasa menjadi korban.

Di mana pun, aksi kerusuhan rasial umumnya rawan pecah karena adanya prasangka dan diskriminasi yang menarik garis tegas antara kelompok superior dan kelompok tersubordinasi. Yang dimaksud dengan prasangka adalah sikap negatif terhadap seseorang atau kelompok etnis tertentu atau minoritas. Prasangka terhadap kelompok lain ini dalam kenyataan acap kali meletup dan diperkuat karena adanya rasialisme, yakni keyakinan bahwa suatu ras lebih tinggi derajatnya daripada ras yang lain.

Sementara itu, yang dimaksud dengan diskriminasi adalah perlakuan yang membedakan kelompok tertentu, baik dalam layanan, sikap, maupun hubungan sosial. Dalam kenyataan, sering terjadi anggota kelompok subordinat akan mengalami dan menerima prasangka, diskriminasi, serta eksploitasi dari kelompok yang dominan. Sehingga ketika ada faktor yang memicu terjadinya konflik terbuka, dengan cepat hal itu akan menjalar menjadi kerusuhan yang berskala masal.

Di AS, warga kulit putih sering kali menerima berbagai perlakuan dan keistimewaan tertentu karena adanya prasangka yang berlebihan. Ferber & Kimmel (2008) menyatakan, white privilege (keistimewaan kulit putih) adalah hak atau kekebalan yang diberikan kepada seseorang sebagai sebuah mandat atau dukungan tertentu hanya karena mereka berkulit putih. Sementara itu, warga kulit hitam justru memperoleh perlakuan sebaliknya. Alih-alih diperlakukan sama, dalam kenyataan memang kita tidak menutup mata, masih ada perlakuan yang diskriminatif kepada warga kulit hitam.

Walaupun berbagai upaya selama ini telah dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerusuhan rasial, tetapi karena akar penyebab terjadinya konflik tidak pernah ditangani hingga tuntas, yang terjadi kemudian adalah hubungan sosial antar-ras yang rapuh. Di AS, sepanjang permukiman warga kulit putih dan kulit hitam masih tersegregasi, juga berbagai perlakuan diskriminatif masih terus dirasakan warga minoritas, sepanjang itu pula kemungkinan terjadinya kerusuhan rasial masih akan sangat terbuka.

Diferensiasi Sosial

Seperti kerusuhan rasial yang terjadi di Prancis, Afrika, Asia, dan berbagai negara lainnya, kerusuhan rasial yang berkali-kali terjadi di AS sesungguhnya adalah masalah yang bermula dari isu kesenjangan kelas, yang bersejajaran dengan isu diferensiasi sosial atau perbedaan sosial. Lebih dari sekadar isu kesenjangan ekonomi dan tajamnya segregasi sosial yang terbentuk, kerusuhan rasial yang bermuara pada syak wasangka, kebencian, dendam kesumat, dan sentimen rasial niscaya akan lebih sulit diselesaikan.

Membuka kekakuan struktur, memperbanyak peluang-peluang yang bisa diakses warga masyarakat yang tersubordinasi agar dapat melakukan mobilitas vertikal, di satu sisi memang perlu untuk terus dikembangkan. Tetapi, yang tak kalah penting adalah bagaimana memperbanyak forum-forum, ruang publik, atau zona netral yang memungkinkan antarkelompok ras yang berbeda dapat saling menyapa dan berbicara dari hati ke hati agar itu semua dapat menjadi fondasi atau modal sosial budaya yang fungsional untuk dasar membangun integrasi masyarakat yang benar-benar kuat.

Bagi Indonesia, kerusuhan rasial yang terjadi di AS adalah sebuah pelajaran sekaligus tempat untuk berkaca agar bangsa kita tidak mengembangkan sikap egosentrisme dan fanatisme yang berlebihan. Bangsa yang kukuh sesungguhnya adalah bangsa yang memiliki fondasi multikulturalisme yang kuat dan sikap toleransi yang benar-benar demokratis. Hanya dengan cara itulah, bangsa Indonesia akan berkembang berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar